Ternyata, penyebaran virus Corona (Covid-19) yang kini menjadi fokus pemerintahan Jokowi bukanlah pengalaman pandemi satu-satunya bagi Indonesia. Di masa lalu, negara kepulauan ini juga pernah menghadapi pandemi serupa pada tahun 1918-1920. Apakah Indonesia tengah alami amnesia?
PinterPolitik.com
“Follow procedure, remember? Oh, wait, you got amnesia” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Masa lalu memang susah dilupakan. Kebanyakan dari kita, entah sengaja atau tidak sengaja, kerap dihantui oleh memori dan kenangan akan peristiwa di masa lampau.
Ingatan soal mantan kekasih misalnya, terkadang membuat kita merasa sedih atau marah. Bukan tidak mungkin kenangan ini memaksa kita untuk mengingat-ingat kembali kesalahan apa yang pernah dibuat.
Atau mungkin, kenangan masa lalu membuat kita menyadari sejauh mana kita telah tumbuh dan mengembangkan diri. Bagaikan tren 10-year-challenge, banyak perubahan terasa telah terjadi hanya melalui bingkai-bingkai foto digital di media sosial.
Mungkin, itulah manfaat yang terbenam di balik kenangan dan memori masa lalu, yakni pembelajaran. Kita boleh dibuat belajar dari diri yang hidup di masa lampau.
Artikel Ravando Lie berikut ini memperlihatkan krusialnya pelajaran sejarah.
Pandemi Flu Spanyol 1918 telah menewaskan 1,5 juta warga Hindia Belanda. Sebabnya? Respons pemerintah lambat, pengambilan kebijakan tak efektif, dan byk orang tak bertanggung jawab memanfaatkan situasi. pic.twitter.com/wLoUBDy80R
— Sylvie Tanaga (陳秀芳) (@SylvieTanaga) March 21, 2020
Bisa jadi, pembelajaran masa lalu inilah yang juga perlu diperhatikan oleh pemerintah Indonesia kini dalam menghadapi pandemi global yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19). Pasalnya, tanpa banyak diketahui oleh publik, masyarakat Indonesia dari generasi-generasi lalu telah melewati pengalaman pandemi yang tak kalah menyeramkan.
Pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1918 hingga tahun 1920, masyarakat yang tinggal di kepulauan Asia Tenggara yang kini dikenal sebagai Indonesia – dulu Hindia Belanda – telah melalui salah satu pandemi terbesar dalam sejarah, yakni Pandemi Influenza (atau Flu Spanyol) 1918.
Kala itu, banyak warga Hindia Belanda harus meregang nyawa – yakni berjumlah sekitar 1,5 juta jiwa. Beberapa versi lain juga mengatakan bahwa banyak kematian tak tercatat dalam data.
Estimasi baru yang dibuat oleh Siddharth Chandra – profesor Studi Asia di Michigan State University, Amerika Serikat (AS) bahkan menyebutkan bahwa Hindia Belanda saat itu kehilangan proporsi populasi sebesar 3,7-3,8 persen – yakni sebanyak 4,26 juta hingga 4,37 juta jiwa.
Ravando Lie – kandidat PhD di University of Melbourne – dalam artikel miliknya juga menjelaskan bahwa pandemi kala itu menjadi wabah yang menewaskan banyak orang – dikarenakan minimnya kesiapan pemerintah Hindia Belanda dalam menangani pandemi influenza. Selain itu, Departemen Kesehatan Hindia Belanda (BDG) juga pada mulanya meremehkan pandemi tersebut sebagai flu biasa.
Apa yang dijelaskan oleh Lie ini sebenarnya terdengar mirip dengan respons yang dimiliki oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) kini dalam menghadapi pandemi Covid-19. Mengapa pemerintah tak belajar dari masa lampau ini? Apakah Indonesia tengah mengalami amnesia?
Trauma Kolektif
Ingatan masa lalu ini sebenarnya dapat sedia kala terbenam dalam memori sebuah negara, masyarakat, atau pun bangsa. Tidak menutup kemungkinan memori masa lalu ini turut mengisi diskursus politik dan kebijakan.
Tetap tertanamnya ingatan-ingatan dari masa lampau pada tataran kemasyarakatan ini disebut dengan konsep memori kolektif (collective memory). Konsep memori kolektif ini pertama kali dicetuskan oleh Maurice Halbwachs, seorang filsuf dan ahli sosiologi asal Prancis.
Dalam buku Halbwachs yang berjudul On Collective Memory, dijelaskan bahwa memori kolektif ini terbangun dari konstruksi narasi yang ada di masyarakat. Peristiwa besar biasanya akan tetap tersimpan di benak anggota-anggota kelompok atau masyarakat itu sendiri.
Halbwachs pun mencontohkan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi di AS dan Prancis, yakni Hari Kemerdekaan AS dan Hari Bastille. Kedua peristiwa besar itu selalu menyalakan memori tertentu bagi masing-masing warga AS dan Prancis.
Memori kolektif terbangun dari konstruksi sosial di masyarakat. Peristiwa besar biasanya akan tetap tersimpan di benak anggota-anggota masyarakat. #COVID-19 Share on XLantas, mengapa narasi sejarah dalam memori kolektif ini menjadi penting? Apakah memori benar-benar dapat menjadi pelajaran bagi masyarakat masa kini?
Tentu, ingatan masa lalu dapat menjadi bagian yang penting dari masa kini. Inilah yang dijelaskan oleh Patrick O’Callaghan – dosen hukum di University College Cork di Irlandia – dalam tulisannya yang berjudul Collective Memory in Law and Policy.
