Site icon PinterPolitik.com

Core Voters Pergi, Jokowi Terancam

Core Voters Pergi, Jokowi Terancam

Sekitar 40 persen pendukung Jokowi berpotensi pindah dukungan. (Foto: istimewa)

Kekecewaan terhadap pilihan cawapres Jokowi masih kuat di kalangan pendukungnya, terutama dari kelompok pluralis-progresif, kaum marjinal, hingga pendukung spesifik macam Ahokers. Apalagi, Alvara Research Center menyebut 40 persen pendukung Jokowi berpotensi pindah dukungan pada Pilpres 2019.


PinterPolitik.com

“The only thing that we cannot control is our supporters.”

:: Jose Mourinho, pelatih Manchester United ::

[dropcap]S[/dropcap]uka atau tidak, kata-kata Jose Mourinho – yang tengah galau pasca timnya dibantai Tottenham Hotspur beberapa hari lalu – di atas sangat cocok dengan kondisi politik domestik saat ini. Setidaknya, hal itulah yang tergambar dalam sebuah tulisan di portal Asia Times yang menyoroti potensi menguatnya golongan putih (golput) pada Pilpres 2019 nanti.

Adalah Abhishek Mohanty, seorang peneliti dari Jamia Milia Islamia, New Delhi, dalam tulisan tersebut secara gamblang menyebutkan potensi tingginya golput muncul pasca kekecewaan yang dialami oleh banyak pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah memilih KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya. Mohanty menyebutkan bahwa pemilihan Ma’ruf membuat identitas Jokowi sebagai pemimpin yang sekuler dan nasionalis terancam.

Ia juga secara spesifik menyebut kekecewaan terhadap Jokowi ini muncul dari para pendukungnya sendiri yang menganggap sang presiden “takluk” oleh kepentingan parpol dan jatuh dalam strategi pemenangan yang berfokus untuk mengamankan ceruk pemilih Islam.

Akibatnya, potensi kehilangan dukungan dari pemilih tradisional – para core voters – pun bermunculan. Kampanye golput menyebar di media sosial, beberapa menyebutnya dengan gerakan Coblos Samping. 

Pegiat HAM, Haris Azhar merupakan salah satu tokoh yang muncul dengan konsep gerakan tersebut. Menyebut diri berbeda dengan kelompok golput yang menolak menggunakan hak suara, kelompok Coblos Samping tetap mengajak masyarakat datang ke TPS, tetapi mencoblos di luar kolom capres-cawapres, sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah. Tujuannya agar suara kelompok tersebut tidak disalahgunakan.

Fenomena ini juga diperkuat dengan analisis beberapa pengamat yang menyebut suara Jokowi berpotensi digerus oleh poros golput. Tentu pertanyaannya adalah seberapa besar dampak aksi golput, Coblos Samping dan sejenisnya terhadap potensi keterpilihan Jokowi?

Jokowi vs Kekecewaan Core Voters

Tidak dapat dipungkiri, terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi mendatangkan kekecewaan yang cukup besar di dalam hati sebagian besar pendukung Jokowi, terutama dari kelompok yang mengidentifikasikan diri sebagai pluralis dan progresif.

Kelompok ini umumnya berasal dari kalangan intelektual dan aktivis yang awalnya mendukung Jokowi karena melihat nuansa pembaharuan yang dibawa oleh pria kelahiran Solo itu. Pada tataran yang lebih tinggi, kelompok ini juga bisa diidentifikasi sebagai mereka-mereka yang berada pada kutub sekularisme – memisahkan konteks agama dari politik.

Survei Alvara Research Center menyebut potensi berpindahnya dukungan pemilih Jokowi-Ma’ruf ke Prabowo-Sandi mencapai 40 persen. Share on X

Predikat sekuler ini juga disebutkan oleh Mohanty dalam tulisannya. Ia menyebut kelompok ini sebagai bagian terbesar yang kuat mendukung Jokowi – bisa disebut sebagai basis pemilih tradisional Jokowi. Jokowi sendiri oleh sebagian kelompok pemilih Muslim garis keras, dianggap mempromosikan ide sekularisme tersebut.

