Prabowo memang dikenal melalui gaya kampanyenya yang tergolong hiperbolik. Menurut tim pemenangannya, hal ini bukannya tanpa maksud. Ada teori creative destruction di balik berbagai langkah kampanye kandidat nomor urut 02 ini.
Pinterpolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]rabowo Subianto kerap menuai kritik akibat berbagai pernyataannya. Mantan Danjen Kopassus ini memang dikenal dengan kritik pedasnya yang umumnya disampaikan dengan gaya bahasa yang hiperbolik. Prabowo kerap dianggap sebagai sosok yang menebar ketakutan dan menanamkan pesimisme dalam gaya kampanyenya.
Merespons tudingan tersebut, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut bahwa itu memang narasi kubu petahana. Ia menuding bahwa kubu Jokowi-Ma’ruf menggunakan narasi hoaks, pesimisme, dan lain sebagainya untuk menjawab kritik Prabowo.
Dahnil menyebut sebenarnya bahasa-bahasa kampanye kubunya dapat dimaknai dari sisi yang lain. Mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah itu menjelaskan bahwa yang dilakukan oleh kubunya sesuai dengan teori creative destruction yang dipopulerkan oleh Joseph Schumpeter.
Pernyataan Dahnil tersebut seperti menggambarkan bahwa berbagai pernyataan hiperbolik kubunya memiliki maksud dan terkesan teoretis. Lalu, apa sebenarna maksud dari creative destruction yang diungkapkan Dahnil? Apa yang bisa kubunya lakukan dengan teori yang diungkapkannya tersebut?
Terkait Inovasi
Jika dilihat dari sejarahnya, teori creative destruction ini kerap diidentikkan dengan Joseph Schumpeter, seorang ekonom asal Austria, sehingga membuat teori ini terkadang juga disebut sebagai Schumpeter’s gale. Teori ini disebut-sebut merupakan derivasi dari pemikiran berhaluan kiri dan kerap dikaitkan dengan inovasi dalam ekonomi dan bisnis.
Menurut Schumpeter, creative destruction merupakan proses mutasi industrial yang merevolusi struktur ekonomi dari dalam, secara terus-menerus menghancurkan yang lama, dan secara terus-menerus menciptakan yang baru.
Malam ini Ngopi Digital bareng relawan digital @prabowo @sandiuno
Bang @Dahnilanzar jadi salah satu pembicara.. pic.twitter.com/mRYOtcoV1G
— #FastabiqulKhairat (@machsuni_) January 3, 2019
Schumpeter sebenarnya mengaitkan proses tersebut dengan kapitalisme. Menurutnya, sistem kapitalisme sebenarnya memunculkan kekuatan kreatif dan destruktif tersebut. Akan tetapi, kekuatan tersebut pada akhirnya justru akan menghancurkan kapitalisme itu sendiri.
Di atas kertas, sulit untuk membayangkan akan ada sesuatu yang baru dari sebuah destruksi. Akan tetapi, dalam kadar tertentu, pandangan seperti itu pada akhirnya dapat diterima karena sistem ekonomi akan terus mengalami perubahan.
Inti dari proses creative destruction ini tidak lain adalah inovasi. Melalui proses ini, ada implikasi yang bisa muncul. Inovasi akan mampu menyingkirkan pemain bisnis lama dan kemudian memunculkan kelompok bisnis yang lebih baru. Terkait dengan hal tersebut, inovasi pada prosesnya akan menghancurkan atau mendestruksi produk yang sudah ada sebelumnya.
Dalam kadar tertentu, pandangan Schumpeter ini mirip dengan pendapat Charles Darwin tentang survival of the fittest. Dalam konteks ini, jika sesuatu yang lebih baik, lebih cepat, atau lebih murah muncul, maka sesuatu yang telah lebih dulu ada atau inkumben harus siap tergantikan.
Memang, teori ini sebenarnya lebih dekat dengan dunia bisnis dan ekonomi. Akan tetapi, dalam kadar tertentu, dunia politik juga dapat memiliki kaitan dengan teori ini. Inovasi dalam politik misalnya bisa saja menyingkirkan kepada kelompok politik yang tengah berkuasa.
Mengganti Pemain Lama
Pada titik ini, beragam kritik Prabowo, jika merujuk pada Dahnil, boleh jadi terkait dengan menyingkirkan pemain lama dan memunculkan pemain baru. Hal ini terkait dengan siklus lazim yang terjadi dalam proses creative destruction sesuai dengan teori di atas.
