HomeNalar PolitikCitra TNI Gerus Lembaga Sipil?

Citra TNI Gerus Lembaga Sipil?

Dalam berbagai survei, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap TNI selalu menempati posisi tertinggi. Berbagai pihak melihatnya positif karena TNI berhasil menjaga citranya di tengah masyarakat. Namun, mungkinkah fenomena ini dapat mengancam lembaga sipil?


PinterPolitik.com

“I believe we must be strong military, but beyond a certain point military strength can become a national weakness” – Dwight D. Eisenhower, Presiden ke-34 Amerika Serikat

Pada Mei 2021, Lembaga Riset Pusat Polling (Puspol) Indonesia merilis survei mengenai lembaga yang meraih kepercayaan tertinggi dari publik. Seperti yang mudah ditebak, TNI menempati posisi tertinggi. Dengan persentase sebesar 95 persen, angka ini bahkan jauh dari lembaga Kepresidenan di posisi kedua yang hanya sebesar 82,2 persen.

Dalam berbagai survei, TNI memang menjadi langganan di posisi pertama. Pada Maret 2021, survei Indikator Politik Indonesia juga menempatkan TNI sebagai lembaga paling dipercaya anak muda. Ada pula rilis Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Februari 2021 dengan hasil yang sama.

Survei-survei tersebut sekiranya adalah buah dari kesigapan TNI untuk yang terdepan hadir di tengah kondisi sulit masyarakat. Pada konteks pandemi Covid-19, misalnya, sejak awal TNI memang menjadi garda terdepan penanganan. Pun begitu pada kasus bencana lainnya, TNI selalu berada di depan bersama masyarakat.

Pada persoalan-persoalan non-keamanan, seperti penyuluhan kepada petani, TNI juga sering kali terlibat. Suksesnya swasembada pangan di era Soeharto bahkan tidak dapat dilepaskan dari peran ABRI saat itu.

Jika di tarik ke belakang, persoalan ini dapat dilihat dari konsep Broad Front yang dicetuskan oleh Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Broad Front adalah gagasan bahwa terdapat partisipasi militer di luar persoalan pertahanan dan keamanan, yakni juga berupaya meningkatkan kesejahteraan negara secara keseluruhan.

Saat ini, tiga matra TNI juga terlihat aktif memanfaatkan media sosial, seperti Twitter untuk memperlihatkan kegiatannya kepada masyarakat luas. Mulai dari latihan, menjaga keamanan, hingga penyerahan bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19.

Baca Juga: Jokowi dan Militerisasi Penanganan Corona

Kurnia Yunita Rahayu dalam tulisannya Akrobat Tentara di Dunia Maya di Kompas menyebut konten-konten yang diunggah ketiga matra tersebut sebagai “konten humanis”. Ini adalah upaya TNI dalam memperbaiki reputasi dan kepercayaan publik pasca-reformasi.

Terkait persoalan ini, ada komentar kritis dari pengamat pertahanan dan keamanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Di satu sisi, ia memang mengapresiasi keberhasilan TNI memperbaiki citranya. Ini tidak terlepas dari keahlian dalam membuat propaganda.

Namun di sisi lain, propaganda yang saat ini aktif dilakukan, khususnya di media sosial justru dapat bergerak ke arah yang keliru, sehingga berdampak pada peningkatan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga sipil.   

Baca juga :  Segitiga Besi Megawati

Lantas, bagaimana kekhawatiran Fahmi dapat terjadi?

Gerus Lembaga Sipil?

Ilmuwan politik Francis Fukuyama dalam tulisannya Infrastructure, Governance, and Trust menyebut tingkat kepercayaan pada pemerintah telah menurun hampir di semua tempat di dunia. Tren ini tidak hanya terjadi dalam beberapa tahun terakhir, melainkan dalam beberapa dekade terakhir.

Tren tersebut tampaknya yang dimaksud Fahmi tengah dimanfaatkan oleh TNI. Menurut alumnus ilmu politik Universitas Airlangga ini, ada dua alasan mengapa propaganda TNI berhasil dilakukan.

Pertama, adanya kesenjangan pengetahuan antara publik dengan elite dan intelektual menyangkut pembatasan peran dan fungsi militer di lapangan sosial politik dan agenda-agenda reformasi di tubuh TNI. Kedua, adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan menyangkut pengelolaan negara.

Terkhusus yang kedua, poin tersebut dapat kita jelaskan lebih jauh melalui teori deprivasi relatif. Robert Longley dalam tulisannya All About Relative Deprivation and Deprivation Theory menyebut deprivasi relatif adalah kondisi ketika seseorang merasa dirampas dari sesuatu yang dianggapnya penting, seperti hak politik dan kesejahteraan, kemudian mengatur atau bergabung dengan gerakan sosial yang didedikasikan untuk mendapatkan sesuatu tersebut.