Kelompok pluralis-progresif ini juga mencakup kaum marjinal – misalnya LGBT, minoritas seperti Ahmadiyah, dan yang lainnya – yang selama ini selalu mendukung dan merasa kepentingannya dilindungi Jokowi, serta memberikan suaranya untuk pria kurus itu pada Pilpres 2014 lalu.

Khusus untuk kelompok marjinal ini, sosok Ma’ruf yang ketika menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) kerap memperlihatkan sikap yang “kurang bersahabat” – katakanlah kepada kaum LGBT – membuat citra Jokowi di mata kelompok ini juga ikut tergerus.

Beberapa di antara mereka telah secara terbuka mengurungkan niatan memberikan suara untuk Jokowi karena “merasa terancam” dengan kehadiran Ma’ruf. Bagi mereka ada perasaan yang berkecamuk ketika mereka melihat Jokowi sebagai sosok yang terbuka, pluralis dan progresif bersanding dengan tokoh konservatif yang cenderung “mengopresi” keberadaan mereka.

Belum lagi jika bicara track record Ma’ruf pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu yang akibat fatwanya membuat tokoh marjinal populer Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus tersingkir dari kontestasi politik, bahkan sampai mendekam di penjara. Nama terakhir memang punya jalan politik yang segaris dengan Jokowi, sekalipun secara latar belakang, Ahok adalah seorang non-Muslim dan beretnis Tionghoa.

Dua faktor terakhir menghapus semua citra pemimpin bersih dan tegas yang selama ini dipersepsikan publik padanya, apalagi setelah pria kelahiran Belitung Timur itu dianggap menghina ayat suci Alquran.

Para pendukung Ahok alias Ahoker terkenal cukup militan dan loyal. Akibatnya, kekhawatiran besar muncul ketika Jokowi yang sangat dekat dengan Ahok memilih Ma’ruf Amin yang oleh para Ahoker dianggap sebagai penyebab junjungan mereka dipenjara.

Jokowi berpeluang ditinggal oleh para pemilih dari kalangan pendukung Ahok dan dampaknya boleh jadi akan sangat signifikan terhadap suara sang petahana di Pilpres 2019 nanti.

Ahok effect punya implikasi yang sangat luas di seluruh Indonesia dan menjadi bagian dari pemenuhan dahaga banyak kelompok masyarakat akan sosok pemimpin yang bersih, tegas, dan bisa mengatasi berbagai persoalan – hal yang membuat mantan politisi Gerindra itu kerap muncul dalam berbagai survei sebagai cawapres potensial.

Ketakutan akan kehilangan dukungan pendukung Ahok inilah yang sempat membuat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan buru-buru mengklaim bahwa mantan bupati Belitung Timur itu tetap mendukung Jokowi. Bagaimanapun juga, Ahok effect tetap menjadi salah satu kunci kemenangan Jokowi. (Baca: Ahok, Kunci Kemenangan Jokowi) 

Faktanya, baik kelompok pluralis-progresif, kaum marjinal, hingga yang spesifik macam pendukung Ahok adalah basis pemilih yang secara ideologis mengidentikkan diri dengan Jokowi. Dalam konteks elektoral, kelompok ini sering disebut sebagai core voters atau pemilih inti Jokowi.

Istilah core voters sebenarnya muncul dalam diskursus politik untuk mengidentifikasi pemilih loyal sebuah partai atau tokoh tertentu. Istilah ini juga sering digunakan untuk membedakannya dari swing voters atau kelompok pemilih yang belum pasti menentukan dukungan politiknya – sekalipun konteksnya lebih umum digunakan untuk partai politik.

Core voters Jokowi adalah pemilih inti yang mendukungnya karena persepsi mereka terhadap pribadi, gagasan dan ideologi sang presiden. Mereka juga cukup loyal mendukung dan membela kebijakan publik Jokowi dan seringkali menjadi tameng ideologis di masyarakat.

Dalam konteks signifikansinya, jika berkaca dari survei terbaru Alavara Research Center, jumlah swing voters untuk Pilpres 2019 diprediksi hanya akan berada di kisaran belasan persen, berbeda dengan Pilpres 2014 lalu yang mencapai 40 persen. Artinya core voters punya jumlah yang lebih besar.

