Nama CT menjadi tokoh yang paling hangat diperbincangkan. Setelah sebelumnya banyak yang menyoroti kemungkinannya berpasangan dengan Jokowi, kini bos CT Corp itu dihubung-hubungkan sebagai calon sidekick untuk Prabowo Subianto.
PinterPolitik.com
“Sangat cocok (dengan Prabowo). Saya sampaikan juga Pak CT ini unik karena bisa bicara ekonomi mikro, bisa bicara persatuan mengenai kebersamaan. Beliau dipandang oleh teman-teman yang bergabung di kemitraan kita.” – Sandiaga Uno
[dropcap]D[/dropcap]i balik para pemimpin besar dan hebat sepanjang sejarah, selalu ada tokoh kedua yang menjadi pelengkap, atau setidaknya menjadi pendukung dan penyokong kebesaran sang pemimpin tersebut.
Hal itu telah dibuktikan sejak zaman kuno melalui jenderal-jenderal besarnya, mulai dari Scipio Africanus di balik kejayaan ayahnya, Publius Cornelius Scipio saat menjadi konsul Republik Romawi, hingga Marcus Antonius di balik kejayaan Julius Caesar.
Konsep tentang “orang kedua” ini – sering juga disebut “wakil”, atau istilah lain yang sejenis – juga menjadi saksi kejayaan kerajaan besar di Nusantara, seperti yang terjadi pada hubungan Gadjah Mada dan Hayam Wuruk pada puncak kejayaan Kerajaan Majapahit.
Konsep ini juga yang melahirkan kisah-kisah hebat macam Batman dan Robin, Sponge Bob dan Patrick, hingga acara-acara TV zaman now macam Late Night Show dengan Jimmy Fallon dan Steve Higgins, atau Conan O’Brien dan Andy Richter.
Kini, perbincangan tentang istilah yang juga sering disebut sidekick atau partner itu nyatanya juga mewarnai panggung politik Indonesia menjelang Pilpres 2019. Dan sosok pendamping yang sedang hangat diperbincangkan – dan bahkan juga mungkin diperebutkan – adalah Chairul Tanjung (CT), pemilik kerajaan bisnis CT Corp.
Lebih baik bagi Prabowo menggandeng CT sebagai Cawapresnya drpd membiarkan @Gerindra di akuisisi Gatot https://t.co/eKhmL3mHRW
— PS (@PartaiSocmed) June 20, 2018
Pasalnya, CT muncul ke permukaan di tengah “kegalauan” Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan calon lawannya Prabowo Subianto untuk menentukan pendamping atau cawapres yang tepat menjelang Pilpres 2019.
Sebelumnya, CT disebut-sebut sebagai “jembatan emas” untuk terbentuknya koalisi PDIP dan Partai Demokrat – dua partai yang punya sejarah hubungan politik yang kurang baik. Bukan rahasia lagi jika CT memang menjadi salah satu nama yang paling mungkin disodorkan oleh Partai Demokrat sebagai kandidat capres maupun cawapres.
Namun, belakangan CT justru santer diberitakan menjadi pasangan yang dipertimbangkan untuk mendampingi Prabowo Subianto. Hal ini terutama pasca safari politik bertajuk “Silaturahmi Idul Fitri” yang dilakukan oleh Ketua Tim Pemenangan Pemilu Partai Gerindra, sekaligus pemilik jurus “Bangau Sakti”, Sandiaga Uno.
Wakil Gubernur DKI Jakarta itu sempat menyebut CT sebagai pasangan yang sangat cocok untuk Prabowo, bahkan komunikasi yang intens tengah dijalin dengan Demokrat dengan embel-embel “menegakkan Pasal 33 UUD 1945” dan tajuk mencari jalan tengah koalisi partai dua jenderal itu. Namun, klaim sepihak ini dibantah oleh Demokrat yang menyebut partai pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu belum menyatakan bergabung dengan kubu Prabowo.
Aksi Gerindra ini tentu menimbulkan pertanyaan, mengapa partai berlogo kepala burung itu terlihat “ngebet” untuk memasangkan Prabowo dengan CT?
Gerindra-Demokrat, Koalisi Super Power
Super power! Mungkin itu adalah kata yang cocok untuk menggambarkan keadaan jika koalisi Gerindra-Demokrat benar-benar terjadi. Apalagi, jika CT-lah yang dipilih menjadi cawapres untuk Prabowo.
