HomeNalar PolitikCryptocurrency, Meroket Lalu Terbenam?

Cryptocurrency, Meroket Lalu Terbenam?

Fluktuasi nilai cryptocurrency seperti bitcoin melahirkan perdebatan terkait masa depannya. Apakah cryptocurrency yang dielukan sebagai keuangan masa depan ini akan menemui akhirnya?


PinterPolitik.com

“All money is a matter of belief.” – Adam Smith, penulis buku The Wealth of Nations

Pada Oktober 2017, Profesor Ekonomi Harvard University, Ken Rogoff telah memprediksi kejatuhan harga bitcoin. Prediksi yang sekiranya melawan arus karena bitcoin tengah naik daun saat itu. Menurut Rogoff, meningkatnya upaya dari pemerintah untuk mengontrol cryptocurrency akan berkontribusi pada penurunan minat spekulatif pada aset digital.

Simpulan itu ditarik karena sebulan sebelumnya, Tiongkok mengeluarkan kebijakan untuk menekan bitcoin. Dan terbukti, pada Mei 2021, setelah Tiongkok dengan tegas melarang transaksi menggunakan cryptocurrency, harga bitcoin anjlok 36 persen dari US$ 63.347 (sekitar Rp 905 juta) menjadi US$ 40.728 (sekitar Rp 582 juta).

Tidak hanya intervensi pemerintah, perubahan drastis nilai cryptocurrency bahkan dapat terjadi hanya dengan sebuah cuitan dari Elon Musk. Bayangkan saja, hanya dengan cuitan Tesla tidak lagi menerima pembayaran menggunakan bitcoin, harga bitcoin langsung turun 5 persen hanya dalam beberapa menit.

Tentu pertanyaannya, mengapa perubahan harganya sedrastis itu? Fenomena fluktuasi harga bitcoin juga kembali menghangatkan perdebatan terkait masa depan cryptocurrency.

Seperti prediksi Rogoff, apakah nilai cryptocurrency akan kolaps di masa depan? Lalu, apakah cryptocurrency akan ditinggalkan?

Ini tentang Kepercayaan

“Mengapa Anda mau memanggang hamburger, menjual asuransi kesehatan, atau mengasuh anak yang menjengkelkan demi beberapa lembar kertas berwarna (uang)?”. Ini adalah pertanyaan Yuval Noah Harari dalam bukunya Money: Hikayat Uang dan Lahirnya Kaum Rebahan.

Pernahkah kita bertanya, bagaimana uang mendapatkan nilainya? Kenapa kita menilai uang begitu berharga? Bahkan uang menjadi motivator utama dalam berbagai aksi kejahatan.

Harari menjawabnya sederhana. Karena kita percaya uang itu berharga. Seperti kata Adam Smith, “is a matter of belief”. Menurut Harari, “uang adalah sistem saling percaya yang paling universal dan paling efisien yang pernah ada”.

Sama dengan uang fiat di dompet kita, cryptocurrency mendapatkan nilainya juga karena kepercayaan. John Burrow dalam tulisannya Cryptocurrency, Money, and Adam Smith juga menegaskan, asal usul uang adalah alat tukar yang diterima secara sosial.

Namun menariknya, cryptocurrency berangkat dari ketidakpercayaan terhadap sistem keuangan negara. Negara terbukti berkali-kali lalai dalam mengelola sistem perbankan yang berujung pada krisis ekonomi. Bitcoin sendiri diinisiasi setelah krisis ekonomi 2008, dengan gagasan desentralisasi keuangan sebesar-besarnya sampai pada tahap individu.

Baca juga :  AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Baca Juga: Hati-Hati ‘Bubble’ Bitcoin

Cryptocurrency membawa semangat liberalisasi keuangan. Statusnya yang tidak terikat oleh otoritas negara manapun telah mengembalikan uang sebagai alat tukar yang nilainya ditentukan berdasarkan pasar bebas.

Paul Vigna dan Michael J. Casey dalam buku The Age of Cryptocurrency: How Bitcoin and Blockchain are Challenging the Global Economic Order menyebut cryptocurrency memindahkan kekuasaan menciptakan dan mengatur uang, dari pemerintah/negara ke dalam logika perhitungan komputer. Cryptocurrency telah memaksa kepercayaan pada teknologi dan komputer, serta memungkinkan individu untuk mengambil alih kekuasaan kembali dari negara.

Cryptocurrency pada dasarnya adalah pengejawantahan kepercayaan atas pembebasan keuangan. Dengan sistem blockchain yang membuat transaksi menjadi anonim, ini adalah sistem keuangan yang didambakan berbagai pihak, yang selama ini merasa dihantui oleh bayang-bayang negara.

