Setelah ramai “catwalk” dalam fenomena Citayam Fashion Week di berbagai platform media sosial (medsos), kini giliran Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang menjajaki “catwalk” yang ada di kawasan Dukuh Atas tersebut. Menariknya, Anies tidak hanya sendiri, melainkan juga ditemani oleh sejumlah pejabat Uni Eropa.
“Sempat mencoba ‘catwalk’ ala teman-teman SCBD di Dukuh Atas. Kesimpulannya, kami semua tidak ada yang sekeren mereka, belum pantas naik ‘catwalk’” – Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta
Nama kota Paris memang tidak pernah terdengar asing di telinga banyak orang. Bagaimana tidak? Ibu kota negara Prancis ini kerap dikenal dengan sejumlah keindahan yang dimilikinya – mulai dari arsitektur, romantisisme, hingga fesyen (fashion).
Mungkin, nama Paris sendiri tidak akan bisa dipisahkan dengan kata “fesyen” itu sendiri. Pasalnya, kota ini juga dikenal sebagai ibu kota dari dunia mode dan fesyen.
Dunia fesyen di Paris akan sangat bisa dirasakan bila kita mencoba berjalan kaki di Avenue des Champs-Élysées (dekat landmark yang dikenal sebagai Arc de Triomphe). Hampir sudah pasti kita bisa menemukan orang-orang yang mengenakan pakaian-pakaian mode yang indah – disertai dengan tas-tas belanja bertuliskan merek-merek designer seperti Louis Vuitton, Dior, Chanel, dan sebagainya.
Namun, apa yang terjadi di Champs-Élysées bukanlah hal yang unik hanya terjadi di Paris. Hal yang mirip juga terjadi di Jakarta akhir-akhir ini. Bila Paris memiliki punya Champs-Élysées, Jakarta mungkin kini mempunyai kawasan Dukuh Atas yang akhir-akhir ini identik dengan fenomena Citayam Fashion Week.
Bukan tidak mungkin, pada akhirnya, orang-orang Eropa yang terbiasa oleh Champs-Élysées akhirnya ikut penasaran dengan fenomena Citayam Fashion Week. Boleh jadi, inilah mengapa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya mengajak sejumlah pejabat Uni Eropa (UE) setelah melakukan rapat di Kantor Moda Raya Terpadu (MRT) Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Bersama Duta Besar (Dubes) UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Vincent Piket, Wakil Presiden European Investment Bank (EIB) Kris Peeters, Anies akhirnya berjalan di “catwalk” yang pada dasarnya adalah zebra-cross penyeberangan di kawasan Dukuh Atas. Setidaknya, orang-orang Eropa pun bisa merasakan fenomena fesyen yang kini tengah viral di Indonesia.
Namun, kehadiran sosok Anies di kawasan tersebut secara langsung juga turut menimbulkan tanya. Pasalnya, Gubernur DKI Jakarta tersebut juga digadang-gadang bakal menjadi salah satu calon presiden (capres) paling potensial pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Belum lagi, di samping Anies, terdapat perwakilan-perwakilan Uni Eropa yang mana menjadi kawasan yang semakin penting di tengah politik dunia yang kini mulai memanas – dengan meletusnya konflik Ukraina-Rusia dan persaingan geopolitik antara Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan Rusia.
Sejumlah pertanyaan pun kemudian muncul. Mengapa Anies memutuskan untuk mengajak pejabat-pejabat UE ini untuk berjalan di “catwalk” Citayam Fashion Week? Apakah ini berkaitan juga dengan potensinya untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024?
The Europe(Anies)t?
Fenomena Citayam Fashion Week memang turut menyita perhatian Anies. Bukan hanya dengan berjalan di “catwalk” dadakan di Dukuh Atas, sang Gubernur DKI Jakarta tersebut juga beberapa kali memberikan komentar positif terhadap fenomena tersebut.
Dalam komentar-komentar tersebut, Anies memberikan satu pesan yang jelas, yakni bagaimana membangun kawasan yang inklusif di Jakarta – termasuk di kawasan Dukuh Atas yang menjadi tempat utama bagi Citayam Fashion Week. Apalagi, anak-anak muda yang berkumpul di kawasan tersebut sebagian besar adalah mereka yang berasal dari kelas menengah ke bawah di daerah-daerah sekitar Jakarta.
Bisa jadi, ini jadi cara Anies untuk menunjukkan bahwa kelompok-kelompok yang sebelumnya tidak memiliki akses ke kawasan tersebut akhirnya mendapatkan kesempatan yang sama. Nilai inilah yang mungkin juga berkaitan dengan kedatangan sejumlah perwakilan Uni Eropa di “catwalk” tersebut.
Pasalnya, nilai-nilai yang diungkapkan Anies dalam komentar-komentarnya tersebut sejalan dengan nilai-nilai yang disebut sebagai nilai-nilai Eropa (Europeanism).
Ini pun menjadi menarik. Apakah Anies kini tengah menampilkan diri sebagai seorang Europeanist dengan nilai-nilai Europeanism yang ditampilkannya? Belum lagi, Gubernur DKI Jakarta tersebut beberapa kali terlihat menjalin hubungan dan kerja sama yang dekat dengan Eropa.
Europeanism sendiri merupakan norma dan nilai yang diyakini dan dipegang oleh orang-orang Eropa. Proses munculnya Europeanism sendiri tidak begitu saja terjadi – melainkan melalui pembentukan identitas Eropa dengan sejarah panjang perang di benua tersebut.
