Selain memiliki dampak langsung terhadap aspek-aspek fundamental dalam negeri, pandemi Covid-19 di Indonesia menegaskan kembali ketimpangan antara pusat dengan daerah. Mulai dari komunikasi terpadu dari pusat yang belum maksimal diterjemahkan dan dimplementasikan daerah, hingga kualitas sumber daya serta infrastruktur pendukung dalam penanganan Covid-19 yang dinilai sangat tidak merata.
PinterPolitik.com
Pandemi Covid-19 di Indonesia kian hari kian mengkhawatirkan publik. Mulai dari eskalasi peningkatan dan penyebaran kasus positif serta korban jiwa, hingga kesiapan fasilitas dan tenaga medis yang dinilai banyak kalangan dan pengamat sangat jauh dari kata siap.
Jakarta, sebagai wilayah dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi, masih dinilai belum matang dalam koordinasi antar lembaga terkait. Selain itu, kesiapan sarana dan prasarana seperti rumah sakit rujukan dan fasilitas kesehatan pertama pasien, kesiapan tenaga medis dan tenaga pendukung lainnya, sampai persediaan alat pelindung diri (APD) dan bagi mereka yang berada di garis terdepan, dinilai sangat rentan “kehabisan tenaga di tengah jalan”.
Hal ini dapat kita lihat dari fakta awal bahwa terdapat banyak pasien yang berstatus suspect namun tidak mendapatkan penanganan optimal, bahkan harus berdesakan di ruang isolasi sementara karena terbatasnya fasilitas di rumah sakit.
Ada lagi fakta lainnya mengenai pasien yang dinyatakan positif Covid-19 oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta setelah pulang dari Singapura. Namun ironisnya, rumah sakit rujukan yang akan dituju telah penuh dan tidak memberikan petunjuk lanjutan sedikitpun.
Selain dari sisi pasien, tenaga medispun jamak mengutarakan belum siapnya fasilitas serta alat kelengkapan pendukung bagi mereka dalam bertugas. Akhir pekan kemarin, Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dr. Wiku Adisasmito mengungkapkan bahwa di luar obat atau vaksin yang belum secara jelas tersedia untuk menyembuhkan Covid-19, tenaga medis juga kekurangan APD, alat uji tes cepat (rapid test), alat untuk mengambil spesimen, hingga alat uji laboratorium.
Rangkaian fakta ironis tersebut nyatanya terjadi di Jakarta, sebagai ibu kota negara dengan segala keunggulannya dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia. Lantas, jika demikian yang terjadi di Jakarta, bagaimana dengan kesiapan fasilitas dan sumber daya dalam penanganan Covid-19 di daerah?
Eratnya Stigma Ketimpangan
Selama ini anggapan bahwa perbedaan kualitas yang signifikan di berbagai aspek serta infrastruktur antara pusat (Jakarta dan Pulau Jawa) dengan daerah lain di Indonesia bukan merupakan hal baru. Implementasi desentralisasi masih belum optimal mewujudkan pemerataan, paling tidak pada aspek mendasar seperti pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, terutama antara kota-kota besar dengan kota-kota kecil, apalagi jika dibandingkan dengan desa-desa terpencil.
Douglas C. North dalam “Neo Classical Theory of Economic Development” menganalisa hubungan antara pembangunan ekonomi nasional di suatu negara dengan ketimpangan di berbagai aspek antar wilayah. Ia menyatakan bahwa di negara berkembang dengan proses pembangunan yang masih banyak berlangsung, tingkat ketimpangan antar wilayah cenderung tinggi hingga titik puncak tertentu sebelum berangsur menurun setelah pembangunan yang merata telah tercipta.
Saat ini memang pembangunan berbagai infrastruktur masih terus berlangsung di seluruh Indonesia. Namun, pembangunan tersebut berlangsung sangat lambat karena kombinasi berbagai faktor. Pun di bidang penyediaan fasilitas kesehatan. Fokus pembangunan fasilitas dan infrastruktur kesehatan yang komprehensif di daerah cenderung setengah hati dengan berbagai ketimpangan yang ada.
Dari sisi infrastruktur, kelengkapan serta kualitas rumah sakit di berbagai daerah juga dinilai belum memadai dalam menangani pasien Covid-19. Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia dan Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia, Hermawan Saputra, mengakui berbagai rumah sakit di Indonesia saat ini belum betul-betul siap, terutama untuk ruang isolasi pada kasus spesifik, khususnya Covid-19.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT) misalnya, terdapat rumah sakit yang sudah ditetapkan sebagai tempat rujukan Covid-19 namun faktanya tidak siap menerima pasien lantaran keterbatasan alat kesehatan dan APD bagi tenaga medis.
Lalu hal serupa dialami di RSUD Kayu Agung Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan yang bahkan paramedis disana terpaksa memakai baju bekas operasi yang dicuci ulang untuk menyiasati keterbatasan APD.
