Pandemi global yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19) hampir dipastikan akan membawa resesi ekonomi ke hadapan dunia. Dengan resesi yang membayangi, sudah semestinya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyiapkan strategi tertentu guna meminimalisir dampak ekonomi akibat Covid-19.
PinterPolitik.com
“Everythang’s ‘bout a buck. We s**t out of luck” – Ice Cube, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Situasi pandemi yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19) akhir-akhir ini telah membuat banyak orang harus tetap tinggal di rumah. Berbagai kebiasaan – seperti bekerja dan belajar – kini harus berubah sejak pandemi ini meletus.
Meski begitu, tak sedikit orang akhirnya memilih beberapa cara untuk “membunuh” kebosanan yang tercipta dari perubahan kebiasaan ini. Beberapa di antaranya adalah dengan beralih ke tontonan seri dan film yang tersedia di jejaring aplikasi layanan streaming.
Season demi season, part ke part, hingga episode demi episode mungkin telah menjadi asupan sehari-hari bagi sebagian masyarakat. Berbagai franchise seri dan film ini tak terasa telah “dihabiskan” mengikuti jalannya waktu yang entah kapan isolasi atau karantina ini berakhir.
Tentunya, beberapa judul seri berhasil menjadi favorit di hati para penonton. Peaky Blinders (2013-sekarang) misalnya, mengisahkan kelompok geng di Inggris yang diketuai oleh Tommy Shelby. Seri tersebut telah menayangkan sebanyak lima seasons.
Dalam season kelima, penonton mungkin akan tersadar soal bagaimana situasi ekonomi pada tahun 1929 menghantui para karakter yang ada dalam seri tersebut. Situasi ini dikenal sebagai Great Depression (Depresi Besar) – salah satu resesi ekonomi terparah sepanjang sejarah.
Sektor riil yang menyerap banyak tenaga kerja adalah salah satu yang sangat terpukul dengan adanya pandemi Covid-19, selain sektor informal.
Diperlukan penyelamatan, stimulus ekonomi, untuk sektor ini agar mereka mampu bertahan dan tidak melakukan PHK terhadap para karyawan. pic.twitter.com/hRY8Jhqfoq
— Joko Widodo (@jokowi) April 22, 2020
Kabar buruknya adalah beberapa lembaga internasional – seperti International Monetary Fund (IMF) – telah memprediksi bahwa pandemi kali ini akan membawa dampak buruk pada ekonomi global, termasuk Indonesia. Dampak buruk tersebut dinilai akan menjadi resesi terburuk pada abad ke-21 yang disebut sebagai Great Lockdown.
Hal ini tentunya mulai dirasakan oleh sebagian pihak di Indonesia. Kelompok buruh misalnya, terpaksa harus menjalani keputusan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan.
Bagaimana tidak? Banyak perusahaan terpaksa harus tutup dengan adanya beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Selain itu, bisa dibilang barang dan jasa di beberapa sektor semakin tidak laku dan tidak dibeli oleh para konsumen.
Tentu, sebagai pemimpin negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) merasa perlu menerapkan beberapa kebijakan untuk meminimalisir dampak ekonomi ini. Setidaknya, beberapa kebijakan stimulus ekonomi diberlakukan oleh pemerintah.
Kebijakan tersebut tentu diberlakukan bukan tanpa menerapkan beberapa strategi dan arah kebijakan. Kira-kira, arah kebijakan yang bagaimanakah yang perlu diambil oleh Jokowi? Lantas, apa hambatan yang hadir dalam penerapan kebijakan tersebut?
Keynesianisme
Bila berbicara soal resesi ekonomi, penjelasan soal teori ekonomi makro sepertinya tak bisa dilepaskan. Apalagi, terdapat salah satu teori ekonomi yang paling identik dengan kebijakan ekonomi pada era Depresi Besar, yakni Keynesianisme.
Teori dan perspektif yang didasarkan pada pemikiran John Maynard Keynes – ekonom asal Inggris – ini berangkat dari situasi ekonomi yang tidak stabil dalam resesi ekonomi. Kala Depresi Besar menghantui banyak negara industri Barat, aktivitas konsumsi dan kapasitas produksi menjadi minim – berdampak pada situasi ekonomi makro.
Semakin tidak stabilnya kondisi ekonomi makro ini dapat memperburuk resesi ekonomi yang terjadi. Pengangguran misalnya, menjadi salah satu fitur yang paling kentara ketika Depresi Besar terjadi.
Keynes yakin bahwa mekanisme pasar sendiri tidak akan memperbaiki kondisi ekonomi dalam jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu, Keynes mengusulkan agar negara turut ikut campur dalam mengatur pasar.
Pandemi Covid-19 dinilai dapat membuat produktivitas dan permintaan (demand) menurun, serta meningkatkan pengangguran. Share on XHal ini bisa dilakukan melalui paket stimulus dan kebijakan fiskal pemerintah. Kebijakan-kebijakan publik seperti ini dinilai ampuh dalam menekan pengangguran dan stabilitas harga.