Konteks ini yang menjadi pembeda utama uang fiat dengan cryptocurrency. Jika fiat memiliki negara yang menjaga harganya, cryptocurrency benar-benar bergantung pada pasar. Ini benar-benar perkara sentimen pasar.

Masalahnya, sentimen pasar tidak berada di ruang hampa. Ia terikat pada entitas yang memiliki pengaruh, atau tepatnya dipercaya memiliki pengaruh. Nah, dengan status Elon Musk yang menjadi salah satu orang terkaya di dunia, langkahnya memborong bitcoin pada bulan Februari telah meningkatkan drastis sentimen pasar.

Begitu pula dengan cuitan pada 13 Mei. Tidak diterimanya pembayaran menggunakan bitcoin telah memberi sentimen negatif. Itu adalah indikasi turunnya trust terhadap bitcoin. Penjelasan ini juga berlaku pada semua jenis cryptocurrency 

Akan Jatuh?

Meskipun telah menjelaskan bagaimana uang mendapatkan nilainya. Penjelasan tersebut belum menjawab, bagaimana awalnya cryptocurrency seperti bitcoin mendapatkan trust-nya? Bukankah tidak ada otoritas seperti negara yang menjamin harganya?

Pertanyaan ini dijawab oleh Robert J. Shiller dalam bukunya Narrative Economics: How Stories Go Viral and Drive Major Economic Events. Ketika bitcoin pertama kali diperkenalkan pada 2008, hype-nya begitu cepat berkembang. Ini adalah sistem uang yang benar-benar baru.

Menariknya, menurut Shiller, kebanyakan orang bersemangat dengan bitcoin, bukan karena inovasi dan teori matematika kompleksnya, melainkan karena sensasi dan misterinya. Seperti yang disebutkan sebelumnya, cryptocurrency adalah sistem yang menantang sistem keuangan tradisional, yang selama ini dikuasai oleh negara.

Mereka yang berinvestasi di bitcoin, percaya bahwa itu adalah cara baru yang revolusioner dalam menggunakan mata uang. Mereka adalah bagian dari masa depan sistem keuangan. Sistem yang bebas dari kendali pemerintah dan bank.

Baca juga :  Ironi Lumpuhnya Pasukan Perdamaian PBB

Singkatnya, apa yang dijual cryptocurrency sebenarnya adalah narasi futuristik tentang sistem keuangan. Ini disebut sebagai narrative economics. Bagaimana suatu narasi dapat mendorong peristiwa ekonomi.

Tidak hanya di cryptocurrencynarrative economics juga terjadi pada berbagai fenomena, seperti mahalnya harga bunga tulip pada abad ke-17 dan kacang pistachio yang pernah menjadi simbol kaum bangsawan karena menjadi makanan kegemaran Ratu Sheba.

Nah, di sini persoalannya menjadi genting. Jika cryptocurrency adalah narrative economics, sama seperti kasus bunga tulip dan kacang pistachio, harganya dapat kolaps jika narasinya tidak lagi menarik. Apalagi, ada kemungkinan berbagai negara akan mengikuti langkah Tiongkok untuk melarang transaksi menggunakan bitcoin ataupun cryptocurrency lainnya. Setidaknya memberi aturan ketat.

Baca Juga: Jokowi Di Tengah Terpaan Bitcoin

Pelarangan ini tidak hanya soal rentannya cryptocurrency digunakan sebagai medium transaksi gelap. Secara politik, negara juga tidak mungkin ingin kehilangan otoritasnya dalam mengatur sistem keuangan.

Seperti yang disebutkan oleh Profesor Ken Rogoff, “The long history of currency tells us that what the private sector innovates, the state eventually regulates and appropriates.” Sejarah panjang mata uang memberi tahu kita bahwa apa yang diinovasi oleh sektor swasta, akhirnya diatur dan diambil oleh negara.

Lanjut Rogoff, “My best guess is that in the long run, the technology will thrive, but that the price of bitcoin will collapse”. Teknologi akan berkembang, namun harga bitcoin akan kolaps.

Nina Bambysheva dalam tulisannya The Future Of Crypto And Blockchain: Fintech 50 2021, seolah membuktikan prediksi Rogoff. Saat ini telah ada Chainalysis, sebuah perusahaan yang dapat dijuluki sebagai “penjaga crypto”.

Ini karena Chainalysis telah membantu lembaga pemerintah di 50 negara menganalisis data blockchain untuk menyelidiki transaksi terlarang dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan anti pencucian uang.

Seperti kata Rogoff, “technology will thrive”. Chainalysis dapat meruntuhkan narasi futuristik yang melihat cryptocurrency sebagai sistem keuangan yang bebas dari bayang-bayang negara.

Kita lihat saja bagaimana masa depan cryptocurrency. Apakah berjaya? Apakah diambil atau diatur oleh negara? Atau runtuh bersama narasinya. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...