Koalisi ini bukan hanya mampu melampaui target presidential threshold 20 persen, mengingat Gerindra telah mempunyai 11,81 persen kursi di DPR ditambah 10,19 persen kursi milik Demokrat. Tidak perlu matematika yang canggih untuk sekadar menjumlahkan bahwa perolehan kursi itu sudah lebih dari cukup sebagai syarat minimal mencalonkan pasangan capres-cawapres.
Nyatanya, dengan memilih CT, super power coalition ini juga akan mampu menjadi pasangan yang kuat, bahkan akan menjadi penantang yang serius bagi Jokowi. CT akan mampu menutupi semua kekurangan yang dimiliki oleh Prabowo.
Sebagai tokoh utama di Gerindra, sosok Prabowo memang menjadi kekuatan politik sentral. Gagasan-gagasannya, ide-ide ekonomi kerakyatannya, hingga latar belakangnya di militer tentu membuat Prabowo punya segala hal untuk mendukungnya menjadi pemimpin ideal.
Namun, satu kekurangan Prabowo adalah dari sisi eksekusi program, terutama di bidang ekonomi. Apalagi, kampanye politik yang dilakukan Prabowo selama ini lebih banyak berbentuk kritik tanpa solusi konkret, bahkan tidak sedikit yang justru mengarah ke political fear – konsepsi yang menggunakan “ketakutan” untuk memenangkan dukungan politik.
Sebut saja tajuk-tajuk seperti “Keruntuhan Indonesia di 2030”, “TNI Lemah”, “Negara Dikuasai Asing”, dan lain sebagainya. Kampanye ala-ala pesimisme semacam ini tentu saja akan mudah dipatahkan lewat pertanyaan: “Jika demikian, konsep apa yang kamu tawarkan?”
Namun, Prabowo akan mampu mengatasi kelemahan politiknya itu jika memilih sosok seperti CT untuk menjadi pendampingnya. Dari sisi kapabilitas, tidak ada yang meragukan kemampuan CT sebagai pengusaha. Ia juga pernah menjadi Menteri Koordinator Perekonomian, sekalipun untuk waktu yang tidak lama.
Sebagai catatan tambahan, CT memang paling mungkin menjadi tokoh yang ditawarkan oleh Demokrat sebagai cawapres untuk koalisi manapun yang sedang dijajaki – mengingat dengan Jokowi pun komunikasi Demokrat tetap masih berjalan – dan CT adalah tokoh yang mampu menghubungkan hampir semua elit politik besar.
Hubungan SBY dan CT memang cukup dekat, dan Presiden ke-6 itu juga akan sangat mungkin menyodorkan CT sebagai calon yang diusung Demokrat, mengingat sang putra mahkota Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) oleh banyak pihak dianggap masih membutuhkan waktu untuk menjadi penerus trah Yudhoyono di panggung politik nasional.
Track record CT yang tidak banyak bersinggungan dengan dunia politik juga dianggap lebih menguntungkan bagi siapa pun calon yang akan meminangnya sebagai cawapres, termasuk bagi Prabowo.
Selain itu, sosok CT akan memberikan dampak positif terhadap citra Prabowo, khususnya di hadapan para pengusaha. Bukan rahasia lagi jika banyak pengusaha besar di Indonesia masih melihat menantu Soeharto itu dengan segala track recordÂ-nya saat aktif di militer sebagai hal yang “misterius” – jika tidak ingin disebut “menakutkan” – terutama di seputaran kerusuhan 1998.
Jika mampu berpasangan dengan CT, keduanya tentu saja akan mungkin meraih simpati dari pengusaha-pengusaha besar. Sosok CT akan dilihat sebagai pemimpin yang business friendly, dan dengan sendirinya akan menjadi pengimbang citra “misterius” Prabowo di hadapan banyak pengusaha, katakanlah di antara 20 besar orang-orang terkaya di Indonesia saat ini.
Secara riil, CT mungkin tidak akan banyak bicara soal ideologi dan tetek bengek konsepsi abstrak kebocoran kekayaan negara yang selama ini digembar-gemborkan Prabowo. Tetapi, sangat jelas CT punya kemampuan untuk mengeksekusi segala gagasan tersebut dalam bentuk kebijakan ekonomi yang riil.
