Site icon PinterPolitik.com

Corona dan Loncatan Simpulan Jokowi

Presiden Jokowi dinilai melompati kebijakan keamanan nasional

Presiden Jokowi dinilai melompati kebijakan keamanan nasional (Foto: Kompas)

Setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan, kebijakan tersebut kemudian diikuti oleh pelibatan aparat keamanan dengan mengandalkan tindakan koersif atau ancaman agar kedisiplinan masyarakat dapat terjadi. Akan tetapi, mungkinkah strategi yang dinilai tepat tersebut justru merupakan bentuk kebijakan praktis yang tidak sesuai ketentuan?


PinterPolitik.com

Hampir dua puluh tahun yang lalu, atau tepatnya pada tahun 1998, Indonesia telah mengalami proses politik yang menandakan berakhirnya rezim Orde Baru yang dikenal begitu otoriter karena mengerahkan aparat keamanan untuk menciptakan efek takut agar kedisiplinan terbentuk di tengah masyarakat.

Uniknya, dengan adanya pandemi virus Corona (Covid-19), kita mungkin tidak menyadari bahwa dengan dilibatkannya aparat keamanan untuk menertibkan masyarakat untuk menjaga physical distancing, itu dengan jelas memperlihatkan bagaimana sistem yang dahulunya begitu ditentang, justru kembali mendapatkan pembenarannya.

Sebelumnya, bahkan terdapat wacana bahwa pemerintah akan memberlakukan darurat sipil yang tentunya dapat memberikan kewenangan secara hukum kepada aparat keamanan untuk meningkatkan level tindakan koersifnya guna menertibkan masyarakat. Kendati wacana tersebut urung diberlakukan, namun kita tentu dapat menyimpulkan bahwa wacana tersebut merupakan salah satu opsi kebijakan yang telah diperhitungkan oleh pemangku kebijakan.

Tidak hanya itu, untuk mengantisipasi gejolak sosial yang disebut akan terjadi karena pandemi Covid-19, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal Sisriadi, bahkan menyebutkan bahwa TNI telah menyiapkan pasukan untuk mengantisipasi hal tersebut. Kendati pada kaidahnya militer memang seharusnya memperhitungkan setiap ancaman keamanan yang ada. Namun, dengan adanya pernyataan terbuka tersebut, tentu itu menyiratkan bahwa pemerintah memang sudah mempersiapkan untuk meningkatkan tindakan koersif.

Akan tetapi, memori penolakan tindakan koersif di rezim Orde Baru tersebut seolah tertutupi dengan rasionalisasi bahwa tindakan tegas semacam itu memang dibutuhkan di tengah situasi pandemi Covid-19 yang sangat membutuhkan kedisiplinan physical distancing.

Merujuk pada penulis buku Sapiens dan Homo Deus Yuval Noah Harari dalam tulisannya The World After Coronavirus, mungkinkah pandemi tersebut akan dijadikan sebagai pembenaran bagi pemerintah untuk menerapkan sistem politik otoriter yang mengedepankan tindakan koersif?

Kegagalan Konsep Konstitusional?

Dalam pemahaman umum atau common sense, tentu kita dapat memahami rasionalisasi bahwa kedisiplinan physical distancing dapat terjadi apabila aparat keamanan melakukan tindakan koersif untuk menciptakan efek takut.

Rasionalisasi tersebut boleh jadi benar. Akan tetapi, jika mengacu pada konsep kebijakan keamanan nasional, rasionalisasi tersebut sebenarnya merupakan suatu bentuk “lompatan simpulan”.

Menurut peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, dalam kebijakan keamanan nasional terdapat tiga level, yakni (1) persuade atau pembujukan, upaya memengaruhi (komunikasi) untuk mengubah keyakinan objek sasaran; (2) coerce atau pemaksaan, upaya mengubah tindakan potensial atau aktual objek sasaran; dan (3) defeat atau penundukan alias pelumpuhan, upaya untuk menghilangkan kemampuan objek sasaran untuk bertindak.

Merujuk pada hal tersebut, dengan adanya rasionalisasi bahwa tindakan coerce atau koersif adalah jalan terbaik untuk menjaga keamanan atau kedisiplinan di tengah kebutuhan akan  physical distancing, maka telah terjadi lompatan kebijakan keamanan nasional, yakni tidak hadirnya persuade atau komunikasi yang baik dari pemerintah sejak awal terkait Covid-19.

Menurut Fahmi, lompatan kebijakan keamanan tersebut menjadi indikasi kuat bahwa konsep komponen cadangan dan komponen pendukung dalam pertahanan nasional, yakni terlibat aktifnya masyarakat dalam menjaga keamanan di tengah pandemi Covid-19 seolah dinihilkan karena tindakan koersif langsung diambil. Tidak hanya itu, alumnus Universitas Airlangga tersebut juga menyebutkan bahwa itu menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengimplementasikan konsep pertahanan yang konstitusional.