Faktanya, ironi ketimpangan di daerah memang tidak bisa dihindari. Setelah kasus Covid-19 meningkat dan meluas ke berbagai daerah, banyak fasilitas dan tenaga medis yang kekurangan bahkan tidak memiliki perlengkapan yang memadai. Hazmat sebagai APD bagi tenaga medis Covid-19 nyatanya nihil di berbagai kota. Akhirnya, jas hujan disulap menjadi hazmat menjadi ironi yang terjadi di beberapa kota seperti Tasikmalaya, Padang, Kutai Kartanegara, Penajam Paser Utara, Kendari, Tana Toraja dan kota-kota lainnya.
Berbagai contoh di atas tentu sangat mengkhawatirkan, tidak hanya bagi para tenaga medis, namun juga calon relawan tenaga medis penanganan Covid-19. Berdasarkan informasi yang didapatkan PinterPolitik dari seorang dokter muda di Jakarta, karena adanya kekurangan APD, membuat munculnya kekhawatiran di kalangan dokter-dokter tersebut untuk terlibat sebagai relawan tenaga medis dalam menangani Covid-19.
Selain itu, masalah ketimpangan dalam penanganan Covid-19 ini dinilai akan menjadi salah satu pemicu terbesar memburuknya persebaran pandemi di daerah jika tidak diperbaiki dan diatasi dengan serius.
Problematika Klasik
Jika kualitas dalam implementasi di bidang kesehatan yang timpang antara pusat dan daerah menjadi hal yang lumrah terjadi, upaya penanganan pandemi Covid-19 yang sejauh ini telah menjalar ke 20 provinsi di Indonesia dinilai akan berjalan sangat lambat dan tentu berbahaya.
Hal ini secara komprehensif bisa dimaknai sebagai kegagalan pemerintah sejak awal Covid-19 belum terkonfirmasi di Indonesia. Selain kesan menyepelekan, pemerintah juga kurang mempersiapkan secara matang langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan bersama berbagai lembaga dan pihak terkait, serta bagaimana koordinasi serta kesiapan infrastuktur kesehatan di daerah-daerah.
Upaya untuk menyelaraskan laju berbagai aspek antara pusat dan daerah telah lama ditempuh melalui desentralisasi maupun otonomi khusus, utamanya dipercepat setelah reformasi. Namun faktanya, pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah dengan tujuan pemerataan tersebut sampai saat ini masih jauh dari realita.
Remy Prud’homme dalam “The Dangers of Decentralization” mengemukakan bahwa pendelegasian layanan publik kepada pemerintah daerah tidak serta merta mendorong perbaikan nyata serta kualitas dalam pelayanan secara keseluruhan. Ambiguitas dan kekaburan kewenangan justru seringkali muncul dalam lembaga pemerintah maupun antar lembaga pemerintah, swasta dan lembaga non pemerintah dalam pengelolaan layanan masyarakat yang pada ujungnya memunculkan konflik, penyalahgunaan kewenangan, dan korupsi.
Dalam penanganan Covid-19 sendiri, ambiguitas kewenangan bahkan terlihat ketika pemerintah pusat dan daerah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, saling “lempar-tangkap” dalam hal pengumuman suspect positif di DKI Jakarta. Akhirnya, meskipun terlambat, Keppres Nomor 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengatur berbagai hal termasuk segala komunikasi publik hingga penanganan di lapangan, terpusat dilakukan oleh gugus tugas tersebut.
Itu baru dari sisi koordinasi yang bahkan antara pusat dan ibu kota, yang masih satu wilayah dan berdekatan, entah seperti apa halnya dengan wilayah lain yang secara jarak lebih jauh serta persoalan lain yang lebih kompleks. Namun, faktanya problematika klasik seputar koordinasi memang masih menjadi persoalan fundamental tersendiri dalam isu ketimpangan di berbagai aspek.
Namun di sisi lain, dapat dipastikan pemerintah pusat saat ini tengah berupaya keras mengatasi hantaman pandemi Covid-19 yang telah meluluh-lantahkan berbagai aspek di Indonesia. Terkini, pesawat Hercules C-130 milik TNI yang membawa logistik penanganan Covid-19 dari Tiongkok telah tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta. Bantuan sebesar sembilan ton itu terdiri dari masker, pelindung wajah, kacamata, baju pelindung petugas kesehatan, dan alat tes yang nantinya akan didistribusikan secara merata ke berbagai daerah di Indonesia yang paling membutuhkan.
Selain itu, konversi bangunan milik pemerintah dan swasta, seperti wisma atlet Kemayoran dan beberapa hotel milik pengusaha tanah air, sebagai rumah sakit darurat di berbagai daerah juga diharapkan pemerintah dapat membantu akselerasi penanganan Covid-19.
Tentu harapan kita semua sebagai suatu bangsa yang bersatu ialah bisa secepatnya keluar dari situasi sulit ini. Peran dan semangat positif seluruh masyarakat dari Sabang sampai Merauke untuk mengerahkan semaksimal mungkin kemampuan yang dimiliki dan bersinergi, sangat dibutuhkan di saat seperti ini untuk turut serta menambal setiap ketimpangan yang pemerintah luput untuk melakukannya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.