Teori ini kerap digunakan untuk menjawab faktor pendorong yang menyebabkan terjadinya kekacauan sosial seperti kerusuhan, penjarahan, terorisme, dan perang saudara. Misalnya, ini digunakan dalam menjelaskan penyebab Gerakan Hak Sipil di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1960-an. Saat itu, kelompok kulit hitam turun ke jalan dan membuat protes untuk menuntut kesetaraan sosial dan hukum.

Dengan adanya pengelolaan negara yang belum optimal dari lembaga sipil, berbagai pihak kemudian mengalihkan kepercayaannya terhadap lembaga lain yang dinilai lebih baik. Pada konteks ini, posisi TNI benar-benar diuntungkan.

Baca Juga: Jokowi Terkungkung Persepsi Kesatria Militer?

Pasalnya, mengelola persoalan sipil, seperti pencegahan korupsi dan merancang proyek infrastruktur bukanlah tugas dari TNI. Alhasil, mereka mestilah terlepas dari berbagai sentimen buruk terhadap tidak optimalnya pengelolaan dua hal tersebut.

Seperti yang disebutkan Fukuyama, ketidakpuasan publik terhadap proyek infrastruktur juga tengah mendorong peningkatan ketidakpercayaan terhadap pemerintahan.

Dosen filsafat Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Adian juga pernah menyinggung persoalan ini. Menurutnya, telah terjadi surplus ketidakpercayaan publik terhadap kekuasaan selepas tumbangnya Soeharto.

Jika analisis Fahmi tepat bahwa TNI tengah memanfaatkan deprivasi relatif, maka dapat dikatakan peningkatan kepercayaan publik terhadap TNI akan berbanding terbalik dengan kepercayaan terhadap lembaga sipil.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Lantas, apa konsekuensi dari persoalan ini?

Persepsi Kepemimpinan Militer

Salah satu konsekuensi yang umum terlihat adalah lumrahnya anggapan bahwa militer memiliki kepemimpinan yang lebih baik dari sipil. Donny Gahral Adian dalam bukunya Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme, misalnya, secara tersirat menunjukkan pandangan ini.

Tulisnya, “egalitarianisme dalam demokrasi telah mendelegitimasi institusi sosial-keluarga, Geraja, sekolah, dan militer–selaku institusi yang menanamkan kepekaan terhadap komunitas dan rasa hormat terhadap kepemimpinan”.

Tidak hanya di Indonesia, pandangan ini juga ada di berbagai belahan dunia. Profesor di Akademisi Militer Amerika Serikat (AS) Tom Kolditz dalam tulisannya Why the Military Produces Great Leaders secara tersurat menulisnya.

Jelasnya, militer dididik dalam etos kedisiplinan, memenuhi tugas, dan tanggung jawab yang tinggi. Etos ini disebutnya membuat militer menjadi semacam pemimpin alami.

Tentu pertanyaannya, benarkah kepemimpinan militer akan selalu lebih baik dari sipil?

D. McKinlay dan A.S. Cohan dalam penelitiannya yang berjudul Comparative Analysis of the Political and Economic Performance of Military and Civilian Regimes membandingkan kinerja di bidang politik, pertahanan, dan ekonomi di antara negara-negara yang dikelola militer dan negara-negara yang dikelola sipil.

Hasilnya? Ternyata tidak terdapat banyak perbedaan antara kinerja yang ditunjukkan dari kedua jenis pemerintahan tersebut.

Temuan ini sekiranya membantah persepsi mereka yang menginferiorkan kepemimpinan dari kalangan sipil. Secara satire, Khairul Fahmi menyebut persepsi semacam itu sebagai mitos kesatria.

Natalie Sambhi dalam tulisannya Generals gaining ground: Civil-military relations and democracy in Indonesia menjelaskan bahwa hubungan militer-sipil saat ini juga ditandai dengan koneksi lintas generasi dengan mereka yang berasal dan “terdidik” di masa Orde Baru.

Mengakarnya rezim Soeharto selama 32 tahun telah membentuk struktur persepsi publik yang masih membekas sampai saat ini. Menurut Sambhi, perihal itu kemudian terartikulasikan dalam kepercayaan publik yang sangat dalam dan persepsi terhadap kompetensi militer dan budayanya, bahkan pasca-reformasi.

Baca Juga: Demonstrasi Ungkap Rivalitas TNI-Polri?

Hipolitus Yolisandry Ringgi Wangge dalam tulisannya The military’s role in Indonesia’s democracy. Misguided perception? juga melihat hal serupa. Menurutnya, reformasi telah  gagal dalam meredam aspirasi militer untuk turut serta dalam kehidupan politik dan sosial sipil. Alhasil, seperti yang kita lihat saat ini, berbagai posisi sipil justru dijabat oleh militer aktif maupun purnawirawan.

Namun, perlu untuk digarisbawahi, meningkatnya kepercayaan publik terhadap TNI tidak semata-mata dipahami secara negatif. Seperti yang disebutkan Fahmi, itu negatif apabila propaganda yang dilakukan justru memanfaatkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga sipil. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...