Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beberapa waktu lalu sampaikan keluh kesahnya dalam menjalankan kebijakan penanganan pandemi virus Corona (Covid-19) yang kerap berseberangan dengan pemerintah pusat. Bagaimanakah sejarah dapat mengingat sosok Anies di masa mendatang?
PinterPolitik.com
“History will be kind to me for I intend to write it.” – Winston Churchill, Mantan Perdana Menteri Inggris
Kutipan yang ada di awal tulisan ini bisa dibilang berasal dari sosok yang mungkin tak terdengar asing namanya di telinga banyak orang. Bagaimana tidak? Winston Churchill merupakan mantan Perdana Menteri (PM) Inggris yang berhasil mengantarkan negaranya keluar dari masa kelam Perang Dunia II.
Sejarah mencatat bahwa Churchill adalah pemimpin yang berani mengambil tindakan-tindakan kontroversial meskipun banyak rekan politisinya menghendaki pilihan-pilihan kebijakan lainnya. Saking berbedanya opsi kebijakannya, Churchill kerap dinilai sebagai pemimpin yang bersifat nyentrik.
Ketika baru menjabat sebagai PM misalnya, Churchill akhirnya memutuskan untuk mendeklarasikan perang kepada Jerman Nazi. Padahal, kala itu, kekuatan miliiter Jerman Nazi sangatlah besar sehingga memunculkan gagasan bahwa negosiasi dan diplomasi menjadi solusi yang paling tepat.
Tentu saja, keputusan yang menimbulkan polemik itu membuat Churchill tetap diingat dalam sejarah Inggris – bahkan dunia – hingga masa kini. Kisahnya pun kerap dituangkan dalam produk budaya populer, seperti dalam film yang berjudul Darkest Hour (2017).
Mungkin, pengalaman yang mirip kini tengah dilalui oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dalam wawancarayang dilakukannya dengan sebuah media asal Australia, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut menceritakan bagaimana arah kebijakannya kerap menimbulkan kontroversi dan penolakan.
Exclusive: Jakarta gov @aniesbaswedan says the city was tracking suspected #coronavirus cases from January – though the feds only confirmed 1st case in March. He also says true infection rates are “way higher” than official figures https://t.co/0qR986IFy8 via @smh
— James Massola (@jamesmassola) May 7, 2020
Kebijakan untuk mendukung lockdown (karantina wilayah) guna melawan penyebaran virus Corona (Covid-19) misalnya tak jarang dianggap sebagai tindakan yang gegabah. Menurut Anies, preferensi kebijakannya kala itu justru dinilai dapat menimbulkan kepanikan di masyarakat oleh pemerintah pusat.
Namun, Anies sendiri tampaknya tak memedulikan bagaimana rekan-rekan pengambil kebijakannya memiliki pandangan yang berbeda. Begitu juga dengan komentar di media sosial, Gubernur DKI Jakarta tersebut juga mengaku tak mengacuhkannya.
Mengapa Anies memilih untuk tidak mengindahkan kontroversi yang timbul akibat sikap dan kebijakannya?
“Saya lebih khawatir akan apa yang ditulis oleh sejarawan di masa depan mengenai kebijakan kita,” ujar Anies. Alasan inilah yang diungkapkannya dalam wawancaranya dengan James Mossola – begitu juga dengan Deddy Corbuzier.
Alasan ini tentu saja menyisakan beberapa pertanyaan dalam benak publik. Mengapa sejarah menjadi kekhawatiran bagi Anies? Bila begitu, apa yang akan Anies berikan bagi sejarah itu sendiri?
Great Man Theory
Seperti apa yang kita pelajari ketika masih duduk di bangku sekolah, peristiwa berarti dalam sejarah selalu disertai figur-figur yang dianggap penting, seperti Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dalam Proklamasi Kemerdekaan, K.H. Ahmad Dahlan dalam pendirian Muhammadiyah, Presiden B.J. Habibie dalam kebangkitan industri penerbangan Indonesia, dan masih banyak nama besar lainnya.
Bukan tidak mungkin catatan sejarah yang ada kerap berpusar pada figur-figur besar inilah yang berusaha dijelaskan oleh Thomas Carlyle, sejarawan berkebangsaan Skotlandia pada abad ke-19.
Carlyle setidaknya kala itu berhasil membuahkan sebuah teori yang disebut sebagai great man theory. Bert Alan Spector dari Northeastern University, Amerika Serikat (AS), dalam tulisannya yang berjudul Carlyle, Freud, and the Great Man Theory menjelaskan bahwa pemikiran Carlyle berfokus pada peran para pahlawan (heroes) dalam membentuk garis sejarah. Setidaknya, dalam bukunya yang berjudul On Heroes, Hero-Worship, and The Heroic in History, Carlyle menjelaskan bahwa sejarah dunia bukan lain adalah biografi seseorang.
