HomeNalar PolitikCiptaker Asah Manajemen Konflik Jokowi?

Ciptaker Asah Manajemen Konflik Jokowi?

Reaksi pemerintah atas demonstrasi masif menolak UU Ciptaker di berbagai daerah tampaknya masih belum memberikan jalan penyelesaian terbaik bagi semua pihak. Lantas, ketika saat ini bola panas dinilai ada di tangan Presiden Jokowi, akankah ada solusi konstruktif yang diupayakan oleh kepala negara?


PinterPolitik.com

Massa dari berbagai elemen seantero negeri menepati janji mereka saat 8 Oktober lalu sebuah aksi demonstrasi serempak terlaksana di berbagai kota untuk menolak pengesahan regulasi sapu jagat Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker).

Tensi demonstrasi yang bahkan juga mendapat sorotan media internasional itu memang berbeda-beda di tiap wilayah. Namun tak sedikit aksi yang berujung dengan anarkisme maupun bentrok dengan aparat keamanan seperti yang terjadi di Jakarta, Lampung, Cirebon, Malang, Yogyakarta, Medan, hingga Makassar

Sayangnya, kericuhan tersebut seolah menambah variabel justifikasi pemerintah – yang notabene merupakan pengusul UU Ciptaker – untuk bersikukuh mempertahankan regulasi sapu jagat tersebut.

Pemerintah juga kemudian bereaksi dengan menuding terdapat aktor intelektual ataupun elite di balik aksi penolakan UU Ciptaker.

Reaksi itu diawali oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto yang kemudian tampak diafirmasi kemarin lusa oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang akan menindak tegas aksi melawan hukum dalam protes Ciptaker.

Dan terlepas dari konteksnya, reaksi dua Menko tersebut juga seolah menjadi benteng bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memang sedang “absen” saat demo di Ibu Kota mengarah langsung ke Istana.

Namun pertanyaannya, mengapa dengan serangkaian aksi massa yang cukup masif di berbagai wilayah di tanah air tetap membuat pemerintah bergeming terhadap substansi tuntutan UU Ciptaker, khususnya terkait minimnya pelibatan publik dengan reaksi yang ditunjukkan oleh dua Menko tersebut? Dan apakah resistensi terhadap UU Ciptaker ini nantinya akan berlangsung alot dan berkepanjangan?

Nothing to Lose: Rakyat vs Penguasa

Aksi demonstrasi Kamis pekan ini nyatanya bukanlah yang pertama dalam menyuarakan penolakan UU Ciptaker. Paling tidak sejak Omnibus Law Ciptaker mengemuka dan proses legislasi di parlemen dimulai pertama kali pada akhir 2019 lalu, terdapat serangkaian protes cukup besar dari berbagai elemen massa yang terjadi di bulan Januari, Februari, Maret, Juli, hingga Agustus lalu.

Namun, sepanjang itu pula aspirasi pihak-pihak yang tak bersepakat atas keberadaan regulasi itu tampak selalu menemui jalan buntu, yang puncaknya ketika pada awal pekan ini RUU Ciptaker akhirnya disahkan parlemen.

Gloria Jimenez-Moya dan Russell Spears dalam By Any Means Necessary? When and Why Low Group Identification Paradoxically Predicts Radical Collective Action menyebutkan dua faktor psikologis yang determinan atas aksi kolektif di mana klimaksnya ialah eksistensi mindset atau paradigma nothing to lose (siap mengambil risiko apapun) dalam sebuah aksi protes atau demonstrasi.

Baca juga :  Haji Isam: Yury Kovalchuk-nya Prabowo?

Pertama, terkait dengan despair atau rasa putus asa mendalam dan helplessness atau ketidakberdayaan yang tak tersentuh. Kedua, adanya basis keyakinan atau preseden kolektif dengan latar belakang tertentu bahwa suara protes akan cukup sulit untuk didengar dan diakomodir.

Keputusasaan, helplessness, serta preseden tak digubrisnya serangkaian protes yang sebelumnya telah diupayakan oleh para pihak yang secara kolektif merasa penghidupannya terancam oleh UU Ciptaker, menjadikan mereka tampaknya saat ini telah mengakuisisi mindset nothing to lose dalam perjuangan demi mencapai tujuannya.

Belum lagi faktor dampak sosial ekonomi dari pandemi Covid-19 yang dinilai semakin memperkuat mindset tersebut dan sejauh ini terartikulasikan pada aksi masif dan serempak di beberapa kota yang dilakukan di tengah pandemi, termasuk residu destruktifnya seperti friksi dengan aparat keamanan maupun sejumlah aksi anarkisme.

Di kubu “seberang” yakni pemerintah, mindset nothing to lose sayangnya telah terlebih dahulu dianut pada konteks UU Ciptaker. Pasca dilantik untuk kedua kalinya, Presiden Jokowi bersumpah bahwa dirinya akan melakukan reformasi besar-besaran untuk mengakselerasi investasi.

