Setelah Syahrul Yasin Limpo (SYL) mengundurkan diri dari jabatan Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar yang menjadi satu nama terakhir kader Partai NasDem di Kabinet Indonesia Maju agaknya dapat menjadi “penyelamat politik” bagi pihak-pihak yang terdampak turunan citra minor. Mengapa demikian?
Pasca pengunduran diri Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL), praktis Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Men LHK) Siti Nurbaya Bakar menjadi kader terakhir Partai NasDem yang tersisa di Kabinet Indonesia Maju Presiden Jokowi.
Namun, dengan daya tawar yang dimilikinya, Nur atau Baya – sapaan akrab Siti Nurbaya Bakar – kiranya dapat tetap “aman” dan menjadi penyelamat bahtera politik koalisi Partai NasDem dan Anies Baswedan di Pilpres 2024. Bagaimana itu bisa terjadi?
Di luar konteks bantahan yang pasti muncul dari upaya menghindari tendensi politis, menteri asal Partai NasDem satu per satu “tumbang” melalui penjegalan kasus hukum. Menariknya, itu terjadi pasca deklarasi dukungan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh kepada Anies Baswedan sebagai bacapres 2024 pada Oktober 2022 lalu.
Anies yang dicap sebagai antitesis Presiden Jokowi-PDIP namun di saat yang sama Partai NasDem berada di koalisi pemerintah, membuat impresi politis atas apa yang terjadi pada eks Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate dan SYL agaknya tak bisa dihindari.
Mundur ke belakang, isu reshuffle sempat muncul dan dihembuskan oleh Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat pada Desember 2022. Saat itu, Djarot menyoroti kinerja yang kurang apik dari dua menteri kader Partai NasDem, yakni SYL dan Nur.
Di kemudian hari pasca dorongan Djarot, SYL dan – justru – Johnny G. Plate yang tersandung kasus rasuah.
Sejauh ini, Nur seolah aman dan tampaknya akan tetap demikian hingga akhir masa pemerintahan Presiden Jokowi pada Oktober 2024 mendatang. Sejumlah variabel kiranya dapat menjelaskan probabilitas tersebut. Mengapa demikian?
Nur, Protagonis Politik?
Dinamika politik Partai NasDem di pemerintah kali ini terlihat seperti cerita rakyat yang berjudul sama dengan menteri terakhir mereka di kabinet, Siti Nurbaya. Bukan dari segi alur ceritanya, tetapi dari tokoh Siti Nurbaya yang menjadi protagonis di cerita tersebut.
Ya, Nur boleh jadi akan menjadi sosok yang tetap bertahan di kabinet dan sedikit menyelamatkan citra Partai NasDem karena daya tawar yang dimilikinya.
Siti Nurbaya Bakar sendiri merupakan perempuan pertama yang menjabat sebagai Menteri LHK. Kinerjanya pun terbilang dapat diukur melalui jam terbang yang cukup tinggi.
Itu dikarenakan, Nur cukup aktif mencanangkan sejumlah program dalam merespons isu-isu lingkungan. Dan itu, dilakukannya di tengah-tengah misi pemerintahan Jokowi yang cukup agresif mendongkrak investasi dan pembangunan.
Satu hal yang cukup membedakan dengan SYL maupun Plate, Nur telah dipercaya Presiden Jokowi sejak 2014 silam untuk mengampu posisi Menteri LHK.
Setidaknya hingga detik ini, belum “tersentuhnya” Nur agaknya mengisyaratkan keistimewaan tersendiri mengenai relasinya dengan sang RI-1, baik secara personal, chemistry kinerja, termasuk kemungkinan kedekatan secara politis, ihwal yang melampaui relasi Nur dengan Partai NasDem.
Presiden Jokowi bahkan mempercayakan Nur dalam kontribusi perencanaan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, terutama yang berkaitan dengan lahan hijau.
Sesuai pesan Jokowi, Nur mencanangkan program Rimba Nusa untuk menjaga jumlah lahan hijau di IKN. Satu hal yang esensial dalam perencanaan kota hijau modern di mata internasional dan daya tarik investasi asing.
Kendati telah menelurkan sederet program kelingkungan, Siti Nurbaya juga tak jarang menuai kontroversi.
Diskursus kontroversial yang mendera, seperti deforestasi hingga polemik audit Blok Rokan beberapa waktu lalu agaknya tak mampu membendung daya tawar profesional maupun politik sang Men LHK.
Sekali lagi, kepercayaan Presiden Jokowi agaknya menjadi poin plus tersendiri, utamanya mengenai dukungan legacy IKN Nusantara yang tentu membutuhkan tangan dingin, pengetahuan, dan pengalaman Nur untuk “mengamankan” dan menjadi justifikasi teritori itu.
Kendati demikian, terdapat satu interpretasi lain mengenai kemungkinan tetap terancamnya Nur di kabinet Presiden Jokowi. Apakah itu?
Tetap Butuh “Musuh”?
Terlepas dari bersalah atau tidaknya, tak dapat dipungkiri, impresi politik dan hukum tanah air pasca kasus Plate dan SYL cukup mendistorsi logika kolektif publik tanah air akan atmosfer politik yang konstruktif jelang kontestasi elektoral 2024.
Namun demikian, gosip nasib Nur yang disebut-sebut akan menjadi “target” selanjutnya bisa jadi cukup valid jika berkaca pada tetap dibutuhkannya rival dalam sebuah proses kontestasi.
Sekuat apapun modal politik satu entitas atau aktor tertentu, dibutuhkannya musuh kiranya akan selalu relevan dalam logika politik praktis.
Itu dikarenakan, sang entitas atau aktor membutuhkan musuh untuk membuat mereka dipandang memiliki solusi atas suatu persoalan.
Dalam penanganan tindak pidana rasuah, misalnya, implementasinya merupakan prestasi bagi satu sisi. Meski di sisi lain ada yang menjadi “korban”.
Citra positif pemberantasan rasuah bisa saja membuat bola panas yang mengarah pada Partai NasDem belum berhenti bergulir begitu saja. Termasuk dengan kepercayaan politik yang ada pada sosok Nur.
Akan tetapi, penjelasan di atas masih sebatas analisis probabilitas semata. Seara normatif, penanganan kasus korupsi memang semestinya tak dikaitkan dengan konteks politik kendati satu sama lain kerap saling memengaruhi. (J61)