Mengacu pada buku John McCormick yang berjudul Europeanism, nilai-nilai Eropa ini terejawantahkan melalui Abad Pencerahan (Enlightenment atau Renaissance) yang muncul setelah banyaknya peperangan yang terjadi di benua itu. Nilai-nilai seperti martabat (human dignity), hak asasi manusia (HAM), sekularisme, masyarakat kolektif (collective society), dan kesejahteraan masyarakat (Welfarism) akhirnya menjadi serangkaian nilai yang disebut sebagai Europeanism.
Peperangan yang terjadi sepanjang ratusan tahun di benua tersebut menciptakan dorongan agar nilai-nilai yang menjaga perdamaian bisa jadi panduan bagi Eropa. Salah satu gagasan yang mendorongnya berasal dari Immanuel Kant – seorang filsuf asal Jerman.
Kant yang mengusung konsep perdamaian abadi (perpetual peace) mendorong agar kehendak bebas (free will) dipegang sebagai nilai yang mengakhiri perang. Abad Pencerahan juga melahirkan para intelektual yang mengedepankan reason – menyebabkan agama mulai tergeser dan menciptakan identitas Eropa dibandingkan identitas Kristen.
Bukan tidak mungkin, identitas dan nilai Eropa ini akhirnya turut mempengaruhi Anies dalam membawa dirinya di publik serta dalam membuat kebijakan publik untuk Jakarta. Apalagi, untuk menjalin hubungan dengan entitas-entitas di Eropa, nilai-nilai ini bisa jadi penting dan krusial.
Pertanyaan lanjutan pun kemudian muncul. Mungkinkah Anies merupakan seorang Europeanist? Mengapa Anies perlu melibatkan nilai-nilai yang sejalan dengan Europeanism?
Anies, The ‘Distinct’ Politician?
Bukan tidak mungkin, Anies secara tidak langsung menerapkan apa yang disebut sebagai nilai-nilai Eropa. Entah sadar atau tidak, nilai-nilai Eropa ini juga turut tersebar ke berbagai negara dengan universalisasi nilai – khususnya melalui kolonialisme.
Mengacu pada McCormick, nilai-nilai Eropa ini turut terekspor ke berbagai belahan dunia lain – mulai dari Timur Tengah, Afrika, hingga negara-negara Asia seperti Tiongkok dan India.
Seperti yang disebutkan di atas, inklusivitas yang dijunjung Anies dalam fenomena Citayam Fashion Week bisa jadi sejalan dengan nilai yang disebut McCormick sebagai Welfarism dan collective society yang berfokus pada hasil yang setara (equal) bagi seluruh lapisan masyarakat.
Dengan mempersilakan anak-anak muda menengah ke bawah menikmati kawasan Dukuh Atas yang notabene identik dengan bisnis dan kelas menengah ke atas, Anies semacam memberikan kesetaraan akses kepada kelas sosial mana pun.
Selain itu, tidak dipungkiri bahwa Anies juga mendorong adanya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menjadi isu utama bagi Eropa saat ini. Soal tuntutan polusi udara, misalnya, pemerintahan Anies lebih dianggap terbuka soal kritik masyarakat daripada institusi pemerintahan lainnya.
Inipun sejalan dengan nilai sosio-kultural Eropa yang lebih mengedepankan ilmu pengetahuan (science). Sebagai politisi yang memiliki pengalaman panjang sebagai akademisi, Anies memiliki cara berpikir yang lebih sejalan dalam membangun kebijakan publik yang berbasis pada data dan bukti.
Terakhir, Anies kini juga tengah menjalin relasi dengan sektor finansial Eropa. Ini terlihat dari peran mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong – kini bekerja di bagian investasi Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta – yang memiliki koneksi yang luas di Eropa.
Citra Europeanist yang bukan tidak mungkin kini dibangun oleh Anies saat ini bisa jadi adalah strategi yang tengah dilakukannya. Bagaimana pun, mengacu pada tulisan Shawn W. Rosenberg, Shulamit Kahn, dan Thuy Tran yang berjudul Creating Political Image, citra yang dibangun oleh politisi penting untuk mempengaruhi preferensi pemilih.
Secara tidak langsung, Anies sedang membangun citra sebagai politisi yang sophisticated (mutakhir). Dengan identitas Europeanist, misalnya, sang Gubernur DKI Jakarta tampak lebih mutakhir – bila dibandingkan dengan politisi lain yang lebih suka membangun citra ‘sederhana’.
Presiden Joko Widodo (Jokowi), misalnya, lebih menonjolkan citra ‘sederhana’ dari dirinya sejak masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Tidak hanya Jokowi, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo juga menonjolkan sisi ‘sederhana’ dalam platform media sosial (medsos) dengan kerap menyapa warga.
Strategi untuk menjadi berbeda (distinct) ini secara tidak langsung mirip dengan strategi marketing (pemasaran) yang menonjolkan keunikan (uniqueness). Dengan menjadi unik, Anies akan menjadi sosok yang langka di pasar bursa calon presiden (capres) – katakanlah untuk tahun 2024 mendatang.
Namun, gambaran kemungkinan soal citra Europeanist ini bisa jadi masih menimbulkan pertanyaan. Bagaimana pun, nilai-nilai Eropa kerap ditampilkan sebagai kutub lawan bagi nilai-nilai Asia – seperti yang dijelaskan oleh Peter Bugge dalam tulisannya yang berjudul Asia and the Idea of Europe.
Meski begitu, tampilan distinct dari Anies ini bisa saja mengantarkan dirinya ke popularitas yang lebih bila masyarakat benar-benar – katakanlah – lelah dengan citra ‘sederhana’ ala banyak politisi. Mungkinkah inilah saat yang tepat bagi sosok politikus yang sophisticated yang dibutuhkan Indonesia? (A43)