HomeNalar PolitikCorona: Australia Si Tetangga “Berisik”?

Corona: Australia Si Tetangga “Berisik”?

Di tengah pandemi virus Corona (Covid-19), pemerintah Australia memutuskan untuk memulangkan Duta Besar Gary Quinlan dari Indonesia. Meski disebutkan karena alasan kesehatan, pemanggilan ini bisa jadi merupakan kritik Australia untuk Indonesia. Mengapa Australia kerap menjadi tetangga yang “berisik”?


PinterPolitik.com

“How come all of my enemies was friends to me? How come all my enemies is frenemies?” – Juice WRLD, penyanyi rap asal Amerika Serikat

Siapa yang percaya dengan pemerintah Indonesia sekarang? Mungkin, pertanyaan ini bisa dijawab dengan kata “sedikit”. Bagaimana tidak? Banyak pihak justru meragukan data pemerintah mengenai penyebaran pandemi virus Corona (Covid-19) yang kini melanda negara kepulauan terbesar ini.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan data antara jumlah kasus positif dan korban meninggal yang disajikan oleh Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dengan data pemakaman dengan prosedur tetap (protap) Covid-19 milik DKI Jakarta.

Tak hanya Anies, data pemerintah sejak awal juga telah dipertanyakan oleh pihak asing. Siapa coba yang tidak ingat dengan adu argumen antara Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dengan beberapa peneliti di Harvard University?

Pasalnya, menurut banyak peneliti dan akademisi asing, Indonesia pada Februari-Maret lalu telah terjangkit oleh virus pandemi ini. Bahkan, beberapa model penghitungan menyebutkan bahwa jumlah infeksi dapat mencapai puluhan ribu ketika jumlah kasus resmi berkisar seribu hingga dua ribu saja.

Meskipun begitu, pada akhirnya, pemerintah Indonesia akhirnya mengakui bahwa tak semua informasi mengenai Covid-19 dibuka kepada publik. Salah satu alasan utama yang disebutkan adalah agar tidak menimbulkan kepanikan publik.

Bukan tidak mungkin adanya upaya penutupan informasi oleh pemerintah ini – ditambah dengan minimnya kapabilitas dan kapasitas sistem kesehatan Indonesia – membuat tak hanya publik Indonesia saja yang tidak percaya, melainkan juga memunculkan ketidakpercayaan di komunitas internasional.

Mengikuti jejak Amerika Serikat (AS), banyak negara akhirnya mengeluarkan peringatan perjalanan ke Indonesia. Australia misalnya, mewanti-wanti warganya untuk segera pulang ke negara asalnya dengan jalur penerbangan yang dikhawatirkan semakin terbatas.

Uniknya, sepertinya peringatan itu juga ditujukan untuk Duta Besar Australia untuk Indonesia Gary Quinlan. Kabarnya, Departemen Luar Negeri dan Perdagangan (DFAT) Australia memerintahkan kepulangan Quinlan karena alasan kesehatan.

Langkah DFAT Australia ini tentunya merupakan langkah yang unik. Bagaimana tidak? Sejauh ini, hanya Australia saja yang memanggil pulang dubesnya. Sontak, langkah ini memunculkan beberapa pertanyaan.

Mengapa pemerintah Australia memutuskan untuk memanggil pulang Quinlan? Apakah keputusan ini berkaitan dengan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara kanguru tersebut?

Jadi Alat Diplomasi?

Pemanggilan dan penarikan dubes oleh pemerintah Australia dari Indonesia ini bisa jadi adalah pertanda akan adanya sinyal diplomatis tertentu. Bukan tidak mungkin Australia ingin menyampaikan pesan tertentu terkait situasi pandemi Covid-19 di Indonesia.

Seperti yang diketahui, DFAT Australia beberapa waktu lalu mengeluarkan pernyataan resmi terkait pemulangan Dubes Quinlan dari Indonesia. Dalam pernyataan itu, pemerintah Australia menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil karena – secara murni – kekhawatiran mengenai kerentanan terhadap penyebaran Covid-19.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Keputusan ini juga dijelaskan kembali oleh Dubes Quinlan melalui akun Twitter resminya @DubesAustralia. Kurang lebih, cuitan itu menjelaskan bahwa keputusan ini diambil hanya untuk sementara.

Quinlan menjelaskan bahwa dirinya tetap akan menjabat sebagai Dubes Australia untuk Indonesia secara jarak jauh. Diplomat DFAT tersebut menyebutkan bahwa pelayanan konsuler bagi warga negaranya di Indonesia tetap berjalan.

Meski secara operasional Quinlan masih menjalankan tugasnya secara jarak jauh, keputusan Australia ini tentunya masih menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, kehadiran seorang dubes bisa dibilang penting – baik bagi negara pengirim maupun negara penerima.

Pemanggilan duta besar oleh negara pengirim ini bisa saja menjadi alat diplomasi non-verbal. Share on X

Olivia McCaffrey dalam tesisnya yang berjudul Silent Statecraft menjelaskan bahwa pemanggilan dubes oleh negara pengirim ini bisa saja menjadi alat diplomasi nonverbal. Dalam banyak kasus, pemanggilan dubes dilakukan untuk menyatakan protes atas tindakan atau kebijakan yang diambil oleh negara penerima.

Pasalnya, dubes selain secara praktis menjalankan fungsi perwakilan suatu negara di negara lain, juga menjalankan fungsi simbolis. Secara simbolis inilah, dubes yang dipanggil menandakan pemberian sinyal bahwa ada ketidaksepakatan dari negara pengirim.

