Sebuah lembaga konsultan asal London, Knight Frank, proyeksikan pertumbuhan ekonomi kelompok super kaya di Indonesia akan menjadi yang tertinggi di dunia dalam lima tahun ke depan. Di tengah menurunnya aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid-19, bagaimana mungkin proyeksi itu bisa terjadi?
“It’s true, 1 percent of the people do control 82 percent of the wealth. And the top 1 percent will always control most of the wealth until the other 99 percent figure out how the 1 percent go about cultivating wealth.” – Tom Corley, dalam The 1 percent will always control the wealth—and here’s how they do it
Dalam pandangan umum, sekiranya kita sepakat apabila pandemi Covid-19 bukanlah sekadar bencana kesehatan, melainkan juga bencana ekonomi. Aktivitas ekonomi menurun drastis seiring dengan pembatasan mobilitas masyarakat. Berbagai sektor ekonomi terpuruk, khususnya transportasi, pariwisata, dan pusat perbelanjaan.
Namun, melansir dari Nikkei Asia, lembaga konsultan yang berbasis di London, Inggris, Knight Frank justru mengeluarkan proyeksi yang mengejutkan. Menurut mereka, pertumbuhan ekonomi kelompok super kaya di Indonesia akan mencapai 67 persen dalam lima tahun ke depan – hingga 2025.
Kelompok atau individu super kaya ini adalah mereka yang memiliki kekayaan setidaknya US$ 30 juta atau sekitar Rp 427,3 miliar (kurs Rp 14,2 ribu).
Fantastisnya, angka tersebut tidak hanya tertinggi di Asia, melainkan juga di dunia. Di bawah Indonesia ada India dengan 63 persen dan Polandia dengan 61 persen. Menariknya, Tiongkok yang ekonominya disebut tengah rebound, justru menempati urutan ketujuh dengan 46 persen.
Ihwal tersebut kemudian yang membuat Nikkei Asia membuat judul berita, “Indonesia to outpace China in rise of crazy rich as COVID abates” atau “Indonesia mengungguli Tiongkok dalam kebangkitan orang super kaya karena COVID mereda”.
Knight Frank melakukan survei terhadap lebih dari 600 bankir swasta, penasihat kekayaan, dan kantor keluarga, yang dilakukan pada kuartal sebelumnya, menemukan lebih dari 80 persen responden di kawasan Asia-Pasifik memperkirakan kekayaan klien mereka akan meningkat atau meningkat secara signifikan di tahun ini – 2021.
Baca Juga: RR vs JK: Masalah Radikal Filsafat Ekonomi?
Tentu proyeksi ini menjadi tanda tanya tersendiri, khususnya terkait mengapa ihwal ini terjadi di Indonesia? Bukankah pandemi Covid-19 telah menghancurkan aktivitas ekonomi? Lalu kenapa terjadi proyeksi peningkatan kekayaan terhadap orang super kaya?
Perilaku Ekonomi yang Berbeda
Sayangnya, Nikkei Asia tidak menjelaskan mengapa proyeksi Knight Frank dapat terjadi, khususnya terkait Indonesia. Akan tetapi, proyeksi tersebut tampaknya dapat kita jawab menggunakan pendekatan behavioral economic (BE) atau ekonomi perilaku.
Ekonomi perilaku adalah pendekatan ekonomi yang menarik karena menggunakan eksperimen psikologis, khususnya bias kognitif untuk mengembangkan teori tentang pengambilan keputusan dalam aktivitas ekonomi. Berbeda dengan asumsi ekonomi sebelumnya, di mana manusia ekonomi (Homo Economicus) dipandang pasti bersifat self-interest dan rasional, ekonomi perilaku justru menunjukkan bahwa pengambilan keputusan ekonomi sering kali tidak rasional.
Sebagai contoh, dalam terang Homo Economicus, pasti disimpulkan bahwa suatu investasi yang ternyata tidak mendatangkan keuntungan pasti akan ditinggalkan. Akan tetapi, dalam banyak kasus, investasi tidak menguntungkan tersebut justru dipertahankan.
Dalam ekonomi perilaku, keputusan itu dikenal sebagai sunk cost. Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly menjelaskan sunk cost sebagai fenomena ketika seseorang merasa berat untuk meninggalkan investasi yang telah dilakukannya. Poinnya pada sesuatu yang telah dikorbankan, baik berupa uang, waktu, hingga emosi.
Pada dasarnya, mungkin diketahui bahwa investasi yang dilakukan sebenarnya tidak menguntungkan, bahkan juga dapat membawa kerugian. Namun, perasaan berat untuk meninggalkan begitu saja investasi yang telah dilakukan menjadi ganjalan utama.
Nah, pendekatan ekonomi perilaku ini membantu dalam merumuskan strategi marketing ataupun menentukan kebijakan ekonomi. Kimberly Amadeo dalam tulisannya Democrats or Republicans: Which Is Better for the Economy? menggambarkan dengan gamblang persoalan ini.
Di Amerika Serikat (AS), kita mengenal dua kutub partai politik yang menempatkan dirinya berposisi diametral, yakni Partai Republik dan Partai Demokrat. Tidak hanya berbeda secara ideologi, melainkan juga berbeda dalam rumusan kebijakan yang diambil, termasuk ekonomi.