Lantas, bagaimana dengan dampak ekonomi yang disebabkan oleh Covid-19? Apa hubungannya dengan ekonomi ala Keynesian?
Tak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 akan membawa dampak ekonomi tertentu. Luca Fornaro dan Martin Wolf mencoba menjelaskan mengenai hal ini dalam tulisan mereka yang berjudul Coronavirus and Macroeconomic Policy.
Dalam beberapa grafik yang digambarkan dalam tulisan tersebut, pandemi Covid-19 dinilai dapat memengaruhi permintaan agregat (aggregate demand) yang menjadi fokus bagi pemikiran Keynesian. Akibatnya, produktivitas dan permintaan (demand) yang menurun – menimbulkan pengangguran yang lebih banyak.
Di Indonesia, hal ini pun mulai terlihat. Produktivitas di sektor riil misalnya diprediksi akan terus menurun. Selain itu, angka pengangguran pun dinilai dapat bertambah hingga 4,25 juta.
Bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi akhirnya harus menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi ala Keynesian dalam menghadapi dampak resesi ini. Beberapa di antaranya adalah kebijakan jaringan pengaman sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Prakerja.
Selain jaringan pengaman sosial, pemerintahan Jokowi juga memberikan insentif bagi dunia usaha. Pajak penghasilan (PPh) misalnya, ditanggung dan direlaksasi oleh pemerintah pada sektor industri tertentu.
Bayang-bayang Kapitalisme Kroni?
Meski pemerintah telah menerapkan paket-paket stimulus sedemikian rupa, terdapat beberapa anggapan bahwa kebijakan ini tak sepenuhnya dapat membantu dunia usaha dalam bertahan. Sutrisno Iwantono – peneliti Institute of Developing Entrepreneurship (IDE) – misalnya menilai bahwa stimulus tersebut masih sangat kurang.
Nilai stimulus sebesar Rp 405,1 triliun tersebut disebutnya hanya mengambil porsi sekitar 2,8 persen dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, situasi buruk yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 ini belum diketahui sampai kapan akan berakhir.
Asumsi Sutrisno ini tentunya menimbulkan beberapa pertanyaan. Bagaimana tidak? Guna memberlakukan kebijakan-kebijakan stimulus, pemerintah sebenarnya telah meningkatkan ruang fiskal – dapat melebihi 3 persen dari PDB – melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Lantas, mengapa stimulus dianggap kurang? Untuk apakah ruang fiskal yang lebih besar tersebut?
Pertanyaan ini dapat kembali mengarah pada persoalan yang dapat timbul dari Perppu No. 1/2020 (atau Perppu Corona). Pasalnya, Perppu satu ini disebut-sebut mengandung kepentingan tertentu yang dapat mengalihkan alokasi kebijakan guna mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Dipo Alam – Deputi Menko Perekonomian Pemonitor Pelaksanaan Perjanjian RI-IMF – dalam tulisannya yang berjudul Awas, Penumpang Gelap Krisis Covid-19 menjelaskan bahwa beberapa pasal dalam Perppu tersebut – seperti pasal 2 – dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mendukung kembali proyek-proyek mercusuar pemerintah.
Proyek-proyek tersebut banyak didorong oleh pengusaha dan investor. Proyek pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) misalnya, tetap dilanjutkan pada tahap pembukaan tender dengan metode penunjukkan langsung – bukan seleksi – meski pandemi melanda.
Hal ini tentunya memunculkan dugaan tertentu, seperti akan adanya penumpang gelap. Bila hal ini benar terjadi, maka Indonesia bisa jadi dianggap tetap dibayangi oleh kapitalisme kroni – penyalahgunaan oleh sektot privat melalui otoritas publik guna meningkatkan keuntungan.
Penyalahgunaan serupa disebut-sebut juga terjadi di negara lain di tengah pandemi ini. Kebijakan stimulus di Amerika Serikat (AS) misalnya, dinilai dapat dipergunakan oleh kroni-kroni privat. Tak hanya AS, Raghuram Rajan – mantan Gubernur Reserve Bank of India (RBI) – juga pernah memberikan peringatan akan adanya ancaman kapitalisme kroni di India.
Bukan tidak mungkin hal serupa dapat terjadi di Indonesia sebagai negara yang juga dikenal rentan terhadap terjadinya perilaku rent-seeking. Akibatnya, kebijakan stimulus pun dapat menjadi tidak maksimal di tengah pandemi Covid-19 ini.
Meski begitu, penjelasan ini belum tentu benar terjadi secara pasti. Hal yang sudah jelas dapat terjadi kini adalah ancaman resesi ekonomi yang cukup berdampak besar terhadap Indonesia. Menarik untuk diikuti terus bagaimana upaya penyelamatan pemerintah dalam resesi ke depannya. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.