HomeNalar PolitikChairul Tanjung, Cawapres Kompromi Jokowi

Chairul Tanjung, Cawapres Kompromi Jokowi

Nama Chairul Tanjung muncul sebagai cawapres potensial untuk mendampingi Jokowi. Ia dianggap memenuhi semua unsur untuk menjadi  pendamping Jokowi, sekaligus menjadi sosok kompromi paling realistis bagi terbentuknya koalisi Merah-Biru-Kuning-Hijau.


PinterPolitik.com

“Indonesia butuh pemimpin yang selesai dengan dirinya. Tentu saja, dengan tidak melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk memperkaya diri, sosok pemimpin itu bisa berfokus untuk membangun Indonesia.”

:: Erie Sudewo, pendiri Dompet Dhuafa ::

[dropcap]K[/dropcap]ekuatan pengusaha dalam politik bukanlah sesuatu yang baru. Hal ini telah dibuktikan sejak era Marcus Licinius Crassus di Romawi yang berperan mengubah negara itu dari republik menjadi kekaisaran. Kisah serupa juga tergambarkan dalam digdaya kekayaan Raja Mansa Musa di Mali – besar kemungkinan orang terkaya yang pernah hidup – hingga bankir Cosimo de’Medici yang menjadi penguasa di Florence, Italia.

Mereka-mereka inilah yang disebut “the golden rule” – istilah yang pertama kali muncul dalam harian komik strip The Wizard of Id karya Brant Parker dan Johnny Hart yang terbit pada tahun 1964.

“Remember the golden rule?”

“What’s that?”

“Whoever has the gold, makes the rules!”

Demikian percakapan lengkap dalam komik tersebut. The golden rule berarti siapa pun yang memiliki emas (kekayaan), dialah yang berhak membuat peraturan-peraturan. Kekayaan akan membuat seseorang memiliki kekuasaan.

Kini, perbincangan tentang the golden rule itu juga mengemuka menjelang Pilpres 2019, apalagi setelah munculnya nama pengusaha sukses, Chairul Tanjung (CT) sebagai kandidat calon wakil presiden (cawapres). Nama orang terkaya ke-5 di Indonesia itu mengemuka sebagai salah satu calon terkuat untuk menjadi pendamping Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2019 mendatang.

Bahkan di beberapa kota, ada kelompok masyarakat yang telah mendeklarasikan relawan “Sahabat Jokowi-CT” untuk mendukung terwujudnya pasangan tersebut. Munculnya nama CT memang sudah terlihat dalam beberapa waktu terakhir, terutama setelah wacana dukungan Partai Demokrat kepada Jokowi semakin menguat. Bukan rahasia lagi jika CT merupakan salah satu tokoh yang digadang-gadang akan menjadi pilihan Demokrat untuk diusung pada Pilpres 2019.

Koalisi pendukung Jokowi ini – yang melibatkan PDIP di dalamnya – memang sempat terbentur masa lalu hubungan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, sehingga membuat tidak adanya kata sepakat hingga sekarang. Salah satu penyebabnya, sangat mungkin karena ketiadaan tokoh yang bisa mewakili kepentingan semua pihak yang ada dalam koalisi.

Munculnya nama CT dianggap sebagai tokoh jalan tengah bagi semua pihak, jika koalisi pendukung Jokowi ini terwujud. Posisi CT di tengah para elit politik bisa terlihat pada acara buka puasa bersama di kediamannya pada 3 Juni 2018 lalu. Saat itu, beberapa tokoh politik besar – yang berpotensi mewakili semua kelompok politik pendukung Jokowi – hadir dalam acara tersebut.

Ada Wapres Jusuf Kalla (JK), Presiden ke-3 RI BJ Habibie, Presiden ke-6 RI SBY, politisi senior Golkar Akbar Tandjung, Ketua Umum PPP Romahurmuziy, hingga Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Hadir pula mantan Panglima TNI – sekaligus tokoh yang digadang-gadang kuat menjadi capres dan cawapres potensial – Gatot Nurmantyo.