Selain itu, merujuk pada lompatan kebijakan yang terjadi, kita dapat menjumpai bahwa terdapat pandangan pragmatis di baliknya. Philippe Zittoun dalam bukunya The Political Process of Policymaking, A Pragmatic Approach to Public Policy menyebutkan bahwa pandangan pragmatis di dalam kebijakan publik didasari atas asumsi bahwa suatu kebijakan publik dinilai atau diambil dari dampak praktis yang diciptakan olehnya.

Apa yang disebutkan Zittoun, sedikit tidaknya menjelaskan mengapa tindakan koersif dinilai sebagai kebijakan yang baik karena dinilai efek takut yang tercipta dapat terejawantahkan dengan tindakan masyarakat yang akan berpikir dua kali untuk melanggar protokol physical distancing.

Akan tetapi, kendatipun tindakan koersif dapat menghadirkan dampak praktis yang langsung terlihat, terdapat persoalan teknis yang membuat kebijakan keamanan tersebut sepertinya tidak akan berhasil secara maksimal. Pasalnya, jumlah personel aparat sangat tidak sebanding dengan luas daerah dan banyaknya jumlah penduduk ada.

Hal tersebut misalnya telah diakui oleh Asisten SDM Kapolri, Irjen Pol Arief Sulistyanto pada 2017 lalu, yang menyebutkan bahwa jumlah anggota polisi sejatinya tidak ideal karena 1 orang polisi harus menjaga 750 warga. Padahal, idealnya 1 orang polisi seharusnya maksimal menjaga 300 warga.

Mengacu pada hal tersebut, itu membuat kita harus kembali merefleksikan konsep komponen cadangan dan komponen pendukung, serta kebijakan keamanan persuade, yang mana peran aktif masyarakat seharusnya yang dibangun dari awal sehingga aparat keamanan tidak memiliki tugas yang melebihi batas kemampuannya.

Lantas pertanyaannya, selain pertimbangan pragmatis, mengapa kebijakan keamanan persuade tersebut seolah dilompati?

Komunikasi Publik yang Buruk?

Melihat track record penanganan Covid-19 pemerintah sejak awal, kita dapat melihat bahwa tidak diterapkannya kebijakan keamanan persuade, besar kemungkinan terjadi karena pemerintah tidak memiliki kemampuan komunikasi publik yang baik.

Hal tersebut terlihat jelas dengan terjadinya silang pandangan antar pejabat dan lembaga terkait kebijakan yang akan diterapkan untuk menangangi Covid-19. Publik tentu mengingat silang pendapat seperti perbedaan data Covid-19, larangan mudik, larangan penerbangan, hingga pada perdebatan mengenai lockdown (karantina wilayah) masif diberitakan oleh berbagai media massa.

Senada dengan hal tersebut, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti juga menyebutkan bahwa pemerintah harus memberikan informasi terkait Covid-19 dengan jelas, serta pentingnya koordinasi yang baik agar tidak terjadi kebingungan di tengah masyarakat.

Tanya le Roux dalam tulisannya An Exploration of the Role of Communication During the In-crisis Situation dengan tegas menerangkan bahwa komunikasi merupakan komponen paling penting dalam manajemen krisis. Lanjut Roux, kerap kali situasi krisis menjadi semakin buruk karena komunikasi yang tidak baik akan menciptakan kebingungan dan gambaran operasi penanganan yang tidak jelas.

Scott Dust dalam tulisannya The Coronavirus Pandemic: A True Test of Crisis Leadership menyebutkan bahwa ketidakmampuan pemimpin dalam memberikan gambaran yang jelas menjadi indikasi ketidakmampuan pemimpin dalam meramu kebijakan publik yang baik terkait penanganan Covid-19.

Oleh karenanya, dengan kurangnya kemampuan pemerintah dalam hal komunikasi publik, besar kemungkinan itu membuat terjadinya lompatan kebijakan keamanan dengan langsung menerapkan tindakan koersif karena menilai kebijakan tersebut dapat memberikan dampak praktis secara langsung.

Sedikit berspekulasi, apabila Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekiranya memiliki kemampuan komunikasi publik yang sangat baik seperti Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, besar kemungkinan kebijakan keamanan persuade akan diperkuat sejak awal.

Suze Wilson dalam tulisannya Three Reasons Why Jacinda Ardern’s Coronavirus Response Has Been a Masterclass in Crisis Leadership, dengan mengacu pada penelitian Milton Mayfield terkait komunikasi kepemimpinan yang efektif, menyebutkan bahwa Ardern adalah pemimpin yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik sehingga informasi terkait penanganan Covid-19 dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Selandia Baru.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan, dengan adanya lompatan dalam kebijakan keamanan nasional, bahkan sampai bergulirnya wacana darurat sipil – Itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya memiliki pandangan pragmatis, melainkan juga menunjukkan kurangnya kemampuan komunikasi publik yang mumpuni. Kembali mengacu pada Scott Dust, jika pemerintah ingin disebut memiliki kebijakan yang baik, maka memperbaiki komunikasi kebijakan terkait Covid-19 adalah hal yang harus dilakukan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version