Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menyebutkan nama Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebagai salah satu sosok yang dipertimbangkan untuk menjadi calon wakil presidennya (cawapres) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Mengapa Sri Mulyani bisa jadi pasangan ideal untuk Cak Imin?
Film apa lagi yang menempatkan banyak bintang seperti Christian Bale, Steve Carrell, Ryan Gosling, dan Brad Pitt – bahkan juga ada Margot Robbie dan Selena Gomez – dalam satu produksi? Ya, film itu adalah The Big Short yang dirilis pada tahun 2015 silam.
Dalam film tersebut, jalan cerita (storyline) yang ada dibagi menjadi sejumlah alur. Alur pertama, misalnya, menceritakan kisah Michael Burry – diperankan oleh Bale – dari Scion Capital menemukan sebuah persoalan dalam pasar properti Amerika Serikat (AS) yang mana dinilai semakin tidak stabil.
Di alur kedua, Jared Vennett dari Deutsche Bank muncul dan memanfaatkan pertukaran kredit milik Burry. Di sisi lain, ada juga karakter lain seperti Mark Baum yang ingin membeli kredit dari Vennett dan Ben Rickett yang merupakan seorang pensiunan trader di Singapura.
Terlepas dari berbagai alur yang berujung pada sebuah epilog, kisah-kisah film ini dinilai mampu menjelaskan cara kerja ekonomi dengan lebih sederhana. Latar belakang (setting) yang diambil pun ialah krisis finansial yang melanda AS dan dunia pada tahun 2007-2008 silam.
Krisis keuangan yang terjadi akibat bubble yang ada di pasar jual-beli kredit perumahan rakyat (KPR) ini memiliki magnitudo yang cukup besar – dan bukan tidak mungkin juga berdampak pada negara-negara Asia seperti Indonesia. Bagaimana tidak? Orang-orang yang sebenarnya tidak kredibel kala itu bisa dengan mudah mendapatkan KPR.
Namun, tanpa terduga, Indonesia kala itu mampu bertahan dari gelombang krisis keuangan tersebut. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – dibantu oleh Bank Indonesia (BI) mampu menyiapkan sejumlah kebijakan agar dampak keuangan itu bisa direduksi.
Mengacu pada tulisan Muhammad Chatib Basri yang berjudul A Tale of Two Crises, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kala itu berkoordinasi dengan Boediono yang kala itu masih menjabat sebagai Gubernur BI dan membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) guna menjalankan protokol krisis.
Akibat keberhasilan pemerintah dalam menghalau dampak krisis kala itu, nama Menkeu Sri Mulyani pun langsung melambung tinggi di dunia finansial. Pada tahun 2010, dosen Universitas Indonesia (UI) tersebut pun menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia (WB).
Pantas saja bila akhirnya Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) melirik Sri Mulyani untuk dijadikan calon wakil presiden (cawapres) dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Namun, selain alasan prestasi sang Menkeu, mengapa Cak Imin mempertimbangkannya untuk jadi cawapres? Mungkinkah ada alasan strategis di baliknya?
Politik Teknokrasi ala Cak Imin?
Kehadiran pakar dan ahli dalam pemerintahan memang kerap didambakan oleh banyak orang. Alih-alih para politisi yang menempati jabatan-jabatan strategis, sebagian masyarakat lebih mengharapkan sosok-sosok yang berpengetahuan untuk membuat regulasi yang berarti.
Mungkin, inilah mengapa dulu media sering menyebutkan istilah “kabinet zaken” – sebuah istilah yang menggambarkan kabinet pemerintahan yang berisikan para ahli dan bukan sepenuhnya berdasarkan kelompok atau golongan politik tertentu. Tentu, harapan-harapan akan kabinet zaken ini memiliki tujuan baik, seperti agar malfungsi dan penyalahgunaan kekuasaan tidak terjadi.
Peran para ahli yang disebut sebagai teknokrat ini memang telah lama mengisi pemerintahan Indonesia. Di era Orde Baru, misalnya, ada kelompok ekonom yang merupakan lulusan dari universitas-universitas AS – seperti University of California, Berkeley.
Mereka pun disebut sebagai Mafia Berkeley. Beberapa nama teknokrat tersebut adalah Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Emil Salim, Subroto, dan Ali Wardhana.
Namun, terlepas dari harapan itu, narasi soal pentingnya teknokrasi – negara yang dijalankan oleh para teknokrat – telah mengisi diskursus politik Indonesia, utamanya setelah Orde Baru berakhir. Pasalnya, mengacu pada tulisan Shiraishi Takashi yang berjudul Indonesian Technocracy in Transition, politik pertumbuhan menjadi tujuan bersama di antara kelompok-kelompok politik yang memiliki kepentingan berbeda-beda usai Presiden Soeharto lengser.