O’Callaghan setidaknya menjelaskan pengaruh memori kolektif dalam kebijakan dengan menggunakan salah satu inflasi terbesar Jerman dalam sejarah pada tahun 1922-1923 yang disebut sebagai Inflasi Besar (the Great Inflation). Inflasi kala itu dinilai telah membawa bencana ekonomi makro bagi Jerman – bahkan memunculkan situasi kondusif bagi lahirnya Nazi di Jerman.
Memori tentang Nazi dan totalitarianisme bagi sebagian besar masyarakat Jerman merupakan trauma masa lalu yang buruk. Selain itu, Inflasi Besar juga dikaitkan dengan kerugian personal yang sangat besar.
Trauma itu tentunya terbawa hingga diskursus pengambilan kebijakan Jerman dan Eropa. Pada akhir abad ke-20, Kanselir Jerman Helmut Kohl menekankan bahwa persyaratan unifikasi antarnegara Eropa di bidang moneter dan ekonomi perlu mengacu pada Kriteria Maastricht yang menjadikan tingkat inflasi tertentu sebagai syaratnya.
Kohl pun menjelaskan bahwa inflasi dapat berpengaruh pada institusi-institusi demokrasi. Maka dari itu, pemerintah Jerman kala itu tidak mau berdiskusi dengan negara-negara Eropa lainnya terkait Kriteria Maastricht.
Bila trauma masa lalu di Jerman ini dapat memengaruhi pemerintahan Kohl, bagaimana dengan ingatan pandemi Hindia Belanda? Apakah trauma masa lampau dapat membantu respons kebijakan dalam menghadapi pandemi?
Amnesia Sosial
Memori dan trauma akan wabah yang pernah terjadi di masa lampau sebenarnya dapat menjadi pembelajaran bagi suatu negara. Pasalnya, seperti yang dijelaskan oleh O’Callaghan sebelumnya, trauma akan bencana masa lalu dapat menciptakan kecemasan tersendiri bagi para pengambil kebijakan.
Mungkin, memori dan trauma akan wabah penyakit menular seperti Covid-19 ini masih jelas teringat di benak para pengambil kebijakan Republik Tiongkok (Taiwan). Pasalnya, negara yang tidak menjadi anggota dari World Health Organization (WHO) itu disebut-sebut berhasil dalam membendung penularan Covid-19 di wilayahnya.
Pada awal abad ke-21, tepatnya pada tahun 2003, sebuah wabah yang juga bermula di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) turut menghantui Taiwan. Kala itu, wabah severe acute respiratory syndrome (SARS) – berdasarkan data milik WHO – menginfeksi sebanyak 346 orang yang mana 37 di antaranya meninggal dunia di negara tersebut.
Rasio fatalitas yang disebabkan oleh SARS di Taiwan mencapai 11 persen. SARS akhirnya membuat pemerintah disibukkan selama kurang lebih empat bulan.
Bukan tidak mungkin pemerintah Taiwan akhirnya belajar dari wabah tersebut. Chan Chang-chuan dari National Taiwan University menyebutkan bahwa negaranya belajar dari pengalaman masa lalu itu.
Kini, Taiwan menjadi salah satu negara yang dianggap paling sukses dalam menghadapi pandemi Covid-19 meskipun memiliki kedekatan geografis dengan RRT yang menjadi pusat wabah pertama. Jumlah kasus di negara tersebut hingga kini mencapai angka 339 dengan hanya 5 kematian.
Bila Taiwan bisa belajar dari trauma wabah itu, mengapa Indonesia terkesan amnesia terhadap Pandemi 1918? Apakah publik dan pemerintahan Jokowi telah melupakannya?
Bisa jadi, Indonesia sendiri telah mengalami amnesia dan melupakan pengalaman pandemi di masa lalu tersebut. Amnesia inilah yang mungkin dijelaskan oleh Russell Jacoby dalam bukunya yang berjudul Social Amnesia.
Jacoby mendefinisikan amnesia sosial sebagai represi ingatan atas masa lalu yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Hilangnya memori dari pikiran masyarakat ini dapat terjadi akibat dinamika sosial dan ekonomi dari masyarakat itu sendiri.
Dalam bukunya, Jacoby menggunakan perspektif Marxisme dalam menjelaskan fenomena amnesia ini. Amnesia sosial ini dapat disebabkan oleh ilusi sosial yang bertujuan untuk menjaga status quo.
Bila kita tilik kembali, bukan tidak mungkin hilangnya memori pandemi pada awal abad ke-20 tersebut disebabkan oleh status quo yang ingin dijaga oleh pemerintah Hindia Belanda. Pasalnya, mengacu pada tulisan Chandra di awal tulisan, banyak kasus infeksi pada pandemi tersebut tidak terdata dan terlaporkan dengan baik.
Selain itu, bisa jadi, kecenderungan pemerintahan Jokowi di masa kini untuk berfokus pada ekonomi di tengah pandemi Covid-19 turut memengaruhi minimnya memori pandemi tersebut di ingatan masyarakat dan pemerintah sendiri.
Ini boleh jadi berhubungan dengan penjagaan status quo ekonomi oleh pemerintah yang enggan menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) meski penularan terus meningkat di masyarakat.
Namun, kemungkinan-kemungkinan ini belum tentu benar terjadi. Yang jelas, pandemi kala itu sebenarnya dapat menjadi memori dan trauma kolektif yang bisa saja berkontribusi bagi pengambilan kebijakan di masa kini.
Lagi pula, memori buruk di masa lampau selalu bisa menjadi hikmah dan pelajaran bagi diri kita di masa kini. Bukan begitu? (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.