Prabowo disebut-sebut menggunakan teori creative destruction Share on XSebagaimana produk ekonomi dan bisnis, kejumudan atau rasa bosan juga bisa saja muncul dalam politik. Sebagaimana sistem ekonomi yang dapat berganti, rezim politik juga bisa saja berubah. Narasi seperti ini bisa saja tengah dibawa oleh Prabowo melalui gagasan creative destruction ini.
Kamp pemenangan Prabowo bisa saja sudah menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh lawannya selama ini sudah terlampau usang, sehingga diperlukan pemain baru. Dalam konteks ini, pemain baru ini diarahkan pada diri Prabowo.
Secara khusus, jika dikaitkan dengan pidato Indonesia punah dan beragam hiperbolanya, kubu Prabowo bisa saja tengah menyebutkan bahwa saat ini Indonesia tengah dalam ancaman destruksi atau kehancuran. Nuansa destruksi atau kepunahan ala Darwin tengah dikemukakan melalui narasi seperti itu.
Untuk mencegah hal itu, jika merujuk pada Schumpeter, maka dibutuhkan sesuatu yang baru untuk menggantikan inkumben. Pada titik ini, Prabowo seperti tengah memunculkan diri sebagai sosok yang akan membawa kebaruan dalam proses creative destruction tersebut.
Selain itu, pada konteks creative destruction tersebut, Prabowo juga mengirim kritik kepada kubu petahana. Pemerintahan Jokowi seperti disebut sebagai rezim yang tengah mengalami destruksi dan bisa saja membawa kehancuran yang lebih besar.
Ada Inovasi?
Meski pandangan tentang creative destruction Prabowo tersebut seperti memiliki makna, sebenarnya ada satu faktor kunci yang luput dari timnya. Sebagaimana disebut sebelumnya, inovasi merupakan inti dari proses tersebut, sehingga pemain lama dapat digantikan oleh pemain baru.
Jika diperhatikan, sulit untuk bisa menemukan inovasi yang benar-benar menarik dari visi, misi, program, atau pernyataan dari Prabowo dan juga Sandiaga. Nyaris semua hal yang mereka kemukakan tergolong umum dan tidak banyak menawarkan sesuatu yang benar-benar baru dan berbeda.
Dari segi visi misalnya, Prabowo kerap menyebutkan bahwa dirinya ingin mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur dan beberapa kata-kata positif lainnya. Hal ini tergolong sangat umum dan cenderung digunakan bertahun-tahun oleh banyak politisi.
Padahal, untuk bisa menggantikan inkumben yang digambarkan akan hancur, sesuatu yang lebih baik harus muncul. Jika merujuk pada teori Schumpeter, sulit untuk membayangkan Prabowo dapat menjadi kekuatan yang menggantikan kekuatan berkuasa jika tidak hadir sebagai sosok yang baru dan lebih baik.
Apalagi, pada hakikatnya, inovasi itulah yang menyebabkan destruksi atau kehancuran kepada inkumben dapat terjadi. Jika inovasi yang ditawarkan oleh Prabowo tergolong minimal, maka teori atau narasi creative destruction yang tengah ia dan timnya mainkan boleh jadi tidak akan memberikan hasil yang maksimal.
Dalam kadar tertentu, dapat dikatakan bahwa sejauh ini, Prabowo boleh jadi hanya menghadirkan disrupsi saja, alih-alih telah menuju inovasi. Hal ini terutama terkait dengan banyaknya bobot kritik yang mereka keluarkan ketimbang menawarkan sesuatu yang baru.
Hal ini tergolong disayangkan. Jika benar ingin membawa narasi creative destruction, inovasi menjadi satu hal yang bisa membedakan rezim lama dengan rezim baru yang dibawa oleh Prabowo. Kritiknya kemudian hanya terbatas menjadi cara-cara untuk perhatian saja, ketimbang menghadirkan sesuatu yang baru dari rezim yang dianggap mengalami destruksi.
Idealnya, dari berbagai kritik ini muncul inovasi dari kubu Prabowo untuk menggantikan hal-hal yang telah dijalankan oleh inkumben. Kreasi seperti ini dapat membuat narasi creative destruction menjadi lebih lengkap, jika benar ingin menggantikan kekuatan yang dianggap tengah mengalami destruksi atau kehancuran.
Pada akhirnnya, Pilpres 2019 masih menyisakan cukup banyak waktu. Prabowo dan tim pemenangannya masih memiliki cukup masa untuk bisa menurunkan visi misinya menjadi sesuatu yang lebih inovatif. Hal ini tergolong krusial jika benar mereka ingin menjadi sosok baru yang menggantikan rezim lama. (H33)