Mantan Wali Kota Solo menyebut secara eksplisit bahwa di periode pamungkasnya mengampu RI-1, dirinya tak lagi memiliki beban dan “nothing to lose” untuk mengartikulasikan sumpahnya tersebut, yang kemudian kini terbukti pada pengejawantahan Omnibus Law Ciptaker di mana tak butuh waktu lama lagi untuk memiliki kekuatan hukum mengikat.

Di kubu pemerintah, ihwal inilah yang tampaknya menjadi pangkal dari reaksi anak buah Presiden Jokowi yang seolah bergeming atas substansi protes masif 8 Oktober kemarin lusa, sekaligus meninggalkan impresi bahwa UU Ciptaker akan tetap dipertahankan.

Tinggal pertanyaannya apakah kontradiksi mindset nothing to lose yang ada antara pihak yang menolak UU Ciptaker dan Presiden Jokowi saat ini akan membuat tarik menarik ini akan terus berjalan alot dan berlarut atau justru akan menguap begitu saja kelak?

Karena jika mengacu pada aksi massa atas revisi UU KPK sebelumnya, hingar bingar protes seolah meredup dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Tentu hal ini tak diinginkan oleh mereka yang selama ini memperjuangkan penolakan terhadap UU Ciptaker.

Lantas dengan kecenderungan tersebut, apakah Presiden Jokowi memang tak harus repot-repot bereaksi lebih jauh untuk merespon resistensi masif terhadap UU Ciptaker?

Jokowi Wajib Rekonsiliasi?

Kalkulasi sedemikian rupa terkait berbagai benefit dan konsekuensi dinilai telah dilakukan Presiden Jokowi dan pemerintah saat memproyeksikan UU Ciptaker, termasuk adanya resistensi dari publik plus seperti apa intensitasnya.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Dan secara politis, Presiden Jokowi saat ini hampir mustahil untuk tidak menandatangani UU Ciptaker yang diusulkannya sendiri ke DPR, yang artinya, regulasi kontroversial tersebut memang bisa dikatakan tinggal menunggu tanggal mainnya untuk berlaku.

Kendati demikian, jika berkaca pada berbagai narasi yang ada saat ini termasuk protes yang berujung dengan anarkisme di sejumlah kota, skenario terburuk tetap harus menjadi bagian dari perhitungan meskipun opsinya bukan untuk menganulir regulasi tersebut.

Dalam Conflict, Social Change and Conflict Resolution: An Enquiry, Christopher R. Mitchell menyodorkan opsi reconcile atau rekonsiliasi sebagai sebuah penyelesaian pada tahap pamungkas dari sebuah friksi maupun konflik yang terjadi.

Rekonsiliasi inilah yang dinilai tepat untuk dilakukan Presiden Jokowi dalam mengakomodasi resistensi publik atas UU Ciptaker, yang Mitchell sebut berfungsi sebagai bentuk “rangkulan” yang konstruktif terhadap pihak yang berseberangan, termasuk secara psikologis.

Pertama, Presiden Jokowi dinilai harus segera mendesak parlemen agar segera menetapkan naskah final UU Ciptaker yang masih jamak diperdebatkan eksistensi dan keabsahan definitnya.

Tentu untuk menghindari interpretasi tak tepat yang dapat berujung hoaks dan membuka peluang bagi konsekuensi minor lebih lanjut yang tidak diinginkan.

Kedua, meski arena diskusi disebut sudah tak berarti lagi, Presiden Jokowi dinilai masih dapat membuka ruang komunikasi dua arah yang kondusif bagi publik secara luas untuk bersama pemerintah memahami dengan saksama esensi dan benefit dari UU Ciptaker bagi kemaslahatan bersama.

Ketiga, kepala negara juga semestinya tak membiarkan anak buahnya melanjutkan narasi-narasi spekulatif “tanggung” yang tak lantas dibuktikan seperti apa yang disampaikan oleh Airlangga Hartarto dan Mahfud MD yang justru dinilai memperkeruh suasana psikologis mereka yang menolak UU Ciptaker.

Bagaimanapun, rekonsiliasi tersebut tampaknya memang harus dilakukan Presiden Jokowi sebagai langkah terbaik dalam merespons resistensi. Tidak hanya untuk meredam gejolak massa, rekonsiliasi juga berguna untuk membentuk sinergi positif dari setiap elemen bangsa, yang mana ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan pandemi Covid-19.

Paling tidak dalam konferensi pers terbarunya, Presiden Jokowi sudah mengawali gelagat rekonsiliasi tersebut dengan menyatakan bahwa UU Ciptaker akan memerlukan banyak sekali Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres). Eks Gubernur DKI Jakarta itu menambahkan, pemerintah terus terbuka atas masukan dan usulan dari masyarakat dan daerah.

Lalu, akankah Presiden Jokowi terus merespon resistensi ini dengan baik sehingga UU Ciptaker kelak dapat diterima oleh semua pihak? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?