HomeHeadlineConnie Sebenarnya Timses Prabowo?

Connie Sebenarnya Timses Prabowo?

Dengarkan Artikel Ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI

Kritik yang belakangan di lontarkan oleh pengamat militer Connie Rahakundini kepada pasangan calon (paslon) Prabowo-Gibran tampaknya justru menguntungkan dan seakan melegitimasi kemenangan paslon nomor urut dua itu. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Nama pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie, tengah menjadi topik hangat – setidaknya sejak memasuki masa tenang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Connie belakangan cukup vokal menyuarakan kritik kepada pasangan calon (paslon) nomor urut dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Connie mengklaim bahwa dirinya diajak oleh Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Rosan Roeslani, untuk bergabung. Namun, dirinya menolak lantaran mengklaim akademisi adalah milik semua orang.

Connie juga mengaku ditawari posisi sebagai wakil menteri pertahanan (Wamenhan) atau wakil menteri luar negeri (Wamenlu) jika mau bergabung, tapi dia memilih untuk menolak posisi itu.

Mantan anggota Dewan Pakar Partai NasDem itu beralasan bahwa dia menolak dua jabatan itu karena dalam koalisi Prabowo-Gibran sudah sarat gontok-gontokan karena lintas partai yang gemuk. Setelah itu, Connie menyebut dirinya justru ditawari Jeep Bentley 1st Edition.

infografis kecewa connie gegara anies

Connie bahkan mengatakan jika Rosan sempat menyebut Prabowo hanya akan menjabat sebagai presiden selama tiga tahun dan kemudian sisanya akan dilanjutkan oleh Gibran.

Pengamat militer itu menyebut skenario masa jabatan itu disiapkan demi Gibran. Dengan skenario itu, Gibran tetap bisa mengikuti pemilihan presiden dua kali lagi sehingga total masa jabatannya jadi 12 tahun.

Connie juga mengaku bahwa dirinya sempat mendapatkan tawaran untuk bertemu calon wakil presiden (cawapres) nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka.

Namun, dirinya menolak lantaran sejak awal dia tidak mendukung Gibran sebagai cawapres karena aspek pelanggaran konstitusi dan etika.

Mendengar pernyataan Connie itu, Ketua TKN Rosan Roeslani membantah semua tudingan itu, dan menyebut pengamat militer itu sedang menyebarkan fitnah.

Rosan menyebut jika Connie yang awalnya meminta bertemu dan menawarkan diri untuk bergabung dengan TKN. Rosan juga mengatakan jika dalam dukungannya itu, Connie tidak meminta imbalan posisi Wamenhan atau Wamenlu.

Dengan berbagai pernyataan yang kontroversial itu, banyak yang menilai Connie justru sedang menyebarkan propaganda yang mendegradasi kekuatan Prabowo-Gibran

Lantas, mengapa Connie memilih untuk menyerang Prabowo-Gibran? Apa motif Connie sebenarnya melakukan itu?

Connie, a War Junkie’?

Dalam dunia politik modern, ada fenomena yang menarik perhatian banyak orang, yakni individu yang terus-menerus mencari keributan atau membuat kegaduhan politik.

Mereka sering kali terlibat dalam konflik, berdebat secara agresif, atau bahkan memprovokasi ketegangan di antara pihak-pihak yang berbeda. Hal itu kiranya menggambarkan sosok Connie belakangan ini.

Baca juga :  Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Dengan banyaknya bantahan dan tudingan terkait penyebaran berita bohong dan fitnah, Connie dalam akun Instagram pribadinya mengeluarkan sebuah surat pernyataan yang berisi tentang deklarasi perang kepada pihak-pihak yang menentangnya.

Pengamat militer itu sebenarnya bukan kali ini saja membuat pernyataan yang cukup membuat gaduh publik.

Pada tahun 2021 lalu, Connie pernah mengungkap isu adanya mafia alutsista di Kementerian Pertahanan (Kemhan) yang berinisial Mr. M saat berbicara tentang upaya realisasi perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar broker transaksi jual-beli alutsista diberantas.

Dengan berbagai kasus terkait pernyataan Connie yang kontroversial hingga akhirnya membuat gaduh publik, maka dia bisa disebut sebagai war junkie.

War junkie berasal dari adrenalin yang berlebih dalam diri seseorang yang berdampak pada mencari kesenangan lewat sesuatu yang memacu adrenalin, dan disebut adrenaline junkies. Hal ini biasanya terjadi pada militer yang selesai dari penugasan di medan perang.

Morten Brænder dalam tulisannya yang berjudul Adrenalin Junkies: Why Soldiers Return from War Wanting More menjelaskan bahwa, seperti pecandu halnya narkoba, tentara bisa menjadi adrenaline junkies.

Hal ini karena toleransi mereka terhadap bahaya telah meningkat setelah penugasan sehingga mereka selalu menginginkan sesuatu yang berkaitan dengan bahaya.

Penjelasan ini sudah diuji dan mendapat dukungan parsial, dengan menggunakan data dari tentara dari Denmark yang bertugas di Helmand, Afganistan, pada tahun 2011 lalu.

Setelah kembali dari penugasan di medan perang, mereka selalu mencari aktivitas yang memacu adrenalin. Bahkan, beberapa dari mereka menginginkan untuk kembali bertugas di medan pertempuran karena merasa memiliki kebahagiaan tersendiri.

