Site icon PinterPolitik.com

ChatGPT dan Ancaman Technophobia

chatgpt dan ancaman technophobia

Ilustrasi ChatGPT (Foto: ilustrasi OpenAI/Tribun)

Perkembangan teknologi artificial intelligence (AI) belakangan ini jadi sumber ketakutan para pekerja dunia. Teknologi canggih tersebut digadangkan akan merenggut banyak peran pekerja dalam tahun-tahun mendatang. Tapi, apakah ketakutan semacam ini bisa dijustifikasi? 


PinterPolitik.com 

Yayasan organisasi non-profit internasional, World Economic Forum (WEF) menjalankan pertemuan tahunan mereka pada akhir Januari kemarin. Forum yang diisi para ekonom dan pemangku kepentingan negara-negara dunia tersebut membahas satu topik yang cukup menarik, yakni dampak perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence (AI)) terhadap kinerja berbagai industri dalam waktu dekat. 

Salah satu pernyataan menarik yang mereka sampaikan dalam laporan mereka yang berjudul The Global Risks Report 2023, adalah bahwa akan ada 14 juta pekerjaan yang hilang dari semua industri dalam 5 tahun mendatang. Dari angka tersebut, industri yang akan paling banyak mengalami perubahan peran pekerjaan adalah industri media yakni 32 persen, sementara itu disusul dengan industri IT serta pemerintahan sebanyak 29 persen. 

Semua itu mereka nilai adalah dampak langsung dari semakin berpengaruhnya peran AI dalam dunia pekerjaan. Setiap harinya semakin banyak jenis pekerjaan yang dianggap para perusahaan akan lebih efektif bila dikerjakan oleh AI. Oleh karena itu, WEF menyarankan pada generasi muda agar bisa mengasah skill baru jika mereka tidak ingin tertinggal transformasi dunia kerja. 

Yess, secara sekilas apa yang diprediksi WEF memang terdengar cukup realistis, karena jujur saja, dalam beberapa waktu terakhir, utamanya setelah munculnya hal seperti ChatGPT, kekhawatiran publik terhadap AI sebagai “pengganti” peran manusia semakin memuncak. Jujur saja, topik ini pun mungkin pernah terlintas ketika kalian berbincang dengan anggota keluarga kalian saat makan malam, atau bersantai. 

Meski demikian, sepertinya masih jarang ada yang berusaha membuktikan apakah kekhawatiran semacam itu memang benar akan terjadi atau tidak. Hanya karena kita merasa demikian, bukan berarti itu akan benar-benar terwujud, bukan? 

Lantas, mungkinkah kekhawatiran akan ancaman AI ini sebenarnya hanya sebuah sesuatu yang dilebih-lebihkan? Dan bila iya, mengapa? 

Teknologi Justru Ciptakan Peluang Baru? 

Bagaimana nasib pekerjaanku di masa depan? Apakah aku akan menganggur karena pekerjaanku menjadi tidak ada akibat teknologi? Kurang lebih mungkin seperti itu kekhawatiran yang muncul di benak orang-orang setelah sering disuguhi berita bahwa perkembangan AI saat ini bisa menggantikan sejumlah pekerjaan orang-orang. 

Tapi, apakah benar jika kita melihat AI hanya sebagai “penghancur pekerjaan”? 

Well, Jean Vilbert dalam tulisannya Technology Creates More Jobs Than It Destroys, menilai bahwa sebenarnya mungkin kita tidak perlu terlalu khawatir tentang paranoia seputar AI tersebut. Vilbert menyebutkan, walaupun memang benar perkembangan teknologi akan mengikis pekerjaan yang ada secara sedikit demi sedikit, tapi dampak teknologi dalam menciptakan pekerjaan baru selalu lebih besar. 

Sebagai contoh, hal yang bisa kita rasakan sendiri mungkin adalah terkait jasa transportasi. Sebelum adanya layanan online dari perusahaan seperti Gojek, Grab, dan Shopee, mungkin pekerjaan yang berkaitan dengan jasa seorang pemotor hanya ojek saja. Tapi, setelah munculnya perusahaan-perusahaan tadi, ojek pun berkembang menjadi beragam bentuk, ada yang fokus mengantar makanan, mengirimkan barang, dan berbagai jasa lainnya. Padahal, sebelum adanya para e-commerce besar, jasa yang berkaitan dengan ojek mungkin hanya antar jemput saja.  

Fenomena serupa juga dicontohkan Vilbert dalam bentuk pekerjaan seperti manajer media sosial, digital marketer, dan bahkan pembuat konten YouTube. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini mungkin justru sama sekali tidak terbayangkan oleh orang-orang yang hidup pada tahun 1950-an ke bawah. Ini artinya, kita terlalu naif bila hanya fokus melihat dampak buruk dari disrupsi teknologi pada dunia pekerjaan semata. 

Terlebih lagi, Guy Michaels dalam tulisannya Robots at Work mengungkapkan bahwa belum cukup banyak studi empiris yang bisa membuktikan gagasan bahwa otomatisasi akan menyebabkan meluasnya pengangguran.  

Michaels mencontohkan studi yang dikutipnya pada tahun 2015, yang meneliti dampak robot industri di 17 negara antara tahun 1993 dan 2007. Dalam studi tersebut, ditemukan bahwa tidak ada pengurangan pekerjaan secara keseluruhan yang disebabkan oleh robot, bahkan mereka justru menemukan ada sedikit peningkatan upah keseluruhan dari industri-industri yang diteliti. 