Menurut Amadeo, Partai Republik menerapkan teori supply-side economics. Teori ini menyatakan bahwa pemotongan pajak pada bisnis memungkinkan mereka memperkerjakan lebih banyak pekerja, yang pada gilirannya meningkatkan permintaan dan pertumbuhan. Asumsinya adalah pertumbuhan ekonomi didapatkan melalui peningkatan produksi.
Sementara Partai Demokrat, menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih berfokus untuk membantu kelompok berpenghasilan rendah dan menengah. Selain untuk mengurangi ketimpangan pendapatan, kebijakan tersebut juga dipercaya sebagai cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ini bertolak dari temuan bahwa kelompok berpenghasilan rendah lebih cenderung menghabiskan uang ekstra untuk kebutuhan sehari-hari daripada menabung atau berinvestasi. Dengan demikian, ini secara langsung meningkatkan permintaan dan memacu pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Jokowi Sangat Butuh Kemenangan Trump?
Dari penjelasan Amadeo kita dapat menarik kesimpulan bahwa terdapat perilaku yang berbeda antara kelompok ekonomi rendah dan menengah, dengan kelompok ekonomi atas. Kata kuncinya adalah perilaku investasi.
Tom Corley dalam tulisannya The 1 percent will always control the wealth—and here’s how they do it juga menegaskan hal ini. Menurutnya, memang benar orang kaya memiliki privilese yang tidak dimiliki oleh mereka yang terlahir miskin. Akan tetapi, orang kaya mampu menjaga kekayaannya karena memiliki kebiasaan-kebiasaan yang baik, seperti menabung dan mengontrol pengeluarannya.
Pengeluaran yang Menjadi Pemasukan
Nah, setelah memahami ekonomi perilaku dan perbedaan perilaku ekonomi antar kelompok ekonomi, kita dapat menjelaskan mengapa proyeksi Knight Frank dapat terjadi. Kata kunci hasil survei itu adalah pernyataan responden mereka yang menyebutkan kekayaan kliennya akan meningkat drastis di 2021.
Ini tentu menarik. Survei itu dilakukan di kuartal IV 2020, di mana pandemi belum menunjukkan tanda-tanda mereda, serta vaksin belum tersebar secara global. Aneh kan?
Di sini, faktornya kemungkinan besar adalah pengeluaran yang justru menjadi pemasukan di tengah pandemi Covid-19.
Seperti yang diketahui, aktivitas berbagai sektor usaha menurun di tengah pandemi. Terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penyerapan pajak negara menjadi berkurang. Sekarang pertanyaannya, ke mana uang-uang tersebut? Ke mana uang untuk membayar gaji karyawan? Ke mana uang untuk membayar pajak?
Di titik ini, sekiranya sudah cukup jelas. Memang benar para kelompok super kaya mengalami penurunan aktivitas ekonomi di tengah pandemi. Akan tetapi, dengan alasan pandemi, mereka memiliki dalih untuk menghemat pengeluarannya dengan mengurangi gaji karyawan, melakukan PHK, atau bahkan tidak penuh membayar pajak.
Terlebih lagi, pemerintah Indonesia juga memberikan insentif pajak, serta adanya wacana tax amnesty jilid II baru-baru ini.
Selain itu, pada 2020, melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah juga menganggarkan dana Rp 579,78 triliun yang dialokasikan untuk berbagai sektor usaha. Pada 2021, angkanya meningkat menjadi Rp 688,3 triliun.
Ngomong-ngomong, program PEN dapat dikategorikan sebagai teori supply-side economics. Ini adalah mazhab ekonomi yang disebut dengan trickle-down economics atau trickle-down effect.
Sekarang pertanyaannya, mengacu pada perilaku ekonomi berinvestasi yang dimiliki kelompok ekonomi makro, apakah dengan mendapatkan insentif ekonomi akan membuat mereka meningkatkan produksi?
Kemungkinan besar tidak. Berbeda dengan kelompok usaha kecil dan menengah, seperti UMKM, yang mungkin menggunakan insentif untuk meningkatkan produksi, atau setidaknya membayar sewa tempat, kelompok usaha makro kemungkinan menggunakannya untuk berinvestasi, misalnya dengan membeli properti.
Hotel di Bali, misalnya, karena mengalami penurunan pengunjung akibat pandemi, baru-baru ini Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut setidaknya 60 hotel di Pulau Dewata akan dijual.
Sekiranya mudah ditebak. Setelah nantinya pandemi mereda seiring dengan dimulainya vaksinasi, mereka yang memanfaatkan pandemi untuk berinvestasi, seperti membeli properti akan mengalami lonjakan kekayaan, persis seperti proyeksi Knight Frank.
Secara keseluruhan, terjadi pula masalah yang disebut dengan paradox of thrift atau paradoks penghematan. Di satu sisi, masyarakat dituntut untuk berbelanja agar perputaran uang terjadi, sehingga ekonomi dapat tumbuh. Namun di sisi lain, masyarakat merasa harus berhemat karena pandemi tidak diketahui kapan akan berakhir. Ihwal yang terakhir, yang sepertinya condong untuk dilakukan.
Baca Juga: Resesi Ekonomi, Jokowi Terjebak Paradox of Thrift?
Well, pada akhirnya tulisan ini adalah asumsi teoretis semata. Kita lihat saja apakah proyeksi Knight Frank tersebut akan menjadi kenyataan atau tidak. Bagaimanapun, harapan kita tentunya satu, yakni pandemi Covid-19 segera berakhir. (R53)