Para great men (orang-orang hebat) dan pahlawan ala Carlyle ini tergolong dalam beberapa tipe great man, yakni kedewaan (divinity) seperti Odin, kenabian (prophet) seperti Muhammad, pujangga (poet) seperti Shakespeare, imam atau pendeta (priest) seperti Martin Luther, sastrawan (man of letters) seperti Rousseau, dan raja atau pemimpin (king) seperti Napoleon.
Nama-nama yang disebutkan oleh Carlyle dalam tulisan perkuliahannya (lectures) tersebut dinilai memiliki efek yang besar dalam terbentuknya sejarah karena atribut personal dan keilahian yang dimiliki oleh mereka. Beberapa sifat yang dianggap penting adalah kepahlawanan dan kecerdasan.
Pentingnya para great men ini disebut Spector beririsan dengan konsep Max Weber – sosiolog asa Jerman – yang disebut sebagai charismatic authority (otoritas karismatik). Dengan karakteristik dan atribut yang dimiliki oleh para great manini, para pengikut akhirnya tertarik untuk patuh – memunculkan efek yang besar pada pembentukan sejarah.
Bukan tidak mungkin atribut seperti ini juga dimiliki para pemimpin dan tokoh tertentu di abad ke-20 hingga era kontemporer sekarang ini. Churchill misalnya bisa dibilang memiliki atribut personal yang memungkinkannya untuk menjadi great man dalam sejarah Perang Dunia II.
Bila atribut dan karakteristik turut memunculkan great man dalam membentuk sejarah, bagaimana dengan Anies? Mungkinkah Anies mengisi peran ini dalam catatan sejarah penanganan pandemi Covid-19 di masa mendatang?
Anies, Great Man?
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, atribut personal dapat menumbuhkan otoritas dan kekuatan great man di masyarakat. Teori ini akhirnya turut digunakan sebagai salah satu teori kepemimpinan (leadership theory).
Mungkin, bila berbicara mengenai kepemimpinan, kategori keenam dari Carlyle – yakni raja atau pemimpin (king) – dapat mengisi penjelasan atas bagaimana great man dapat memiliki otoritas dan kekuatan. Carlyle juga menyebut kategori ini sebagai panglima atas manusia (commander of men).
Dalam kategori ini, great man memberikan perintah (command) atas pengikutnya dan memberi tahu rakyatnya apa yang perlu dilakukan setiap saat. Peran king bisa jadi semakin penting di tengah situasi yang mana masyarakat membutuhkan arahan.
Great man theory sendiri memiliki beberapa asumsi teoretis. Di antaranya adalah pemimpin yang hebat terlahir dengan karakter tertentu yang membuat mereka layak memimpin dan pemimpin yang hebat dapat muncul ketika kebutuhan akan kehadiran mereka juga besar.
Lantas, bagaimana dengan situasi pandemi Covid-19 di Indonesia?
Situasi yang tercipta akibat pandemi Covid-19 di Indonesia bisa jadi adalah situasi yang mana masyarakat membutuhkan arahan pemimpin. Krisis kesehatan – sekaligus ekonomi – bukan tidak mungkin telah membuat masyarakat Indonesia sendiri merasa frustrasi.
Di sinilah, mungkin, peran yang tengah diisi oleh Anies. Pasalnya, pemerintah pusat sendiri dinilai lambat dalam memberikan kebijakan respons dalam menangani pandemi Covid-19 ini.
Bahkan, ketika beberapa pejabat jajaran pemerintah pusat masih sibuk bercanda mengenai tidak mungkinnya Covid-19 masuk ke Indonesia pada bulan Januari-Februari lalu, Anies mengaku telah sibuk menemui pihak rumah sakit (RS) di seluruh Jakarta dan mengumpulkan sampel yang diambil dari para pasien.
Selain itu, bagaimana pemerintahan Anies di Jakarta getol mendorong lockdown dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga menunjukkan bahwa mantan Mendikbud tersebut tengah berusaha mengisi peran great man, yakni menyelesaikan sesuatu atas nama kepentingan kesehatan masyarakat.
Boleh jadi, layaknya Churchill di Perang Dunia II, Anies dapat menjadi great man yang tercatat sebagai bagian dari sejarah penanganan Covid-19 di masa mendatang. Bagaimana pun juga, sejarah akan mencatat siapa yang memberikan kebijakan yang baik dan siapa yang membuat kebijakan yang buruk – seperti kebijakan pemerintah Hindia Belanda kala pandemi Flu Spanyol 1918 terjadi.
Namun, kita yang kini turut menjadi bagian dari sejarah di masa depan hanya bisa menunggu tanpa mengetahui apakah hal itu dapat benar terjadi atau tidak. Siapa tahu, mungkin, tulisan ini bisa menjadi salah satu catatan sejarah yang berguna di masa depan? (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.