Seri pemikiran Fareed Zakaria #19
Kemarin, Mensesneg Pratikno dikabarkan menyambangi kediaman Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj untuk menyerahkan naskah UU Ciptaker. Terasa semakin istimewa karena segmen organisasi Islam seolah menjadi yang perdana menerima salinan dan sosialisasi tersebut dibanding kalangan lainnya yang resisten seperti kelompok buruh atau mahasiswa. Lantas, apakah ihwal di baliknya?
Setelah tensi penolakan UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) tampaknya mulai mereda, pemerintah pusat mulai bermanuver untuk menyukseskan regulasi tersebut secara paripurna.
Yang terbaru, ahad kemarin Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno secara khusus menyambangi kediaman Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj untuk menyerahkan “eksemplar” UU Ciptaker yang telah dihaturkan DPR ke Istana pada 14 Oktober lalu.
Tak hanya NU, salinan tersebut juga diserahkan kepada Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhyiddin Junaidi serta Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Namun nama terakhir urung ditemui karena tengah berada di luar kota.
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin mengonfirmasi hal tersebut dan mengatakan bahwasanya apa yang dilakukan Mensesneg adalah pendelegasian langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Selain itu, lawatan Pratikno juga disebut sebagai bentuk sosialisasi serta menjaring masukan atas rencana kodifikasi aturan turunan Ciptaker, baik yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Presiden (Perpres).
Sebelumnya, PBNU dan Muhammadiyah memang telah menyatakan sikap penolakan atas substansi, proses perumusan, hingga pengesahan UU Ciptaker.
Meskipun terkesan terlambat karena baru secara aktif melakukan sosialisasi Ciptaker saat ini, langkah yang ditempuh Presiden Jokowi melalui Mensesneg tersebut tampak menampilkan gestur yang berbeda.
Seperti yang jamak publik tangkap, pemerintah – baik DPR maupun pemerintah pusat – sebelumnya dikatakan tak memberikan ruang dan nilai-nilai demokratis dalam penyusunan Omnibus Law Ciptaker.
Bahkan pemerintah disebut memanifestasikan apa yang oleh Fareed Zakaria sebut sebagai illiberal democracy atau demokrasi iliberal a.k.a. demokrasi semu.
Demokrasi iliberal sendiri terjadi saat pemerintahan suatu negara tetap melaksanakan metode-metode demokrasi seperti pemilu. Akan tetapi dalam praktiknya, kebebasan sipil terkekang dalam berbagai bentuk sehingga warga negaranya tidak mengetahui dan tidak dapat berpartisipasi dalam demokrasi positif dan tata kelola check and balance pemerintah yang seharusnya.
Kecenderungan demokrasi iliberal di Indonesia dikatakan oleh Rachael Diprose dalam tulisannya yang berjudul Two Decades of Reformasi in Indonesia: Its Illiberal Turn, tumbuh di samping agenda ekonomi pemerintah, yang semakin jelas di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
Ihwal tersebut juga seolah terafirmasi dalam sebuah tulisan di The Asia Pasific Journal yang berjudul The Illiberal Turn in Indonesian Democracy, di mana memberikan sampel penggubahan Omnibus Law Ciptaker sebagai bagian dari tendensi iliberal.
Plus, menjadi makin “sempurna” ketika partisipasi, nilai dasar, dan praktik demokratis tidak diakomodasi sepanjang penyusunan RUU Ciptaker yang kulminasinya adalah pengesahan regulasi sapu jagat itu pada 5 Oktober silam.
Dengan kecenderungan memanifestasikan demokrasi iliberal, termasuk dalam konteks UU Ciptaker, mengapa saat ini pemerintah justru mengupayakan praktik demokratis dengan melakukan sosialisasi “istimewa” seperti yang dilakukan Mensesneg? Dan mengapa pula keistimewaan tersebut tampak memprioritaskan segmen organisasi Islam, utamanya dengan eksistensi NU di dalamnya?
Sekali Iliberal, Tetap Iliberal?
Dalam publikasinya yang berjudul The Rise of Illiberal Democracy, Fareed Zakaria memulainya dengan sebuah kekhawatiran bahwa banyak pemerintahan demokratis seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lainnya mulai dari Eropa hingga Asia, memiliki kecenderungan mempraktikkan demokrasi iliberal.
Ini adalah praktik yang dilakukan pemerintah dengan beragam cara dalam membatasi atau menekan kebebasan sipil agar warga negara terputus dari pengetahuan situasional apapun dalam pemerintahan.
Kendati demikian, Zakaria menyebut bahwa dalam atmosfer demokrasi iliberal yang tengah berlangsung sendiri, pemerintah dapat melakukan upaya dan praktik yang seolah demokratis untuk mendapatkan legitimasi dan “kekuatan ekstra”.
Mengacu pada asumsi tersebut, jika memang kecenderungan demokrasi iliberal dalam tatanan politik dan pemerintahan Indonesia saat ini benar adanya, boleh jadi manuver Presiden Jokowi dengan mengutus seorang Mensesneg untuk menyerahkan naskah UU Ciptaker sekaligus menyosialisasikannya kepada segmen kelompok Islam merupakan upaya merengkuh legitimasi dan kekuatan jika berkaca pada resistensi regulasi sapu jagat itu sebelumnya.
