Site icon PinterPolitik.com

Corona, Momentum Tepat “Selundupkan” Regulasi?

Hiruk pikuk dua lembaga kekuasaan di Indonesia menelurkan berbagai regulasi di tengah pandemi Covid-19 nyatanya di satu sisi dianggap memanfaatkan minimnya resistensi publik terhadap potensi penilaian kontroversial.

Hiruk pikuk dua lembaga kekuasaan di Indonesia menelurkan berbagai regulasi di tengah pandemi Covid-19 nyatanya di satu sisi dianggap memanfaatkan minimnya resistensi publik terhadap potensi penilaian kontroversial. (Foto: katadata)

Memasuki bulan kedua yang terasa sangat berat bagi mayoritas masyarakat akibat pandemi Covid-19 di Indonesia, DPR justru melanjutkan pembahasan beberapa regulasi yang pengesahannya sempat tertunda, seperti Omnibus Law dan RKUHP. Lantas, mengapa DPR justru melanjutkan pembahasan produk hukum tersebut di tengah keriuhan publik karena pandemi Covid-19?


PinterPolitik.com

Publik tentu masih menyimpan memori yang belum pudar atau bahkan masih sangat jelas, ketika September tahun lalu gerakan demonstrasi mahasiswa terbesar sejak 1998 terjadi serentak di berbagai kota di Indonesia. Aksi monumental sekaligus kolosal tersebut menuntut satu tuntutan yang jelas, perbaikan revisi regulasi yang telah melenceng dari keadilan dan akal sehat serta mengabaikan amanat reformasi.

Kala itu, revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) serta revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) menjadi komoditi panas di parlemen. Banyak kalangan menilai, revisi tersebut sejak awal telah prematur karena tidak secara komprehensif melibatkan pihak-pihak kompeten lain di bidang hukum terkait.

Selain itu, aksi yang mengusung tagar #ReformasiDikorupsi tersebut juga menuntut agar pengesahan Omnibus Law pada berbagai aspek untuk ditunda, ditinjau ulang, dan diperbaiki kembali terkait berbagai pasal kontraproduktif yang ada. Mulai dari RUU Cipta Kerja, RUU Pertanahan, RUU Minerba, hingga RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), turut menjadi lampiran penting dalam tuntutan mahasiswa kala itu.

Tak bertepuk sebelah tangan, ketika itu aspirasi mahasiswa direspon oleh pejabat di tanah air. Ketua DPR saat itu, Bambang Soesatyo, menangguhkan pengesahan RKUHP dan memastikan bahwa peninjauan ulang RKUHP serta berbagai regulasi lainnya akan melibatkan praktisi, lembaga swadaya, serta organisasi kemasyarakatan lain.

Hal itu dilakukan setelah Presiden Jokowi meminta DPR untuk menunda pengesahan berbagai regulasi yang menjadi tuntutan mahasswa, di mana saat itu berbagai RUU tersebut sedang dalam tahap pembahasan, bahkan siap disahkan oleh wakil rakyat di Senayan.

Namun, lambat laun respon positif pemerintah serta pejabat tadi seolah bagaikan efek pain killer atau obat pereda nyeri instan yang hanya sementara bertahan karena justru kemudian rasa sakit itu semakin parah dirasakan setelah efek temporer itu hilang.

Hal yang banyak dinilai sebagai akal-akalan inovasi di bidang regulasi itu kemudian terus dipromosikan dengan dalih semangat positif perubahan, direvisi, disegarkan, direlevankan, atau bahkan dikemas dengan nuansa berbeda.

Selain UU KPK yang auto berlaku tanpa sentuhan Perppu Jokowi, berbagai RUU kontroversial tuntutan mahasiswa sebelumnya saat ini telah mengantri untuk disahkan. Satu hal yang sangat disayangkan, ancang-ancang ketok palu berbagai regulasi tersebut dikebut saat masyarakat tengah terdampak hebat Covid-19.

Hal tersebut dinilai menghadirkan impresi bahwa legislatif memanfaatkan momentum ”kelengahan” masyarakat pada saat tengah dihantam pandemi Covid-19 ini untuk melanggengkan kepentingannya, dengan sedikit atau bahkan tanpa resistensi. Apakah hal itu benar adanya?

Manfaatkan Momen?

Naomi Klein dalam bukunya yang berjudul “The Shock Doctrine” menyatakan bahwa elite dimanapun cenderung memanfaatkan disorientasi publik kala collective shock seperti peperangan, krisis ekonomi, serangan teror, atau bencana, untuk melanggengkan berbagai kebijakan maupun regulasi pro korporasi atau bahkan self interestnya sendiri.

Dari sudut pandang berdasarkan argumentasi Klein tersebut, kita dapat melihat bahwa benar adanya bahwa DPR, dalam hal ini sebagai legislator, mengambil inisiatif percepatan pembahasan sekaligus pengesahan beberapa regulasi sekaligus, dengan   memafaatkan disorientasi masyarakat akibat Covid-19. Hal ini diperjelas dengan target durasi proses pembahasan hingga pengesahan yaitu hanya dalam waktu sepekan, terutama terkait dengan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan.

