Demonstrasi buruh di berbagai daerah di Indonesia mewarnai Hari Buruh sehari yang lalu. Terkait peringatan hari tersebut, masing-masing capres, Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto, juga melakukan manuver-manuver politik terkait kelompok buruh.
PinterPolitik.com
“Wish you would learn to love people and use things, and not the other way around,” – Drake, penyanyi rap asal Kanada
[dropcap]J[/dropcap]elang Hari Buruh 2019, Jokowi melakukan kunjungan ke salah satu pabrik sepatu di Cikupa, Tangerang, Banten. Bersama para buruh yang biasa memproduksi sepatu-sepatu bermerek Nike tersebut, mantan Wali Kota Solo itu menyantap makan siang berupa nasi, sup ayam, telur rebus, tempe sambal dan buah salak.
Selain itu, Presiden Jokowi melakukan pertemuan dengan pemimpin dari berbagai organisasi buruh di Istana Bogor pada Jumat, 26 April 2019 lalu. Pertemuan tersebut juga berisi pengabulan tiga permintaan buruh, yaitu revisi secepatnya Peraturan Pemerintahan (PP) No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, pengadaan tempat penitipan bayi dan balita bagi pekerja wanita, serta penyediaan posko pengaduan buruh di kantor-kantor Polda.
Beberapa pihak menyebutkan bahwa pengabulan permintaan revisi pengupahan oleh Jokowi tersebut bisa jadi merupakan tindakan yang sangat politis. Salah satu organisasi buruh sebelumnya yang telah memiliki kontrak politik Sepultura (Sepuluh Tuntutan Buruh dan Rakyat) dengan Prabowo, yakni Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), pernah mengekspresikan kekecewaannya terhadap pemerintahan Jokowi yang enggan mempertimbangkan permintaan revisi tersebut. Akibatntya, organisasi buruh tersebut mendeklarasikan dukungan pada Prabowo pada tahun 2018.
(1/5) Detik detik kedatangan Bpk @prabowo dlm #MayDay2019 @KspiCitu di Tennis Indoor Senayan @m_mirah @fadlizon @Dahnilanzar @sandiuno pic.twitter.com/SkyZ4Vblf3
— #MayDay2019 (@FSPMI_KSPI) May 1, 2019
Pada peringatan Hari Buruh tahun ini, kehadiran Prabowo di Lapangan Tennis Indoor Senayan disambut gembira oleh para buruh dan KSPI. Dalam kegiatan tersebut, mantan Danjen Kopassus itu mempertanyakan nasib buruh dan rakyat yang sering kali diperlakukan layaknya kambing.
Dalam kegiatan yang sama, Ketua Majelis Nasional KSPI Didi Supriadi meminta para buruh untuk menghadiri pelantikan anggota-anggota legislatif yang berasal dari kalangan buruh. Didi juga meminta para buruh untuk mempersiapkan pelantikan Prabowo sebagai presiden baru.
Melihat manuver-manuver politik kedua capres tersebut, kelompok buruh pun bisa jadi dianggap penting. Namun, mengapa kelompok buruh memberi dukungan politik pada pihak tertentu dalam Pemilu 2019?
Keluhan Buruh
Kelompok buruh sendiri sering kali menggunakan gerakan sosial sebagai upaya untuk memenuhi kepentingannya. Dasar dari gerakan-gerakan sosial buruh ini berasal dari berbagai keluhan dan ketidakpuasan terhadap kondisi yang dihadapi oleh kelompoknya.
Profesor sosilogi Karl-Dieter Opp dari Jerman dalam tulisannya yang berjudul “Grievances and Participation in Social Movements” menjelaskan bahwa keluhan dan ketidakpuasan dapat menjadi insentif bagi partisipasi dalam gerakan sosial. Selain itu, keluhan dan ketidakpuasan dalam gerakan sosial juga dapat meningkatkan partisipasi kelompok dalam politik, seperti dukungan politik dalam Pemilu.