Menurut survei tersebut, saat ini elektabilitas Jokowi-Ma’ruf Amin ada di kisaran 53,6 persen, sementara Prabowo-Sandiaga Uno ada di kisaran 35,2 persen. Namun, peneliti dari lembaga itu, Hasanudin Ali menyebut secara soliditas, voters Prabowo jauh lebih kuat dibanding Jokowi. Ia bahkan menyebut potensi berpindahnya dukungan pemilih Jokowi-Ma’ruf ke Prabowo-Sandi mencapai 40 persen.

Jumlah ini tentu saja tidak sedikit. Artinya, masalah yang dihadapi oleh Jokowi bukan lagi merebut swing voters seperti pada Pilpres 2014 lalu, tetapi mempertahankan core voters-nya.

Sementara, pada saat yang sama, pilihan-pilihan politik yang dibuat oleh sang petahana itu justru kontraproduktif dengan basis elektoralnya, terutama ketika memilih Ma’ruf Amin yang punya citra politik kurang bersahabat di hadapan para core voters tersebut. Jika prediksi Alvara Research Center bisa dipertanggungjawabkan, maka ada bahaya besar yang menanti Jokowi di depan mata.

Ditinggal Core Voters, Waspada Jokowi!

Nyatanya, kehilangan core voters adalah masalah yang tidak bisa dianggap sepele. Jokowi memang bisa merasa percaya diri di hadapan pemilih Islam berkat kehadiran Ma’ruf. Tetapi, dengan terkuaknya manuver dan intrik politik seperti yang diutarakan oleh Mahfud MD, boleh jadi juga mendatangkan dampak yang sebaliknya, termasuk menggerus core voters.

Gary W. Cox dalam tulisannya yang berjudul Swing Voters, Core Voters and Distributive Politics menyebut core voters sebenarnya menjadi orang-orang yang tidak perlu lagi dipersuasi untuk memilih calon atau partai tertentu. Mereka pada dasarnya sudah punya perasaan terhubung dengan kandidat atau partai tersebut.

Namun, jika kelompok ini merasa tokoh atau partai yang ia dukung telah keluar dari ide-ide yang awalnya mereka percayai, core voters sangat mungkin mempengaruhi hasil akhir sebuah Pemilu, bahkan berpotensi menyebabkan kekalahan bagi tokoh tersebut.

Fenomena Coblos Samping atau poros golput yang muncul pasca Jokowi memilih Ma’ruf adalah salah satu potensi kehilangan core voters yang bisa berdampak pada Jokowi. Memang masih ada perdebatan di antara para pakar hukum tata negara terkait sah atau tidaknya hasil Pilpres jika angka golput lebih dari 50 persen.

Namun, jika berkaca pada Undang-Undang Pemilu tahun 2012, Pemilu Lanjutan atau Pemilu Susulan hanya bisa dilakukan jika angka golput 50 persen terjadi karena force majeure – sebuah kondisi yang tidak terhindarkan, misalnya bencana alam, perang, dan lain sebagainya.

Apalagi, jika kampanye Coblos Samping – yang tetap membuat orang menggunakan hak suaranya – berhasil, maka hasil Pemilu tetap akan sah-sah saja. Kondisi ini tentu saja akan lebih merugikan Jokowi karena berpotensi ditinggal core voters-nya, bahkan sang petahana sangat mungkin kalah.

Sebaliknya, Prabowo punya core voters yang lebih kuat ikatan politisnya, sekalipun ia tidak memilih cawapres dari kelompok ulama. Masih adanya partai dengan basis massa militan seperti PKS serta perasaan “rindu kekuasaan” yang lebih besar di kubu oposisi adalah salah satu kelebihan Prabowo.

Fenomena berpalingnya core voters saat ini memang sedang terjadi di banyak negara, terutama di daratan Eropa. Bahkan, Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang punya core voters yang kuat, belakangan terancam ditinggal karena kebijakannya yang makin “nyeleneh”.

Jika ini benar-benar terjadi pada Jokowi, maka sang petahana harus waspada. Setidaknya Jokowi perlu menerapkan strategi khusus untuk mengamankan kelompok pemilih inti ini agar tidak kabur atau memilih menjadi golput pada hari pemilihan nanti.

Bagaimanapun juga, seperti kata Jose Mourinho di awal tulisan, memang kadangkala lebih sulit mengontrol pendukung sendiri. (S13)

Exit mobile version