Mungkin, inilah mengapa tingkat pertumbuhan menjadi perhatian besar bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada kampanye Pilpres 2014, misalnya, Jokowi menargetkan tingkat pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen – meskipun janji ini belum benar-benar terwujud.
Namun, bila bicara soal pertumbuhan ekonomi, Sri Mulyani bisa dibilang pernah memecahkan rekor. Pada tahun 2007 silam, Indonesia berhasil meraih tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak Krisis Finansial Asia 1997 melanda, yakni hingga 6,6 persen.
Politik pertumbuhan seperti inilah yang mungkin menjadi alasan Cak Imin untuk melirik Sri Mulyani guna menjadi calon cawapresnya. Pasalnya, sang Ketum PKB itu sendiri juga menyebutkan bahwa alasan dirinya melirik sang Menkeu adalah untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia yang kini memburuk akibat imbas kondisi global – mulai dari inflasi hingga kenaikan harga pangan dan energi.
Mungkin, inilah juga mengapa figur-figur akademik seperti Rocky Gerung dahulu sempat mengusung Sri Mulyani untuk menjadi bakal calon presiden dalam Pilpres 2014. Sampai-sampai, mereka pun mendirikan sebuah partai yang bernama Partai Serikat Rakyat Independen (SRI).
Namun, apakah benar politik teknokrasi dan pertumbuhan ekonomi ialah satu-satunya alasan di balik “main mata” Cak Imin kepada Sri Mulyani? Mungkinkah ini menjadi salah satu taktik dalam strategi yang lebih besar?
Sri Mulyani Jadi “Jembatan” Imin?
Bukan tidak mungkin, terdapat pertimbangan strategis dari Cak Imin untuk melirik Sri Mulyani menjadi salah satu bakal cawapres potensial. Pasalnya, dari segudang rekam jejak sang Menkeu, modal politik turut terakumulasi di balik Sri Mulyani.
Mengacu pada tulisan Kimberly Casey yang berjudul Defining Political Capital, modal-modal politik bisa ditransformasikan dari sejumlah modal lain, seperti modal sosial dan modal finansial. Dengan pengalaman panjangnya, bukan tidak mungkin Sri Mulyani memiliki modal sosial yang luas – katakanlah dengan pengalamannya sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia.
Pengalamannya tersebut bisa memperluas relasi sosial yang dimiliki Sri Mulyani – bahkan hingga negara-negara lain. Boleh jadi, jaringan pertemanannya pun bisa menjangkau pucuk-pucuk kepemimpinan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF).
Di AS sendiri, Sri Mulyani juga memiliki relasi dengan Mike Bloomberg – seorang pebisnis sekaligus Wali Kota New York. Bloomberg sendiri sempat maju sebagai salah satu kandidat calon presiden (capres) dari Democratic Party dalam Pilpres AS 2020 – membuat sosoknya menjadi salah satu sosok berpengaruh di partai biru itu.
Bukan tidak mungkin, jaringan internasional Sri Mulyani ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Cak Imin. Siapa tahu modal sosial ini bisa dimanfaatkan oleh sang Ketum PKB dalam kontestasi Pilpres pada 2024 mendatang?
Selain modal sosial, modal pengetahuan Sri Mulyani juga bisa ditransformasikan menjadi modal politik. Belajar dari Mafia Berkeley yang dipercayai oleh Soeharto, para teknokrat yang berlatar pendidikan AS ini memberikan resep-resep teknis ekonomi yang sejalan dengan pendekatan Barat.
Bukan tidak mungkin, preferensi kebijakan seperti ini akan memiliki resonansi dengan AS di tengah tensi geopolitik yang kini tengah memanas di kawasan Indo-Pasifik. Dengan Indonesia yang semakin penting posisinya dalam persaingan geopolitik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), preferensi kebijakan pemerintah yang berkuasa akan berarti bagi pemerintah negeri Paman Sam.
Pemerintahan Biden, misalnya, dinilai berusaha memecah dunia menjadi dua kubu, yakni kubu demokratis dan kubu otoriter. Dikotomi ini menunjukkan bahwa AS di bawah Biden tetap menjalankan kebijakan luar negeri yang idealis – meski tetap pragmatis dalam tingkat tertentu.
Bila preferensi Cak Imin dan Sri Mulyani sejalan dengan kepentingan pemerintah AS, bukan tidak mungkin dukungan dari Paman Sam mendarat pada pasangan. Itu pun jika pasangan ini benar-benar berhasil terwujud tentunya.
Namun, bila langkah Imin ini benar-benar menjadi kenyataan, mungkin ini bakal menjadi alur baru bagi langkah Sri Mulyani – layaknya banyaknya alur dalam film The Big Short. Lagipula, sang teknokrat ini memiliki sejumlah modal yang menjanjikan – yang tentunya juga menjanjikan bagi Cak Imin dalam mengarungi dunia politik ke depan. (A43)