Atas dasar itu, tentara yang mempunyai adrenaline junkies yang cukup tinggi kerap kali menjadi sebuah war junkies.

Christopher Fettweis dalam tulisannya yang berjudul The War Junkies: Understanding Conflict Addiction in International Politics menjelaskan war junkie sebagai kecenderungan individu, kelompok, atau bahkan negara untuk terus-menerus mencari atau terlibat dalam konflik bersenjata atau kegiatan militer di tingkat internasional.

Mereka merasa terdorong untuk terlibat dalam pertikaian, debat yang panas, atau memperkeruh suasana politik, sering kali tanpa memperhitungkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan mereka.

Ada beberapa motivasi yang mendorong seseorang untuk menjadi war junkie dalam politik. Pertama,beberapa individu mungkin mendapatkan kepuasan emosional atau adrenalin dari terlibat dalam konflik politik.

Mereka merasa hidup dan bersemangat ketika berada dalam situasi yang tegang. Kedua, beberapa war junkie memiliki dorongan untuk mendominasi dalam situasi politik.

Mereka ingin menang, bahkan jika itu berarti memicu konflik atau mengalahkan lawan-lawan politik mereka.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Terakhir, terlibat dalam konflik politik dapat memberikan seseorang perhatian yang besar dari publik atau pengikut mereka. Hal ini bisa menjadi sumber validasi dan pengakuan sosial bagi mereka.

Berkaca dari penjelasan tersebut, dengan beberapa pernyataan yang sering membuat kegaduhan politik, Connie tampaknya memang memiliki kepuasan emosional tersendiri jika terlibat dalam konflik politik yang disebabkan oleh pernyataannya.

Dengan konflik yang dihasilkan dari pernyataannya, Connie juga kiranya berharap untuk dapat mendominasi situasi politik, yang nantinya juga berdampak pada perhatian besar yang didapatkan kepadanya.

Alhasil, kemungkinan Connie memiliki sebuah daya tawar politik sehingga memperoleh jabatan yang diinginkannya, yakni Wamenlu atau Wamenhan.

Lalu, apakah narasi negatif dari Connie dapat berpengaruh kepada faktor elektoral Prabowo-Gibran?

prabowo gaspol kejar pilpres satu putaran

Semakin Melegitimasi Kemenangan?

Dengan propaganda yang dilakukan Connie pada masa tenang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kemarin, banyak yang menilai jika ini akan berdampak pada perolehan elektoral Prabowo-Gibran.

W. L. Bickman dalam tulisannya yang berjudul The Psychology of Reactance: A Consideration of the Literature with Particular Reference to Human Services menjelaskan teori reaktansi (reactance theory).

Konsep ini menyatakan bahwa ketika individu merasa terancam atau diserang, mereka cenderung mempertahankan atau menguatkan keyakinan atau perilaku mereka sebagai respons terhadap ancaman tersebut.

Teori ini memiliki relevansi yang cukup signifikan dalam berbagai konteks, termasuk dalam ranah politik.

Dalam konteks politik, terutama pada tingkat partai politik dan pemilihan umum,  reactance theory dapat diamati dalam tindakan yang diambil oleh politisi atau partai politik yang merasa terancam oleh lawan politiknya.

Bickman menyoroti bahwa dalam situasi seperti ini, mereka mungkin mengadopsi narasi negatif terhadap lawan tersebut sebagai strategi untuk memperkuat basis dukungan mereka sendiri.

Dalam konteks propaganda Connie kepada Prabowo-Gibran, narasi negatif yang disampaikan olehnya ternyata justru menghasilkan efek yang berlawanan dari yang diharapkan.

Paradoksnya, tindakan tersebut justru semakin menguatkan basis pendukung dari Prabowo-Gibran.

Dengan menyatakan bahwa Prabowo hanya akan menjabat selama 3 tahun dan sisanya dilanjutkan oleh Gibran, Connie sebenarnya memberikan legitimasi pada kemenangan yang diharapkan dari pasangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024.

Hal ini disebabkan oleh reaksi yang terjadi dari basis pendukung Prabowo-Gibran yang meyakinkan bahwa potensi kemenangan paslon itu cukup besar dalam pilpres kali ini.

Reaksi ini dapat diinterpretasikan sebagai upaya dari basis pendukung untuk mempertahankan keyakinan mereka terhadap Prabowo dan Gibran sebagai respons terhadap ancaman yang dirasakan terhadap kandidat mereka.

Menarik untuk menunggu apakah narasi negatif yang disampaikan Connie akan berdampak pada perolehan elektoral Prabowo-Gibran. (S83)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

Anies “Alat” PKS Kuasai Jakarta?

Diusulkannya nama Anies Baswedan sebagai calon gubernur (cagub) DKI Jakarta oleh PKS memunculkan spekulasi jika calon presiden (capres) nomor urut satu ini hanya menjadi “alat” untuk PKS mendominasi Jakarta. Benarkah demikian?

Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Dalam sidang Komite Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, anggota komite Bacre Waly Ndiaye mempertanyakan netralitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait lolosnya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dari Prabowo Subianto. Lalu, apa yang bisa dimaknai dari hal itu?