Dari pembahasan di atas mungkin kita juga perlu berefleksi pada teori creative destruction atau kehancuran destruktif yang dikemukakan eks-Menteri Keuangan Austria, Joseph Schumpeter. Teori ini menggambarkan disrupsi yang terjadi dalam dunia industri, yang awalnya mungkin terlihat menghancurkan tatanan yang ada, tapi sebenarnya justru disrupsi semacam itu mampu memberi jalan bagi metode produksi yang lebih baik. 

Creative destruction ini tentu juga berlaku pada peran para pekerja dalam industri. Inovasi baru seharusnya bisa menjadikan para pekerja tidak lagi perlu melakukan pekerjaan yang repetitif dan berat, sehingga mereka akhirnya bisa dialihkan untuk pekerjaan yang sifatnya lebih manajerial.  

Dalam prosesnya, tentu akan ada penyesuaian skill yang diperlukan, dan di sinilah mungkin hal yang seharusnya kita kritisi. Sebagai contoh, pemerintah sebagai entitas yang bisa mengatur perusahaan harus menjamin agar para perusahaan yang sedang melakukan peralihan teknologi bisa membuat para pekerjanya mendapatkan skill baru untuk mengoperasikan alat-alat canggihnya. Yap, persoalan ini sebetulnya adalah pekerjaan rumah (PR) para politisi kita. 

Namun, tidak dipungkiri bahwa ketakutan publik terhadap perkembangan teknologi adalah sesuatu yang memang benar-benar hadir di sekitar kita. Lantas, apakah ketakutan kita pada AI sebagai penggeser pekerjaan manusia masih bisa dijustifikasi? 

Hanya Salah Satu Wujud Technophobia? 

Kekhawatiran manusia pada kemajuan teknologi sepertinya telah menjadi salah satu bentuk ketakutan yang paling “klasik”. Beberapa dekade lalu, misalnya, ketakutan tersebut diwujudkan dalam bentuk film box office, Terminator, yang menceritakan bagaimana teknologi robot dan komputer bisa mengambil alih dominasi dunia bila manusia tidak berhati-hati. 

Pada masa itu, tepatnya tahun 1980-an, dunia memang sedang disuguhkan perkembangan teknologi komputer yang begitu pesat, maka, wajar saja bila masa depan perkembangan teknologi komputer yang masih belum terbayang mampu menjadi plot film thriller yang terkenal. 

Namun, di sini kita bisa ambil pelajaran, sekaligus mempertanyakan, kenapa kemajuan teknologi yang seharusnya disambut dengan antusiasme kerap menjadi sumber ketakutan masyarakat? 

Well, ternyata fenomena semacam ini kerap diteliti, dan bahkan diberi istilah technophobia, yang kerap diartikan sebagai rasa takut manusia yang berlebihan pada perkembangan teknologi.   

Technophobia sendiri awalnya mendapat perhatian sebagai sebuah fenomena sosial ketika Revolusi Industri dimulai di Inggris. Dengan penggunaan mesin-mesin baru yang mampu membuat seorang pekerja tidak berpengalaman menghasilkan karya yang sebelumnya membutuhkan kemampuan tinggi, mereka yang merasa terancam akhirnya menyebarkan rasa takut pada serikat-serikat pekerja dengan harapan perusahaannya menghentikan pengoperasian teknologi baru tersebut.  

Namun, melihat perkembangannya, di mana pekerjaan yang tergantikan oleh mesin pada masa itu juga digantikan oleh posisi-posisi baru dalam perusahaan, stigma negatif yang begitu besar terhadap perkembangan teknologi justru sebenarnya lebih diakibatkan oleh histeria massal. 

Ed Day, sosiolog dari Chapman University, menilai fenomena technophobia ini bisa terjadi karena “ulah” naluri dasar manusia. Meski kita adalah spesies yang kerap berinovasi, manusia akan selalu menaruh rasa curiga yang tinggi pada sesuatu yang baru, terlebih lagi bila sesuatu tersebut memiliki potensi tidak hanya berfungsi sebagai sesuatu yang baik, tapi bisa juga jadi sesuatu yang berbahaya. Hal ini sudah menjadi semacam alarm alami bagi kita. 

Naluri dasar inilah yang sebenarnya membuat manusia mampu bertahan selama ribuan tahun, karena kita bisa menjauhi bahaya sebelum bahaya itu terwujudkan. Akan tetapi, di sisi negatifnya, Ed menilai hal ini juga kerap jadi penghambat manusia mengembangkan dan menerapkan teknologi baru dari setiap inovasi yang dihasilkan. Padahal, sejatinya teknologi sudah pasti ditujukan untuk membuat kehidupan kita lebih mudah. 

Terkait ancaman AI pada dunia pekerjaan, sebuah laporan dari Dell Technologies mengungkapkan bahwa setidaknya 85 persen pekerjaan yang diperkirakan akan ada pada tahun 2030 ternyata sebetulnya belum diaplikasikan secara operasional hingga sekarang. Singkatnya, pekerjaan yang digemborkan oleh instansi seperti WEF misalnya, masih berupa hal yang mayoritas bersifat prototipe, dan hanya sedang dalam proses “on the way”, belum benar-benar bisa diaplikasikan para perusahaan secara efektif. 

Akhir kata, dari pemaparan ini, mungkin kita bisa ambil kesimpulan bahwa teror tentang teknologi baru AI yang digadangkan akan menggeser para pekerja manusia untuk sekarang hanyalah bentuk histeria massal belaka. Memang, perkembangan teknologi sudah pasti akan menciptakan disrupsi, tapi hal itu pun tidak akan terjadi secara mendadak dan masif. 

Sementara ini, wacana-wacana menyeramkan terkait teknologi, seperti yang digambarkan film-film Terminator sepertinya hanya akan menjadi kepingan fiktif semata. (D74) 

Exit mobile version