Menariknya, pada acara di Teuku Umar, Menteng tersebut, Megawati Soekarnoputri – yang merupakan tetangga CT – mengirimkan bingkisan khusus berupa 3 tampah penuh jajanan pasar super lengkap plus kue.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Tentu saja bingkisan tersebut menarik untuk diamati dan menunjukkan bahwa CT adalah sosok yang bisa diterima oleh Mega. Walaupun tidak hadir, adanya bingkisan ini menimbulkan spekulasi, apakah CT menjadi sosok yang paling tepat untuk mewakili win-win solution dari semua pihak yang akan mendukung Jokowi nanti, mengingat acara ini dihadiri dan disambut positif oleh kubu-kubu politik besar?

Cawapres Kompromi Jokowi

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono pernah mengatakan bahwa kandidat terkuat capres dan cawapres adalah mereka-mereka yang memiliki 3 unsur utama. Ketiga unsur itu adalah nasionalis, agamis, dan insan bisnis – konsepsi yang dikenal sebagai “nasain” atau “nasaeb”. (Baca: Wapres Ideal Bagi Jokowi)

Pendapat ini berangkat dari sejarah bahwa untuk menjadi pemimpin di Indonesia, 3 hal ini adalah kebutuhan mutlak. Jika capres tidak memiliki salah satu dari 3 unsur tersebut, maka minimal cawapresnya menjadi pelengkap unsur yang tidak dimiliki. Tanpa ketiga unsur tersebut, akan ada goncangan dalam perjalanan pemerintahan – tentu saja dengan tetap menimbang faktor cocok tidak cocoknya pasangan tersebut.

Chairul Tanjung, Cawapres Kompromi Jokowi

Sosok CT nyatanya memenuhi ketiga unsur tersebut. Dari aspek nasionalis, tak perlu diragukan lagi, CT cukup dekat dengan Partai Demokrat yang beraliran nasionalis tengah. Walaupun pemeluk Islam yang taat, pendidikan SD dan SMP CT dihabiskan di sekolah Katolik Van Lith Jakarta.

Secara agamis, tak perlu diragukan juga, CT dikenal sebagai sosok yang Islamis dan aktif di Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Sementara sebagai pengusaha, tidak perlu ditanyakan lagi. Kiprah CT membangun kerajaan bisnis CT Corp telah menobatkan pria yang punya darah Sumatera Utara dari ayahnya ini sebagai orang terkaya ke-5 di Indonesia pada tahun 2018 versi majalah Forbes. Total kekayaan CT mencapai US$ 3,5 miliar  atau hampir Rp 48,5 triliun.

Dari kesuksesan bisnisnya ini, CT sangat mungkin telah selesai dengan dirinya sendiri – kriteria pemimpin paling baik seperti yang diungkapkan Erie Sudewo di awal tulisan ini.

Sebagai tambahan, latar belakang keluarganya yang berasal dari luar Jawa, juga akan menjadi nilai plus bagi kekuatan elektoral Jokowi-CT,  jika mereka berpasangan. Bukan rahasia jika faktor “Jawa-luar Jawa” sering menjadi “rumusan” khusus pasangan pemimpin di republik ini.

Selain itu, CT juga pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang (Menko) Perekonomian di akhir masa kekuasaan SBY, walaupun dalam kurun waktu yang tidak lama. Ini juga menunjukkan bahwa CT punya kapasitas yang tidak bisa diremehkan dan pernah terlibat langsung dalam pemerintahan.

Namun, faktor paling penting yang dianggap membuat CT menjadi sosok cawapres paling ideal adalah kemampuannya menghubungkan semua oligarki dan elit yang berkepentingan dalam pemerintahan Jokowi. Acara buka puasa bersama di kediamannya pada 3 Juni lalu merupakan salah satu buktinya.

CT bisa merangkul JK, Habibie, Akbar Tandjung, SBY, Romahurmuziy, Moeldoko, dan tentu saja Megawati. Mega memang tidak hadir pada acara tersebut – tentu saja karena faktor kehadiran SBY. Namun, bingkisan makanan dari Mega menunjukkan penerimaan dari putri Soekarno itu terhadap sosok CT.

