Site icon PinterPolitik.com

Corona, Penguasa Pancing Aksi Massa?

Meskipun dalam masa pandemi Covid-19, gerakan aksi massa terkait Omnibus Law dinilai tinggal menunggu waktu.

Meskipun dalam masa pandemi Covid-19, gerakan aksi massa terkait Omnibus Law dinilai tinggal menunggu waktu. (Foto: inisiatifnews)

Terus bergulirnya pembahasan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah mengenai Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai kontroversial seakan mengusik banyak pihak, khususnya di tengah pandemi Covid-19. Sementara, tren aksi massa sendiri dengan berbagai tuntutan mulai terlihat di beberapa negara, seolah menunjukkan ketidakgentaran resistensi di tengah lockdown. Akankah aksi massa besar terjadi di Indonesia?


PinterPolitik.com

Kompleks gedung parlemen di Senayan tetap bergeliat bersamaan dengan manuver para wakil rakyat melaksanakan fungsi legislasi di tengah pandemi Covid-19. Jika tidak ada pandemi Covid-19 serta pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), anggota dewan dinilai tidak akan nyaman dikarenakan bisingnya pengeras suara demonstran dari luar gedung.

Demikianlah faktanya, pandemi Covid-19 dijadikan aji mumpung oleh penguasa, dalam hal ini DPR dan Pemerintah, untuk memuluskan rancangan serta menelurkan berbagai regulasi yang kontraproduktif dari sudut pandang rakyat.

Omnibus Law Cipta Kerja seolah terus merangsek maju ke meja pengesahan final pimpinan DPR dan Pemerintah dan dinilai menghiraukan berbagai kritik rakyat serta para stakeholder terkait lainnya selama pembahasan. Badan Legislasi (Baleg) DPR menyatakan bahwa rapat Omnibus Law Cipta Kerja pada awal pekan ini tiba-tiba bersifat tertutup, dengan “mengusir” Aliansi Masyarakat Sipil dari rapat daring setelah turut menyampaikan pandangan yang berbeda.

Terkini, DPR merespon kritikan pasca aksi blokir rapat daring tersebut dengan mengatakan bahwa DPR dapat menarik pembahasan regulasi itu jika Pemerintah, sebagai pengusul RUU, bersedia mundur dari pembahasan. Namun, hal ini dinilai hanya menjadi sequel aksi saling lempar bola panas menyikapi kritikan keras terhadap regulasi itu sejak awal.

Di sisi lain, aksi yang patut diapresiasi ditampilkan Partai Demokrat dengan menarik diri dari panitia kerja (panja) Omnibus Law Cipta Kerja serta dua RUU lainnya. Mereka menilai pembahasan itu tidak relevan dengan kebutuhan rakyat saat pandemi Covid-19, sekaligus menyusul Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memang “tidak diajak” dalam panja.

Meskipun demikian, fraksi dalam panja lainnya yang notabene merupakan mayoritas barisan penguasa tampaknya bergeming dan disinyalir akan terus bergerak menyelesaikan pembahasan. Ketika sampai pada akumulasi perspektif ini, muncul teka teki terkait keberlanjutan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja yang berkonsekuensi membiarkan peluang adanya aksi massa semakin besar. Benarkah demikian?

Massa Actie

Beberapa dari publik mungkin langsung terbayang sosok Tan Malaka ketika membaca sub judul di atas. Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Sutan Malaka, adalah tokoh intelektual legendaris bangsa yang menerbitkan karya-karya monumental penggerak mesin perlawanan para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karyanya yang berjudul “Massa Actie” atau “Aksi Massa” itu sempat menjadi bahan pembicaraan publik karena menjadi salah satu barang bukti penangkapan remaja yang diduga Anarcho Sydicalist beberapa waktu lalu.

RisalahMassa Actie” atau “Aksi Massa” yang rampung ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1926, sesungguhnya memuat sebuah pesan kuat mengenai pentingnya preparasi sebelum sebuah aksi yang revolusioner dilakukan. Tan Malaka mengatakan bahwa sebuah pergerakan berhasil jika jutaan buruh mampu mogok dan berdemonstrasi menuntut hak ekonomi dan politiknya tanpa “melempar sebutir kerikilpun” kepada penguasa.

Artinya, Tan Malaka ingin agar aksi massa yang dilakukan tidak secara gegabah serta dilandasi kerja keras dalam perencanaan yang betul-betul matang sehingga eksekusi sebuah aksi revolusioner dapat berjalan sukses.

Namun sepertinya, pada isu terkini, pesan Tan Malaka tersebut belum terlihat diimplementasikan dengan baik, terutama untuk merespon Omnibus Law Cipta Kerja belakangan ini. Hal tersebut dapat terlihat dari rencana aksi May Day mendatang, di mana Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sebagai perwakilan aksi telah mengagendakan unjuk rasa di depan parlemen serta kantor Kemenko Perekonomian dengan mengerahkan 50 ribu buruh.

Mungkin saja, aksi massa yang mereka lakukan saat pandemi Covid-19 ini terinspirasi pula dari pergerakan serupa yang memang sedang jamak terjadi di berbagai belahan dunia. Di Israel misalnya, ribuan warga di Tel Aviv menggelar unjuk rasa terhadap Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu yang tersandung skandal suap, di alun-alun kota Tel Aviv pada akhir pekan lalu. Uniknya, aksi digelar dengan tetap mematuhi aturan social distancing demi mencegah penularan dan penyebaran Covid-19.