Apalagi, Gustav Brown dalam Civic Islam: Muhammadiyah, NU and the Organisational Logic of Consensus-making in Indonesia mengatakan bahwa organisasi besar Islam seperti yang menjadi “misi Mensesneg” memainkan peran dan pengaruh penting dalam mereproduksi norma demokrasi atas keberpihakan atau tidaknya mereka pada komitmen dan kebijakan pemerintah.
Secara historis, sejak dekade 80 dan 90-an organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah dan NU secara progresif mengambil posisi bahwa mereka dapat dan harus bertindak sebagai pengawas institusional atas kekuasaan negara, plus sebagai sebuah platform yang efektif bagi kohesi sosial di antara masyarakat.
Transisi ke era reformasi semakin menegaskan posisi tersebut yang Brown katakan tercermin dari bagaimana prominennya peran kedua organisasi dalam sejumlah kebijakan negara yang menuai polemik masif dan luas seperti regulasi mengenai antipornografi hingga status hukum Ahmadiyah.
Artinya, relevansi dari organisasi Islam yang disebut Brown tersebut juga dinilai menjadi justifikasi tersendiri yang menambah relevansi upaya perengkuhan legitimasi dan kekuatan pemerintah, yang tampaknya telah dirumuskan sebelum Mensesneg Pratikno bertandang ke segmen organisasi Islam prominen pasca derajat resistensi UU Ciptaker sedikit mereda.
Menarik kemudian ketika secara spesifik perhatian difokuskan pada NU. Ya, kunjungan dari seorang dengan level menteri untuk melobi secara langsung sang Ketua Umum dalam konteks UU Ciptaker bukanlah yang pertama dalam dua pekan terakhir.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah melakukan hal serupa seperti Pratikno saat pekan lalu sowan ke kediaman Said Aqil untuk menjelaskan UU Ciptaker.
Lalu, apa yang dapat dimaknai dari langkah pemerintah tersebut pada konteks NU?
NU Dikhianati atau Tak Terwakilkan?
Selain dari signifikansi organisasi Islam dalam blantika politik dan pemerintahan, pemerintah yang terkesan harus repot-repot melakukan sosialisasi kepada segmen tersebut seolah menggambarkan salah satu hulu dari demokrasi iliberal itu sendiri.
Seperti sebuah hubungan kausalitas, kecenderungan demokrasi iliberal seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintah dalam hal ini juga pada akhirnya membutuhkan dukungan, legitimasi, dan kekuatan tersendiri dari kelompok tersebut, membuat serangkaian lobi memang harus dilakukan, wabil khusus kepada NU.
Anna Grzymala-Busse, ahli politik asal Stanford University mengatakan bahwa kegagalan partai politik (parpol) yang mana para politisinya cenderung korup, termasuk dalam hal keterwakilan, merupakan penyebab yang jelas dari kecenderungan fenomena iliberalisme dalam demokrasi saat ini.
Postulat dari Grzymala-Busse tersebut tampaknya menjadi cukup relevan selain untuk menjelaskan kecenderungan demokrasi iliberal pada konteks UU Ciptaker, juga dalam mendeskripsikan sebuah masalah keterwakilan.
Selain dinilai memang merupakan “kebutuhan” pemerintah, pendekatan kepada organisasi Islam terkait UU Ciptaker khususnya pada NU tampaknya juga dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk kegagalan parpol, terutama yang bernafaskan Islam dalam mewakili konstituennya.
Padahal jika melihat sejarahnya, NU dan konstelasi parpol di tanah air plus bagaimana hubungannya berpengaruh dalam politik dan pemerintahan, memiliki korelasi dua arah dan signifikansi yang tidak bisa dikatakan kecil.
Saifuddin Zuhri dalam Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia menyebut NU memiliki fase transformasi yang juga dapat menggambarkan bagaimana keterwakilan mereka dalam politik dan pemerintahan.
Mulai dari menjadi parpol independen, berfusi dengan Masyumi maupun PPP, hingga kembali ke cita-cita awal para pendirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan yang membatasi diri dari politik.
Meski begitu, keterkaitan serta keterwakilan NU dengan dan melalui parpol tampaknya tak lantas sirna sepenuhnya, apalagi ketika PKB terbentuk dan Gus Dur sebagai tokoh organisasi menjadi kepala negara di awal 2000-an.
Namun di era kekinian, “dukungan moral” kepada PKB dan Ma’ruf Amin pada pesta demokrasi 2019 lalu seolah bertepuk sebelah tangan saat penolakan NU terhadap UU Ciptaker tak terakomodir dan tampak menjadi titik balik bagi NU dan keterwakilannya secara politik dan pemerintahan.
Said Aqil bahkan sempat memberikan sentilan cukup telak menyikapi ketidakterwakilan dengan mengatakan bahwa suara rakyat dibutuhkan hanya saat sedang Pilkada, Pileg, ataupun Pilpres, namun ketika sudah selesai suara tersebut diabaikan.
Sebelum Mensenseg, “pendekatan” pertama yang dilakukan melalui Menaker Ida Fauziyah sendiri seolah buntu dan NU bergeming bahwa akan tetap melakukan menggugat UU Ciptaker ke Mahkamah Konstitusi (MK). Plus, justru mempertanyakan penjelasan yang tidak diusahakan pemerintah sebelum pengesahan regulasi tersebut.
Yang kemudian ihwal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah langkah Presiden Jokowi mengutus Mensesneg akan berhasil “meluluhkan” NU agar setidaknya membatalkan rencana judicial review ke Mahkamah Konstitusi? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.