Site icon PinterPolitik.com

Cuan Nikel Jokowi Hanya “Ilusi”?

1200x 1

Presiden Joko Widodo (Foto: Andre Malerba/Bloomberg)

Indonesia yang kalah atas gugatan World Trade Organization (WTO) terkait kebijakan larangan ekspor nikel dan berencana untuk melakukan banding. Namun, di balik intrik perdagangan antarnegara itu, menarik kiranya untuk menguak kembali siapa yang sebenarnya diuntungkan dari “kelezatan” nikel Indonesia?


PinterPolitik.com

Pemerintah Indonesia mengalami kekalahan pada gugatan yang dilayangkan Uni Eropa (UE) di pengadilan World Trade Organization (WTO) atas larangan ekspor nikel.

Kekalahan nyatanya tak memadamkan api perjuangan pemerintah Indonesia untuk segera menyerah dan akan mengajukan banding.

Pernyataan itu disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Peresmian Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Investasi Tahun 2022 pada 30 November lalu. Dia bahkan akan langsung menyampaikannya kepada menteri-menteri terkait.

Upaya banding atas gugatan larangan ekspor nikel dinilai sebagai bentuk perjuangan pemerintah untuk mendorong hilirisasi yang dapat mendongkrak peningkatan nilai tambah sekaligus pendapatan negara secara signifikan.

Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa peningkatan yang signifikan dapat diraih akibat peralihan dari penjualan ekspor bahan mentah alias raw material tujuh tahun lalu yang bernilai 1,1 miliar USD.

Itu dapat meningkat senilai 20,8 miliar USD jika melalui proses hilirisasi nikel dengan hadirnya smelter pada tahun 2021.

Nilai tersebut setara lebih dari Rp 300 triliun yang jika dikalkulasikan lebih dari 18 kali lipat dibandingkan dengan pendapatan ekspor raw material yang hanya sebesar Rp 20 triliun.

Setelah pernyataan itu terkuak ke publik, Anggota Komisi VII DPR RI Rofik Hananto ternyata membantah klaim tersebut. Dia mengatakan bahwa ekspor bijih nikel justru menguntungkan Tiongkok sebagai salah satu konsumen utama. Benarkah demikian?

Telisik Pendapatan Nikel

Rofik yang merupakan politisi PKS, menyampaikan keuntungan hilirisasi nikel yang awalnya hanya berkisar Rp 15 triliun. Kemudian, mengalami peningkatan secara signifikan menjadi Rp 360 triliun nyatanya hanya lah sebuah dampak dari peningkatan harga komoditas serta jumlah penambangan nikel yang meningkat.

Dia juga menekankan keuntungan tersebut tidak bermakna dan lebih banyak menguntungkan Tiongkok ketimbang rakyat Indonesia selaku pemilik sumber daya alam tersebut. Pernyataan ini didasari oleh fakta lapangan di mana kurang lebih 95 persen bijih nikel di Indonesia diolah oleh perusahaan smelter Tiongkok di Indonesia.

Menurutnya, perusahaan Tiongkok membeli nikel dengan harga yang murah dikarenakan harga nikel dalam negeri hanya sebesar 34 USD per ton. Sementara di Pasar Shanghai harganya mencapai 80 USD per ton. Harga semakin murah dikarenakan perusahaan smelter itu tidak perlu membayar royalti tambang karena melakukan penambangan secara langsung.

Selain itu, pemerintah bahkan telah memberikan insentif berupa pembebasan pajak alias tax holiday terkait PPh badan selama 25 tahun yang dinilai sangat menguntungkan perusahaan smelter Tiongkok.

Dia menekankan pembebasan pajak tersebut merupakan perampasan hak rakyat yang sengaja tidak dibayarkan demi keuntungan perusahaan Tiongkok belaka. Terlebih, perusahaan-perusahaan itu juga dibebaskan dari pajak bea keluar alias pajak ekspor dikarenakan belum diberlakukannya penerapan pajak ekspor produk hilirisasi nikel setengah jadi berupa Feronikel dan Nickel Pig Iron (NPI).

Adapun sebagian besar perusahaan smelter Tiongkok mempekerjakan tenaga kerja asal negara mereka dengan tidak menggunakan visa kerja sehingga dapat merugikan pendapatan negara dari segi tarif visa serta PPh individu.

Sementara itu, anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Partai Demokrat Zulfikar Hamonangan pun menyatakan hal yang serupa bahwa 90 persen tambang nikel Indonesia dikuasai oleh Tiongkok. Dia pun telah menyampaikannya kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.

Zulfikar menambahkan penggunaan lithium justru yang seharusnya menjadi perbincangan yang penting jika Indonesia ingin menjadi produsen nomor satu baterai lithium dengan hanya mengandalkan nikel.

Arifin Tasrif pun membalas bahwa hilirisasi nikel merupakan proses yang diperlukan untuk meningkatkan nilai tambah nikel serta penyerapan tenaga kerja Indonesia.

Meski cukup rumit melakukan investigasi mendalam terkait kerugian yang dialami Indonesia, eksistensi pernyataan politisi Fraksi PKS dan Partai Demokrat, mengapa pemerintah seolah tetap memilih untuk mempertahankan kerja sama perusahaan smelter Tiongkok?

Bargaining Power Belaka?