 

Sementara di Amerika Serikat (AS), gelombang aksi besar menuntut pencabutan lockdown semakin meluas di 12 negara bagian. Rakyat negeri Paman Sam menilai bahwa lockdown membelenggu kebebasan serta menuding pemerintah tidak memiliki solusi atas bisnis dan mata pencaharian mereka yang hilang. Sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan, mayoritas dari mereka mengaku sama sekali tidak takut sedikitpun akan Covid-19, serta mengindikasikan rasionalitas pemenuhan kehidupan di depan mata dibandingkan menderita karena terkekang kebebasannya.

Aksi massa saat lockdown juga terjadi sebagai lanjutan agenda demonstrasi sebelumnya di Paris, Perancis. Peserta aksi menilai Presiden Emmanuel Macron telah memperburuk ketegangan sosial yang mendalam di lingkungan miskin dan berpenghasilan rendah di sekitar ibukota selama karantina.

Berbagai aksi massa tersebut tentu memiliki latar belakang serta efektivitas yang berbeda. Namun untuk aksi massa terkait isu Omnibus Law Cipta Kerja, pihak-pihak yang terlibat dan berkenpentingan sepertinya harus mengimplementasikan kembali pesan Tan Malaka sebelumnya.

Merujuk pesan mendalam Tan Malaka, PSBB dinilai akan membuat aksi tidak seberapa bernilai esensinya dikarenakan keterbatasan pergerakan massa. Selain itu, jumlah buruh serta gabungan massa yang tidak seberapa berpotensi mengurangi “keganasan” aksi.

Aksi yang digelar tanpa perencanaan matang saat May Day di tengah pandemi Covid-19 nanti juga seolah hanya bersifat sporadis dan seperti seremonial tahunan belaka. Berbagai hal tersebut tentu tidak sebanding dengan urgensi tuntutan, yang tidak hanya mendesak, namun juga butuh strategi ciamik dari para ahli, orator, hingga seluruh komponen massa agar memberikan impresi kuat nan revolusioner, mengingat penguasa terkesan ultra defensif terhadap Omnibus Law.

Alternatif Reliabel

Penguasa, baik DPR dan Pemerintah, saat ini sedang berada di atas angin terkait Omnibus Law Cipta Kerja. Pandemi Covid-19 dinilai benar-benar “dimaksimalkan” untuk menghindari resistensi dan gejolak massa melalui tidak transparannya agenda pembahasan, teknis pembahasan yang dilakukan secara virtual, hingga narasi lempar tangkap yang telah publik ketahui, namun seolah sangat sulit diintervensi secara sah.

Akan tetapi bagi masyarakat, buruh, dan para stakeholder yang berkepentingan atas Omibus Law, peluang terjadinya aksi massa yang benar-benar revolusioner dan berdampak siginifikan tidak sepenuhnya tertutup.

Seperti yang terjadi pada aksi Wisconsin Uprising di AS pada tahun 2011. Ketika itu rangkaian panjang aksi massa berhasil meruntuhkan regulasi budget repair bill yang merugikan rakyat. Aksi massa dilakukan dengan cara yang kreatif serta elegan sehingga mendorong banyak pihak kompeten dan sama-sama berkepentingan untuk turut serta menduduki Wisconsin State Capitol.

Peristiwa ini kemudian dianalisis dalam publikasi Tim Frandy berjudul “Revitalization, Radicalization, and Reconstructed Meanings: The Folklore of Resistance During the Wisconsin Uprising.” Frandy menyatakan aksi uprising sebagai level berikutnya dari demonstrasi konvensional. Dalam hal ini uprising dimaknai sebagai sebuah agenda kompleks dengan kolaborasi aliansi raksasa dari berbagai “frekuensi” suara yang berbeda dengan taktik strategis bercorak kerakyatan kontemporer.

Gerakan uprising, seperti yang dikemukakan Frandy tersebut tentu dapat menjadi opsi prioritas seluruh rakyat, serikat buruh dan elemen massa berkepentingan lainnya terkait Omnibus Law. Rakyat dapat berkolaborasi terlebih dahulu untuk mengkonsolodasikan seluruh kekuatan dan strategi yang relevan dan komprehensif.

Implementasinya, massa gabungan tersebut dapat mereplikasi Wisconsin Uprising dengan menyajikan rangkaian penampilan kultur ekspresif, hymne-hymne protes lantang, yel-yel atau chants elegan, poster-poster dan meme kreatif, kostum sindiran, hingga lelucon simbolis. Hal ini selain sebagai inovasi pergerakan, juga bertujuan untuk menarik massa yang lebih besar dan bermuara pada bargaining power atau kekuatan tawar yang besar di hadapan penguasa.

Selain adanya latar belakang kesamaan aspek psikologi berupa fear dan anxiety. Masih merujuk pada tulisan Frandy, aksi massa uprising Omnibus Law dinilai akan memiliki kekuatan dahsyat berupa kaum muda idealis-progresif serta kaum “terpinggirkan” dengan prinsip nothing to lose.

Bagaimanapun, potensi gejolak sosial berupa aksi massa disinyalir kuat akan terjadi apapun bentuknya sekalipun di tengah berbagai hambatan selama pandemi Covid-19. Hal ini mengingat, gelagat mencurigakan penguasa serta aturan-aturan kontroversial berbagai jenis Omnibus Law sendiri semakin menguatkan ketidakberesan dibalik pembentukannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

“Just because there is a crisis, you don’t lose your rights, otherwise you never really had to begin with.”

-Anonim, Demonstran Anti Lockdown Amerika Serikat

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version