HomeNalar PolitikCorona: Pengusaha vs Everybody

Corona: Pengusaha vs Everybody

Di tengah pandemi yang disebabkan oleh virus Corona, pengusaha bisa jadi malah semakin terimpit, baik karena tekanan ekonomi maupun sosial. Mengapa tekanan-tekanan ini dapat terjadi?


PinterPolitik.com

“When Brazil faces Cameroon in the World Cup, a vast majority of fans across the world are likely to support Cameroon because the former is a footballing giant and its human nature to side with underdogs” – El Profesor, La Casa da Papel

Siapa yang hari-hari ini tidak takut dengan virus Corona? Semenjak pertama kali muncul, virus ini telah menyebabkan wabah yang terus bertambah jumlahnya, khususnya di Indonesia.

Saking cepatnya virus ini menginfeksi, World Health Organization (WHO) harus menetapkan status pandemi global kepada wabah ini. Selain itu, WHO akhirnya juga menetapkan nama resmi atas pandemi ini, yakni Covid-19 (Coronavirus Disease 2019).

Krisis kesehatan masyarakat sudah pasti membayangi banyak negara – termasuk Indonesia – dalam beberapa waktu ke depan. Menanggapi hal ini, meski dianggap terlambat, pemerintah akhirnya mengeluarkan imbauan dan kebijakan guna membatasi penularan, yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Alhasil, krisis yang bermula dari dimensi kesehatan ini akan merambat ke dimensi ekonomi. Aktivitas perdagangan, perbankan, dan kegiatan ekonomi lainnya telah berkurang banyak intensitasnya.

Bahkan, International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan bahwa ancaman resesi ekonomi dunia akibat pandemi Covid-19 akan menjadi resesi terburuk dalam sejarah setelah Depresi Besar (Great Depression) pada tahun 1930-an. Bila Depresi Besar membuat pertumbuhan menurun sebanyak 15 persen, proyeksi pertumbuhan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) di tengah pandemi kini dinilai akan berkurang hingga tiga persen.

Sudah hampir dipastikan bahwa badai ini akan sangat berdampak pada banyak pihak, termasuk para pengusaha. Aktivitas ekonomi dinilai telah menurun hingga pada tingkat yang belum dunia alami pada era kontemporer.

Boleh jadi, seperti pada era Depresi Besar, angka pengangguran akan meningkat terus. Bagaimana tidak? Pemutusan hubungan kerja (PHK) terus terjadi juga di Indonesia karena pengusaha juga harus menjaga perusahaannya tetap hidup.

Namun, meski para pengusaha ini telah terimpit oleh dampak ekonomi pandemi, banyak elemen masyarakat sepertinya malah semakin menyudutkan pengusaha, baik pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya maupun kelompok pekerja dan buruh melalui tekanan sosial.

Baca juga :  PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

PHK bisa dibilang merupakan sebuah keputusan yang tak hanya merugikan untuk kelompok pekerja, melainkan juga untuk para pengusaha. Akan tetapi, pengusaha dinilai juga perlu menjaga agar usahanya tetap hidup di tengah pandemi.

Alhasil, para pengusaha harus menghadapi dilema dalam mengambil keputusan. Bukan tidak mungkin tekanan dari berbagai pihak malah membuat dilema ini semakin berat.

Beberapa pertanyaan pun akhirnya timbul. Mengapa pengusaha menjadi seperti semakin terimpit di tengah tekanan sosial-politik akibat pandemi? Lantas, persoalan dilema yang seperti apa yang dihadapi oleh pengusaha?

Narrative Fallacy

Semakin terimpitnya pengusaha di bawah tekanan sosial akibat pandemi Covid-19 ini bisa jadi disebabkan oleh pemahaman dan asumsi yang tersebar di masyarakat. Pasalnya, terdapat tendensi tertentu di masyarakat yang menghendaki agar hal tersebut dapat terjadi.

Dalam behavioural finance, terdapat konsep yang disebut dengan narrative fallacy (kekeliruan naratif). Kekeliruan naratif ini terjadi karena sifat alamiah manusia untuk menyukai cerita dan kisah tertentu.

David John Marotta dari Marotta Wealth Management dalam tulisannya di Forbes menjelaskan bahwa otak manusia cenderung akan mencari narasi sebab-akibat yang disukai ketika hal buruk terjadi. Kecenderungan manusia untuk memilih narasi seperti ini terjadi karena keinginan alamiah manusia untuk mencari penjelasan yang sederhana dan singkat.

Otak manusia cenderung akan mencari narasi sebab-akibat yang disukai ketika hal buruk terjadi. Share on X

Padahal, penyebab akan terjadinya sesuatu peristiwa atau dampak tidaklah terjadi karena satu narasi saja. Marotta pun mencontohkannya dengan fluktuasi harga yang terjadi di pasar saham – di mana biasanya narrative fallacy kerap memengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan para investor.