CT juga dikenal nasionalis tentu saja karena hubungannya dengan Partai Demokrat yang terkenal sebagai partai nasionalis, sekaligus juga sosok yang agamis karena aktif di Dewan Masjid Indonesia (DMI). Selain itu, secara finansial, Prabowo – dengan segala isu kekurangan dana politik yang selama ini ditimpakan padanya – tentu saja akan terbantu, mengingat CT adalah orang terkaya ke-5 di Indonesia saat ini dengan total kekayaan mencapai US$ 3,5 miliar atau hampir Rp 48,5 triliun.
Bahkan, dalam konteks melawan Jokowi, jika memilih CT sebagai cawapres, Prabowo punya peluang yang sangat besar untuk mengalahkan sang petahana. Apalagi jika nantinya Jokowi mendapatkan pasangan yang “dipaksakan” oleh partai pendukung utamanya, PDIP. Isu bahwa partai banteng tersebut berniat memasangkan Jokowi dengan Budi Gunawan (BG) dan Puan Maharani tentu akan menjadi makanan empuk bagi Prabowo-CT, mengingat BG dan Puan dianggap sebagai sosok yang belum terbukti kapabilitasnya.
Spertinya Prabowo sdng kehabisan amunisi, makanya berencana menggandeng CT #kompastv @kompascom
— Jonathan Oei (@JoeJonathanOei) June 17, 2018
Memasangkan Prabowo dengan CT memang terlihat sebagai pilihan yang sangat ideal bagi Gerindra dan oposisi. Namun, persoalannya adalah apakah niatan tersebut juga akan diiyakan oleh Demokrat atau tidak. Yang jelas, partai biru tersebut masih membuka peluang untuk segala kemungkinan koalisi.
CT, Pilihan Tepat Menang Cepat
Dalam mathematical-social science, ada istilah yang disebut exact choice theory. Teori ini menyebutkan bahwa pilihan yang tepat seringkali terjadi dalam keadaan yang fuzzy atau kabur sebagai manifestasi kemampuan rasionalitas para pembuat pilihan.
Konsep ini memang mirip dengan teori rational choice, namun punya dimensi yang berbeda ketika diaplikasikan, terutama karena exact theory seringkali menjadi sangat matematis. Namun, jika gagasan itu diaplikasikan dalam politik, kesebangunan pemikirannya bisa diambil dari konsep tentang “pilihan yang tepat dalam keadaan yang kabur”.
Faktor identitas akan sangat mungkin menguatkan posisi CT sebagai exact choice bagi Prabowo. Dalam kondisi politik Indonesia yang serba fuzzy bagi Prabowo – terlihat dari segala istilah yang digunakannya dalam pidato politiknya dengan pesimisme ketidakpastian masa depan Indonesia – CT adalah faktor pemenang pertarungan yang paling pasti, setidaknya ketika berhadapan dengan Jokowi. Prabowo akan punya gagasan yang lebih aplikatif jika berpasangan dengan CT.
Memilih CT juga akan membuat Prabowo mampu membentuk koalisi yang efektif dengan seminimal mungkin anggota. Hal ini sesuai dengan pemikiran William H. Riker tentang teori koalisi. Menurut Riker, koalisi pemenang akan lebih besar kemungkinannya terbentuk dari sedikit anggota. Dalam konteks CT, Gerindra hanya butuh Demokrat saja untuk membentuk koalisi, sehingga keduanya akan lebih solid mengupayakan kemenangan mereka.
Selain itu, CT juga akan mampu menggeser isu identitas berbasis SARA yang selama ini digunakan sebagai tema kampanye utama Prabowo. Dengan demikian, Prabowo punya lebih banyak peluang untuk mengambil ceruk-ceruk suara kaum nasionalis.
Pada akhirnya, keputusan koalisi ini tentu saja ada di tangan Demokrat. Namun, partai pimpinan SBY itu punya “kecenderungan” untuk lebih suka merapat ke kubu Jokowi. Keputusan koalisi ini memang terhambat oleh hubungan Demokrat dengan PDIP.
Oleh karena itu, jika tidak ada win-win solution antara partai mercy dan partai banteng, Prabowo tentu akan berpeluang mendapatkan sidekick terbaik dalam diri CT, mungkin akan menjadi Batman dan Robin di Pilpres 2019. Menarik untuk ditunggu. (S13)