E. A. Ramaswamy dari University of Delhi dalam tulisannya yang berjudul “Trade Unions and Politics” menjelaskan bahwa dorongan organisasi-organisasi buruh untuk berafiliasi dalam politik merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Bahkan, arah dukungan politik kelompok buruh ini dianggap sebagai hal yang penting bagi demokrasi.
Afiliasi politik menjadi cara bagi kelompok-kelompok buruh untuk menyalurkan pengaruhnya pada isu-isu ekonomi dan politik. Dengan begitu, kepentingan para buruh dapat lebih terakomodasi – mengingat aksi protes dan demonstrasi sendiri tidak dapat menyelesaikan seluruh persoalan buruh.
Lalu, apa keluhan kelompok buruh di Indonesia? Apakah keluhan tersebut juga disalurkan dalam bentuk afiliasi dan dukungan politik?
Jika kita melihat berbagai penjelasan dari literatur di atas, kelompok dan gerakan buruh di Indonesia bisa jadi juga didorong atas keluhan dan ketidakpuasan akan kondisi yang ada. Keluhan dan ketidakpuasan ini membuat beberapa kelompok, seperti KSPI, melakukan tindakan politik dengan mendukung salah satu kandidat dalam Pilpres 2019.
Afiliasi politik menjadi cara bagi kelompok-kelompok buruh untuk menyalurkan pengaruhnya pada isu-isu ekonomi dan politik. Share on XSalah satu ketidakpuasan kelompok buruh di Indonesia adalah diberlakukannya PP No. 78 Tahun 2015. Akibatnya, berbagai organisasi buruh melakukan protes sejak tahun 2015 guna mendorong pencabutan PP tersebut yang dianggap tidak mewakili suara para buruh.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam situsnya juga memaparkan lima latar belakang utama yang menyebabkan PP tersebut tidak representatif bagi kelompok buruh, yaitu tidak dilibatkannya serikat pekerja dalam proses kenaikan upah minimum, rendahnya upah minimum Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa negara Asia lain, terlalu diuntungkannya pihak pengusaha, anggapan bahwa PP tersebut bertentangan dengan konstitusi, serta ketidaksesuaian PP tersebut dengan kondisi buruh saat ini.
Keluhan besar yang dianggap telah lama diabaikan oleh pemerintahan Jokowi nampaknya dapat diakomodasi oleh janji Prabowo melalui kontrak politik Sepultura yang mendorong revisi terhadap PP tersebut. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan bahwa dukungan dan kontrak politiknya dengan Prabowo merupakan upaya organisasinya untuk memperjuangkan kepentingan buruh.
Jika memang kepentingan buruh sebelumnya diabaikan oleh pemerintah, sehingga akhirnya kelompok tersebut memberi dukungan ke Prabowo, mengapa Jokowi akhirnya mengabulkan permintaan kelompok buruh pada waktu pasca Pemilu 2019 – mengingat permintaan ini sudah diusulkan sejak tahun 2015? Seberapa besarkah pengaruh yang dimiliki kelompok buruh dalam perpolitikan Indonesia?
Buruh Bisa Gerakkan People Power?
Dukungan politik kelompok buruh memang berpengaruh dalam kontestasi politik. Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, kelompok ini juga sering memengaruhi pemerintah untuk mengambil keputusan. Bahkan, suara buruh dapat menjadi salah satu faktor pendorong kemenangan di Pemilu.
Di Amerika Serikat (AS) misalnya, Donald Trump sering kali menyampaikan retorika-retorika yang menarik bagi kelompok buruh dalam kampanyenya pada tahun 2016. Retorika yang dikeluarkan Trump selalu mengungkit perjanjian perdagangan internasional yang mengancam keberadaan pekerjaan bagi masyarakat AS. Selain itu, mantan bintang program televisi The Apprentice tersebut juga mengkritik peraturan-peraturan yang meminggirkan kelompok buruh di AS.