Dalam pasar modal, para investor cenderung memutuskan tindakannya berdasarkan satu narasi yang dianggap masuk akal meskipun terdapat banyak variabel lain yang bisa saja turut memengaruhi.

Lantas, apa hubungannya fallacy ini dengan fakta bahwa pengusaha semakin terimpit di tengah pandemi?

Mungkin, kekeliruan naratif seperti inilah yang turut memengaruhi adanya tekanan sosial terhadap pengusaha di tengah pandemi Covid-19. Narasi soal pengusaha yang dianggap aji mumpung melakukan PHK misalnya belum tentu benar-benar terjadi disebabkan oleh upaya pemanfaatan situasi pandemi.

Padahal, seperti yang diketahui, fakta dampak ekonomi yang meluas karena pandemi kini bakal membuat banyak pengusaha harus memutar otak agar survavibility-nya terjaga. Apalagi, selain harus menghadapi tekanan ekonomi tersebut, pengusaha juga harus dihadapkan dengan tekanan sosial dan politik, seperti tekanan dari kelompok buruh agar tidak melakukan PHK.

Tekanan-tekanan ini bisa jadi menciptakan dilema bagi pengusaha. Dilema inilah yang mungkin tak terlihat oleh masyarakat umum.

Baca juga :  Anies Bantu Prabowo Melupakan Jokowi?

Pertanyaan lain pun akhirnya timbul. Mengapa masyarakat umum dan pemerintah dapat jatuh pada narrative fallacy seperti ini? Lantas, dilema pengusaha seperti apa yang dihasilkan dari kekeliruan narasi ini?

Dilema Etika Bisnis

Kekeliruan narasi yang dialami oleh masyarakat dan media pada umumnya bisa saja terjadi akibat tendensi manusia yang kerap mendukung pihak yang lemah dalam suatu kontestasi. Tendensi inilah yang pada ujungnya memunculkan dilema etika bisnis bagi para pengusaha.

Seperti kutipan percakapan El Profesor dalam seri yang berjudul La Casa da Papel di awal tulisan, manusia dianggap memiliki kecenderungan untuk mendukung pihak yang lemah (underdogs) dalam sebuah pertarungan. Tendensi psikologis seperti ini kerap terjadi dalam pertandingan olahraga antara tim yang kuat dan tim yang lemah.

Bukan tidak mungkin narrative fallacy yang diyakini masyarakat pada umumnya ini terjadi akibat tendensi psikologis tersebut. Alhasil, tekanan sosial yang timbul akibat tendensi ini membuat pengusaha merasakan dilema etika bisnis.

Ikbale Tota dan Hidajet Shehu dari Agriculture University of Tirana, Albania, dalam tulisan mereka yang berjudul The Dilemma of Business Ethics menjelaskan bahwa etika bisnis berbicara mengenai perilaku baik atau buruk serta salah atau benar yang terjadi dalam konteks bisnis.

Etika bisnis ini memberikan batasan pada keputusan yang diambil para pengusaha. Benar atau tidaknya sebuah keputusan bisnis ini tidak mudah ditentukan dengan adanya batasan etika tersebut.

Tota dan Shehu juga menjelaskan bahwa etika ini juga dipengaruhi oleh ekspektasi masyarakat. Seiring perkembangan zaman, ekspektasi masyarakat akan etika bisnis juga terus meningkat.

Akibatnya, dilema etika bisnis ini membayangi para pengusaha. Para pengusaha lantas merasa bingung dalam mengambil keputusan karena harus memikirkan ekspektasi etika bisnis (obligasi moral) dengan konsekuensi lainnya yang dapat terjadi.

Dalam hal ini, pandemi Covid-19 ini bisa saja membuat dilema ini semakin parah. Di samping ekspektasi masyarakat yang tinggi terhadap benar atau tidaknya tindakan para pengusaha, bukan tidak mungkin konsekuensi lainnya – seperti survavibility (keselamatan) perusahaan – turut dipertaruhkan.

Pada akhirnya, pengusaha pun makin terjepit oleh tekanan dilema ini di tengah pandemi Covid-19. Bukan tidak mungkin hal ini akan berdampak pada nasib sektor swasta dalam perekonomian Indonesia bila para pengusaha harus menghadapi dilema yang lebih sulit ke depannya. Menarik untuk dinantikan akan langkah pemerintah untuk menyelamatkan semua kelompok di tengah pandemi ini. (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

More Stories

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

AHY, the New “Lee Hsien Loong”?

Di tengah sorotan publik terhadap para pejabat yang dapat gelar akademis tertentu, pujian justru diberikan kepada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).