Ketimbang AHY sang putra mahkota Demokrat yang masih butuh pengalaman politik, sosok CT adalah jalan tengah bagi terbentuknya koalisi Merah-Biru-Kuning-Hijau yang menguntungkan semua pihak, termasuk Jokowi. Pengalaman bisnis CT akan membantu Jokowi untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi yang belakangan ini makin sering ditimpakan padanya.

Baca juga :  Endorse Jokowi = Hak Bernegara?

Jika Jokowi berpasangan dengan CT, maka keduanya akan menjadi duet yang sulit dikalahkan. Lalu, bagaimana dengan faktor militer? Tentu saja hubungan CT dengan SBY adalah pengejawantahan posisi militer – walaupun tentu saja ada politik tersendiri di internal kubu yang satu ini.

Persoalannya tinggal seberapa besar keberanian dari koalisi tersebut untuk memunculkan nama CT. Elit-elit PDIP sejauh ini memang tidak menampik kualitas CT dan pengalamannya. Namun, mereka tampaknya belum begitu ingin membahas peluang berpasangannya Jokowi dengan CT. Walaupun demikian, jika Mega sudah bersuara, siapa pun di bawah pasti akan mengikuti arahannya.

CT, Jalan Keluar Kompetisi Partai

Munculnya nama CT dalam panggung politik ini sesungguhnya membenarkan teori investasi dalam persaingan parpol (investment theory of party competition).

Dalam bukunya yang berjudul Golden Rule, the Investment of Party Competition and The Logic of Money-Driven Political System”, ahli politik Amerika Serikat, Thomas Ferguson mengatakan bahwa dalam politik, peran para elit pengusaha sebagai “the leading actor in political system”, jauh lebih besar ketimbang masyarakat biasa yang memberikan pilihan politiknya.

Secara garis besar, teori ini membenarkan konteks mahalnya kontestasi politik bagi paratai politik. Tanpa dukungan the golden rule, mustahil bagi partai politik untuk memenangkan dukungan masyarakat. Hal inilah yang membuat banyak partai politik memandang penting hubungannya dengan pengusaha.

Teori ini tentu saja bisa dimaknai secara negatif di satu sisi, bahwasanya kekuasaan menjadi identik dengan uang.

Namun, dalam hal pembentukan koalisi yang menguntungkan semua partai politik, keberadaan pengusaha adalah win-win solution yang menjawabi kebutuhan semua pihak. Pengusaha adalah jalan tengah bagi kampanye kemenangan calon tertentu. Selain punya modal finansial, sosok pengusaha adalah pilihan yang paling aman dan netral ketimbang politisi.

 

Chairul Tanjung, Cawapres Kompromi Jokowi
“The golden rule” dalam komik strip The Wizard of Id karya Brant Parker dan Johnny Hart. (Foto: istimewa)

Dalam konteks mendukung Jokowi untuk Pilpres 2019, jelas mengusung CT adalah pilihan yang sangat tepat. CT punya semua modal untuk menjadi cawapres ideal bagi Jokowi. Selain memenuhi semua unsur “nasain”, sosoknya juga berpeluang dapat diterima oleh semua kubu pendukung Jokowi. Status CT sebagai pengusaha besar juga akan sangat mungkin memabawa gerbong-gerbong konglomerat lain ke dalam barisan Jokowi.

Pada titik ini, praktis tidak akan ada kerugian bagi Jokowi jika memilih CT. Ia telah sangat kaya secara ekonomi, jadi sulit membayangkannya jatuh dalam KKN. CT adalah sosok yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.

Pada akhirnya, pilihan politik ini akan tergantung lagi-lagi pada SBY dan Megawati. Secara matematis, SBY pasti akan menyetujui pilihan ini, dan Megawati sangat mungkin tidak akan keberatan. Yang tersisa adalah kelanjutannya, misalnya terkait pos menteri dan jabatan-jabatan fungsional lainnya.

CT adalah pilihan kompromi bagi Jokowi. Mungkin sudah saatnya negara ini dipimpin oleh the golden rule. Mengapa tidak? (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.