Hal ini pernah terjadi kepada Indonesia ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2015 memutuskan untuk memberlakukan hukuman mati bagi para terpidana kasus narkoba. Karena hukuman mati secara alamiah dianggap melanggar hak asasi manusia (khususnya hak hidup), banyak negara – seperti Brasil dan Belanda – akhirnya menyatakan protes dengan memanggil pulang dubes-dubesnya.

Bila berkaca pada situasi pandemi Covid-19 sekarang ini, bukan tidak mungkin Australia secara tidak langsung turut menyatakan ketidaksepakatan atas lambatnya kebijakan penanganan pandemi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia.

Bisa jadi, ketidakpercayaan Australia terhadap Indonesia berujung pada pemanggilan dubesnya. Apalagi, banyak media asal negara kanguru itu mengkritik langkah-langkah kesehatan masyarakat pemerintah Indonesia yang dinilai masih kurang dalam menangani pandemi Covid-19.

Namun, sebenarnya, tidak hanya pemerintah Australia saja yang tak sepenuhnya percaya pada langkah-langkah pemerintah Indonesia. Negara-negara lain – seperti Singapura – justru tetap menempatkan dubesnya di Jakarta. Bahkan, beberapa negara malah memutuskan untuk memberikan bantuan.

Tentu saja, hal ini akhirnya menyisakan beberapa pertanyaan. Mengapa hanya Australia yang memanggil dubesnya? Apa yang salah dengan hubungan diplomatik Indonesia-Australia?

Tetangga yang “Berisik”?

Pemanggilan dubes oleh Australia ini bisa jadi menunjukkan bagaimana sebenarnya situasi hubungan diplomatik Indonesia-Australia. Dalam sejarahnya, hubungan kedua negara ini memang kerap menghadapi aral yang melintang.

Saking banyaknya aral tersebut, hubungan Indonesia dan Australia bisa disebut sebagai frenemies (teman sekaligus musuh). Bagaimana tidak? Meski keduanya saling membutuhkan sebagai tetangga, hawa-hawa “ancaman” juga menyelimuti hubungan keduanya.

Soal wilayah Timor Timur (sekarang Timor Leste) misalnya, Australia merupakan salah satu dari sedikit negara yang mengakui aneksasi yang dilakukan oleh Indonesia. Namun, setelah beberapa waktu, negara tersebut – disertai dukungan masyarakatnya – berubah arah dan mendukung referendum pada akhir abad ke-20.

Baca juga :  Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Tak hanya itu, pemerintah Australia juga pernah “terbongkar” telah melakukan penyadapan terhadap pemerintah dan sejumlah kelompok elite Indonesia berdasarkan sebuah dokumen rahasia tertanggal pada tahun 2009. Akibatnya, sentimen anti-Australia tersebar di publik.

Sering terjadinya persoalan diplomatik antara kedua negara ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh trust issues (masalah kepercayaan) yang sejak lama telah menyertai hubungan Indonesia-Australia. Pasalnya, Australia – secara identitas – merupakan sebuah negara yang merasa sendiri di tengah-tengah bangsa yang berbeda.

Bahkan, trust issues ini juga menyelimuti keduanya kala pandemi menghantui. Beberapa bulan lalu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyatakan bahwa pemerintahannya tidak percaya dengan data Covid-19 yang dimiliki pemerintah Indonesia.

Secara karakteristik, Australia tetaplah negara dunia pertama yang terletak di selatan Asia. Dikelilingi oleh negara-negara yang berbeda jauh dengannya, negeri kanguru tersebut akhirnya memiliki security complex – situasi di mana keamanan antarnegara saling berhubungan – dengan Indonesia yang juga merupakan negara besar Asia.

Bukan tidak mungkin, dengan security complex ini, Australia akan selalu merasa terancam dengan Indonesia meskipun kerja sama di antara kedua negara terus meningkat. Pemerintahan Jokowi dan pemerintahan Morrison misalnya, kini tengah menjalin hubungan yang semakin erat, khususnya di bidang perdagangan.

Namun, meski hubungan keduanya dianggap semakin erat, pemerintahan Morrison disebut-sebut enggan mengulurkan bantuan untuk Indonesia – bahkan walau perekonomian disebut-sebut akan mengalami resesi bila dampak ekonomi pandemi tetap membelenggu Indonesia dalam waktu berkepanjangan.

Adam Triggs dari Australian National University (ANU) dalam tulisannya yang berjudul Will Australia Turns Its Back on Indonesia? menjelaskan bahwa keengganan Australia ini menunjukkan hubungan pertemanannya tengah diuji di tengah pandemi.

Triggs bahkan menyebutkan, apabila Indonesia dianggap sebagai teman, seharusnya pemerintahan Morrison tak perlu menunggu resesi terjadi di Indonesia untuk memberikan bantuan – seperti melalui currency swap line – guna menyelamatkan perekonomian tetangganya.

Mungkin, bisa dibilang bahwa Australia ini merupakan salah satu tetangga yang memang dekat ketika tengah membutuhkan “perjanjian dagang” saja. Padahal, bagaimana pun juga, Australia sebenarnya juga tetap membutuhkan implementasi Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang juga semakin tidak jelas di tengah pandemi Covid-19 kini.

Boleh jadi, sudah waktunya Australia mengakhiri pengabaiannya terhadap negara tetangga yang tengah membutuhkan uluran bantuan ini bila Indonesia menjadi bagian dari kepentingan strategis negeri kanguru tersebut. Tentu saja, hanya pemerintahan Australia yang tahu ada tidaknya keinginan membantu. Mungkin, kita hanya bisa menyaksikan dan menanti kedatangan kritik pedas mereka (lagi). (A43)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?