Selain itu, RUU Cipta Kerja turut pula dikebut pembahasannya di Badan Legislasi DPR. Meskipun parlemen menyatakan bahwa poin-poin kontroversialnya akan diperbaiki, namun jaminan akan hal tersebut dinilai meragukan. Padahal, seperti yang telah di jelaskan di awal, tiga regulasi tersebut dinilai merupakan bagian dari “produk gagal” DPR periode lalu yang mendapat resistensi luar biasa dari berbagai pihak mulai dari kalangan masyarakat, mahasiswa hingga para pakar hukum tata negara. Oleh karena itu, kelanjutan pembahasannya membutuhkan paling tidak waktu yang lebih serta melibatkan masukan pihak-pihak lain secara komprehensif jika benar-benar serius bertujuan memperbaiki.

Ternyata tidak hanya DPR yang mendapat sorotan perihal legislasi, hal serupa juga tengah dialami Presiden Jokowi seiring dengan telah diumumkannya Peratuan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang pada intinya mengatur kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Covid-19. Regulasi ini menuai cukup banyak kritikan terutama terkait adanya imunitas stakeholder di depan hukum yang diatur dalam Perppu tersebut.

Selain itu, sorotan kepada Perppu ini juga cukup tajam kepada indikasi keterkaitan recovery bond yang belakangan diistilahkan dengan pandemic bond, dengan nominal anggaran Covid-19 sebesar Rp 405,1 triliun serta estimasi pelebaran defisit APBN 2020.

Ketiga hal tersebut jika dilihat lebih seksama akan mengekspos benang merah yang disinyalir mengarah pada besaran porsi atau manfaat dari stimulus yang diterima korporasi jauh lebih besar nominalnya dibanding porsi bagi penanganan pandemi itu sendiri ataupun bantuan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan transparansi serta akses informasi teknis terkait distribusi stimulus tersebut dinilai belum benar-benar akuntabel.

Mekanisme hukum di republik ini sendiri memastikan bahwa Perppu yang telah diumumkan Presiden Jokowi tersebut harus segera dimintakan persetujuan kepada DPR untuk diputuskan apakah disetujui untuk dijadikan Undang-Undang, atau tidak disetujui dan kemudian dicabut.

Manuver promosi seperangkat regulasi oleh legislatif dan eksekutif di saat yang hampir bersamaan tersebut itu tentu menimbulkan tanda tanya tersendiri. Diantaranya adalah adanya indikasi tukar guling regulasi antara DPR dan pemerintah saat ini yang disinyalir memanfaatkan disorientasi publik akibat Covid-19.

Pada konteks saat ini, pemerintah sangat membutuhkan persetujuan DPR agar Perppu dapat segera efektif memayungi eksekusi kebijakan pemerintah. Di sisi lain, DPR juga membutuhkan dukungan legitimasi dari pemerintah atas regulasi-regulasi yang sedang dikebut pengesahannya, seperti pada UU KPK lalu. Hal ini yang dinilai signifikan serta menguatkan indikasi eksistensi tukar guling regulasi tersebut.

Lalu, apakah legislatif dan eksekutif benar-benar telah kehilangan kepekaan atau sensifitas di tengah akumulasi kekhawatiran publik atas regulasi yang tak berpihak serta pandemi Covid-19 ini?

Ketiadaan Sensitivitas

Terdapat sebuah ungkapan klasik yaitu crisis reveals character, yang berarti krisis atau situasi sulit akan menguak karakter sesungguhnya dari sebuah subjek. Dalam hal ini, sebuah situasi sulit dapat dijadikan indikator untuk melihat bagaimana nilai sejati yang ada pada suatu pihak untuk bertahan dan berupaya keluar dari situasi tersebut.

Di tengah ketidakberdayaan masyarakat kala krisis akibat pandemi Covid-19 yang semakin merusak aspek-aspek esensial kehidupan, manuver DPR dan pemerintah di bidang regulasi di saat-saat seperti ini dinilai sangat mengecewakan.

Indikasi kuat untuk menghindari resistensi publik, baik dari masyarakat, mahasiswa, serikat buruh, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), hingga para pakar hukum ketatanegaraan, akhirnya semakin tidak dapat dihindari.

Stephen Sherlock dalam publikasinyaThe Parliament in Indonesia’s Decade of Democracy: People’s Forum or Chamber of Cronies?”, menyatakan bahwa sensitivitas legislatif dan eksekutif, dalam hal ini DPR dan pemerintah, terhadap concern publik merupakan sebuah political necessity atau kebutuhan dasar politik mereka. Hal ini terkait erat dengan sejauh mana dua lembaga kekuasaan tersebut menyerap aspirasi publik untuk kemudian mengimplementasikannya dalam atmosfer demokrasi yang berkelanjutan.

Merujuk pada pernyataan Sherlock tersebut, jika memang pengesahan berbagai regulasi kontroversial oleh DPR benar-benar direalisasikan, artinya kepedulian serta sensitivitas DPR dan pemerintah terhadap aspirasi dan kekhawatiran publik selama ini dipertanyakan eksistensinya.

Selain itu, jika ketok palu berbagai regulasi tersebut pada akhirnya tetap dilakukan kala pandemi Covid-19 ini, semakin meyakinkan premis bahwa terdapat misleading skala prioritas yang tidak lagi mementingkan political necessity mereka sebagai lembaga kekuasaan hasil kepercayaan dan suara rakyat.

Terlebih di kala situasi sulit akibat pandemi Covid-19 ini di mana yang rakyat butuhkan sebenarnya adalah bantuan konkret pemerintah, bukan seperangkat regulasi dengan urgensi tak relevan yang justru dinilai menjadi ancaman baru bagi rakyat. Menarik untuk menanti sejauh mana realisasi sensitivitas dua lembaga kekuasaan tersebut. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version