Sumber daya alam dianggap sebagai salah satu kekuatan negara di samping kekuatan militer, geografis, kapasitas industri, dan populasi. Pernyataan itu diambil dari buku berjudul Politics Among Nations yang ditulis oleh seorang penganut realis bernama Hans Morgenthau. Kekuatan negara tersebut dapat digunakan sebagai alat bargaining power.

Sementara itu, profesor ilmu politik dari University of Carolina Branislav Slantchev mendefinisikan bargaining power sebagai suatu kemampuan negara dalam memengaruhi aktor lainnya dengan memberi apa yang diinginkan aktor yang bersangkutan.

Nikel dianggap sebagai salah satu kekayaan alam Indonesia yang diyakini dapat menjadi bargaining power terhadap investor asing yang ingin mengembangkan baterai dan mobil listrik. Nyatanya, nikel itu sendiri tidak cukup mampu menjadi faktor kekuatan negara melainkan dibutuhkan pula pembenahan dari segi teknologi, infrastruktur dan sumber daya manusia.

Selain itu, apabila disangkutpautkan dengan narasi baterai yang mampu menjadi “minyak” baru, agaknya akan menjadi perjalanan yang sangat panjang. Asumsi itu disampaikan oleh John Frazer dalam tulisannya yang berjudul Are Batteries The New Oil?.

Saat ini, penelitian masih berkutat pada penyelesaian masalah antara kepadatan energi dan kepadatan daya dalam pengembangan mobil listrik.

Kepadatan energi berkaitan dengan kapasitas mobil dan menentukan seberapa jauh mobil dapat digunakan, sedangkan kepadatan daya berkaitan dengan waktu pengisian dan seberapa cepat mobil dapat berjalan. Hasilnya, kedua hal tersebut saling melemahkan dan kapasitasnya belum dapat dikatakan seimbang.

Oleh karena itu, prospek nikel dan kendaraan listrik agaknya masih jauh dari kata ideal jika berkaca pada penyelesaian kalkulasi dan masalah sebagaimana yang disampaikan Frazer.

Lantas, bagaimana seharusnya pemerintah Indonesia menyikapi permasalahan penggunaan nikel secara rasional sekaligus berpihak kepada rakyat dengan berbagai permasalahan dan kekurangan yang ada?

Benarkah Berpihak Rakyat?

Salah satu teori yang seringkali menjadi dasar dalam pengambilan keputusan yaitu teori rational choice. Sepenggal teori rational choice yang diungkapkan oleh James S. Coleman menyatakan seorang individu memutuskan sebuah keputusan maupun tindakan berdasarkan kebermanfaatan sumber daya yang dia miliki untuk mencapai tujuan.

Pernyataan itu juga menekankan sebuah tujuan sebagai final dari keputusan tersebut. Namun, dirinya juga mengungkapkan bahwa seorang individu tidak selalu bertindak atau berperilaku rasional dalam memutuskan suatu keputusan.

Meskipun diawali dengan tujuan atau maksud aktor, terdapat dua pemaksa tindakan antara lain keterbatasan sumber daya dan tindakan aktor individu. Selain itu, umumnya individu akan menentukan pilihan terbaik dengan menimbang untung dan rugi yang akan diperolehnya.

Berdasarkan teori tersebut, tindakan aktor akan berhubungan dengan tujuan yang ingin dicapainya dengan menimbang untung dan rugi yang diperoleh.

Sekiranya terdapat dua poin utama yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam memihak perusahaan smelter nikel Tiongkok.

Pertama, berdasarkan data Kementerian ESDM pada tahun 2021 jumlah tenaga kerja yang bekerja di perusahaan nikel tercatat sebanyak 21.691 orang TKI dan 3.054 orang TKA. Perbandingan antara TKI dan TKA yakni sekitar 7 banding 1. Oleh karena itu, data tersebut menunjukkan adanya penyerapan tenaga kerja yang bisa jadi dinilai cukup signifikan.

Kedua, keterbatasan juga meliputi pengembangan nikel sehingga Indonesia dinilai belum mampu untuk mengelola nikel. Adapun, hal itu juga diikuti dengan keterbatasan lainnya seperti keterbatasan ekonomi dan infrastruktur sehingga nikel tidak mampu dikelola secara maksimal.

Berdasarkan kedua asumsi tersebut, pemerintah bisa jadi sedang membuat suatu narasi dalam mengkomunikasikan kebijakan melalui “pemanis” pendapatan negara yang dinilai meningkat secara signifikan.

Nyatanya, pemerintah memandang suatu tujuan tersebut melalui kacamata humanis, bukan menitikberatkan kepada ekonomi.

Di samping itu, meskipun terdapat banyak sekali kerugian ekonomi yang bisa diampu Indonesia berdasarkan data-data dan rasionalisasi dari anggota DPR yang telah dijelaskan di atas, bagaimana pun pemerintah perlu menghilangkan belenggu dari pihak mana pun.

Pada akhirnya, pemerintah Indonesia juga perlu merumuskan suatu strategi untuk mewujudkan negara yang lebih mandiri dan memiliki bargaining power yang kuat di mata internasional.

Selain itu, pemerintah juga kiranya perlu membuat suatu laporan akuntabilitas dan transparansi bagi publik untuk mempertanggungjawabkan adanya narasi dominasi perusahaan smelter Tiongkok. (Z81)

Exit mobile version