Koneksi kedekatan antara Trump dengan para buruh pun terbangun melalui retorika-retorika tersebut. Akibatnya, banyak anggota-anggota kelompok buruh lebih memilih Trump dalam Pemilu 2016, meskipun pemimpin-pemimpin organisasi tersebut lebih mendukung Hillary Clinton.
Jika melihat kemenangan Trump, buruh disebut-sebut sebagai salah satu kunci kemenangannya. Lalu, apakah kelompok buruh Indonesia juga memiliki pengaruh yang besar?
Pada era kepemimpinan Soekarno, berbagai gerakan dan organisasi buruh mengisi panggung publik Indonesia. Hal ini terlihat dari lahirnya organisasi-organisasi buruh yang juga dianggap penting secara internasional macam Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) dan Gabungan Serikat Buruh Islam (Gasbiindo) yang mendirikan Konfederasi Buruh Independen Dunia (ICFTU), serta Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang turut mendirikan Federasi Serikat Buruh Dunia (WTFU).
Namun, gerakan-gerakan buruh semakin tenggelam di bawah Orde Baru. Hal ini terjadi akibat kebijakan-kebijakan represif Presiden Soeharto.
Di era reformasi, kelompok buruh kembali mendapatkan ruang gerak dan berhasil menyuarakan pentingnya jaminan kesehatan bagi para pekerja. Pengamat perburuhan dari Universitas Airlangga (UNAIR), Hadi Subhan, menjelaskan bahwa keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan kebijakan dari gerakan buruh yang akhirnya menjadi bermanfaat bagi masyarakat luas.
Selain itu, besarnya jumlah tenaga kerja berstatus buruh juga membantu besarnya pengaruh kelompok ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2017, pemegang status buruh, karyawan, atau pegawai menempati porsi terbesar, yaitu sekitar 30,08 persen dari 131,55 juta pekerja – kurang lebih berjumlah 39,57 juta pekerja.
Jika memang kelompok buruh memiliki kekuatan yang cukup besar guna memengaruhi pemerintahan, bagaimanakah posisi kelompok ini dalam kontestasi politik Pemilu dan pasca-Pemilu?
Hampir sama dengan Trump, Prabowo juga sering menggunakan retorika ancaman dalam kampanyenya. Salah satunya adalah adanya ancaman dari tenaga kerja asing yang dianggap dapat mengambil lapangan pekerjaan tenaga kerja Indonesia sendiri.
Prabowo juga menggunakan retorika-retorika yang memainkan emosi kelompok buruh setelah pemungutan suara telah dilakukan. Dalam pidatonya di Hari Buruh 2019, Prabowo pun menyebutkan kata “kambing” untuk menggambarkan nasib buruh yang tidak didengar oleh pemerintah dan pengusaha. Hal ini menggambarkan posisi buruh yang terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah.
Bisa jadi, retorika pro-buruh yang dikeluarkan oleh Prabowo memiliki kaitan dengan isu people power yang digaung-gaungkan guna mengatasi dugaan kecurangan Pemilu 2019. Dalam tulisannya yang berjudul “Pathos: Rhetoric and Emotion”, James L. Kastely menjelaskan bahwa retorika yang memiliki unsur emosi logis dapat menggerakkan individu-individu.
Selain itu, upaya Jokowi untuk mendekati kembali kelompok buruh – makan siang bersama dan pengabulan tuntutan buruh – bisa jadi bertujuan untuk meredam gerakan kelompok buruh yang berada di belakang Prabowo. Dengan begitu, dorongan kelompok buruh untuk terlibat dalam people power mungkin dapat diminimalisir.
Pada akhirnya, mungkin benar apa yang dikatakan rapper Drake di awal tulisan. Seharusnya, kelompok buruh perlu benar-benar menjadi perhatian secara kontinu, bukan hanya digunakan pada saat tertentu untuk memperoleh keuntungan politis. Lagi pula, siapa yang tidak marah apabila hanya dimanfaatkan, bukan begitu? (A43)