Jabatan Ketua Umum Golkar berganti, dukungan memasuki Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2018 juga ikut berubah. Ada perjanjian politik apa antara Airlangga dan Dedi?
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]eninggalkan Setya Novanto (Setnov) di kursi pesakitannya, kini Golkar sudah banyak bergerak. Gerakan pertama tentu saja mengganti struktur organisasinya dengan ‘orang baru’. Sosok yang baru itu adalah Airlangga Hartarto, tokoh Golkar yang belum pernah menggema namanya namun sudah diprediksikan menggeser Setnov dari tahta sejak lama.
Gerakan lainnya adalah mencabut dukungan terhadap Ridwan Kamil pada gelaran Pemilihan Gubernur 2018 mendatang. Kedua gerakan inilah yang sempat menarik mata dan komentar publik mengenai perubahan yang terjadi di tubuh Golkar. Bukan hal yang sulit dideteksi, jika keberadaan Setnov dan Airlangga ternyata bisa membuat Golkar memutar kemudinya secara cepat.
Dari ‘perceraiannya’ dengan Ridwan Kamil, banyak suara berhembus jika Golkar kembali akan mengusung kader berprestasinya, yakni Dedi Mulyadi. Jika benar demikian, apakah langkah itu sekedar mengembalikan Golkar ke jalur yang benar, atau memang ada balas budi yang berusaha dibayar oleh Airlangga?
Tak Konsisten Bersama Daniel
Sebelum membahas Dedi, kembali mengingat bongkar pasang yang dilakukan Setnov dan Idrus Marham dalam pemilihan cagub dan cawagub Jabar 2018 tak ada salahnya. Pemutusan dukungan Golkar kepada Ridwan Kamil disebabkan karena Walikota populer tersebut tak konsisten. Ia tak kunjung mendeklarasikan maju bersama cawagub asal Golkar, Daniel Muttaqien Syafiuddin.
Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, memang bukanlah orang partai. Tentu dukungan Golkar sebagai salah satu partai terbesar di Indonesia sungguh berarti banyak bagi kelancaran jalan dirinya dalam meraih kursi nomor satu Jabar. Tapi sayang, dukungan yang diberikan Golkar saat masih berada di bawah Setnov itu, sebetulnya mendapat penolakan cukup merata dan luas dari internal Golkar. Terutama di area akar rumput DPD Golkar Jawa Barat.
Satu-satunya DPD Golkar daerah Jawa Barat yang menerima dukungan Golkar kepada Emil saat itu, hanyalah DPD Golkar Indramayu. Tidak mengejutkan mengapa hanya Indramayu yang bersuara senada dengan DPP Golkar, sebab di sanalah Daniel Mutaqien tumbuh kuat. Tak hanya dirinya, tetapi juga keluarga besarnya.
Dibandingkan Emil, Daniel memang bisa dikatakan ‘kuat’ di daerah Pantai Utara atau Pantura. Daripada nama Emil, Daniel Mutaqien lebih dikenal dan populer di telinga warga di daerah itu. Bagaimana tidak populer? Ayah Daniel, Irianto M. Syafiuddin atau yang lebih dikenal dengan Yance, merupakan Bupati Indramayu dua priode berturut-turut (2000 – 2010).
Selepas menjadi bupati, Yance juga mencoba peruntungan menjadi Gubernur Jawa Barat periode 2013 – 2018. Tapi sayang, ia harus menelan pil pahit kekalahan bertengger di peringkat empat. Yance selanjutnya harus ‘beristirahat’ panjang sebab tertangkap korupsi dan hingga hari ini masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Indramayu.
Tak hanya Yance, Istrinya yang juga ibu kandung dari Daniel Mutaqien, Anna Sophanah, meneruskan tahta Yance sebagai bupati Indramayu selama dua periode pula (2010 – 2020). Jika menelusuri lagi lebih dalam, tahta sebagai bupati Indramayu juga pernah dikecap oleh kakek Daniel, H. Mursyid Syafiuddin, periode 1946 – 1948.
Dengan jabatan turun temurun layaknya dinasti itu, warga Indramayu mana yang tak mengenali trah Syafiuddin. Namun begitu, dukungan yang diberikan Golkar kepada Emil tetaplah salah sebab menyalahi aturan dan menghianati kader. Pasalnya Emil dianggap tak melewati aturan dan mekanisme yang disepakati Golkar. Dengan demikian, jalan Daniel menjadi cawagub Jabar 2018 harus pupus sebelum berkembang.
Di sisi lain, Emil hingga hari ini sebenarnya masih menempati peringkat teratas dalam perolehan survey sebagai cagub Jawa Barat 2018. Lembaga survey seperti SMRC, Indo Barometer, hingga LSI Denny JA, kompak menempatkan Emil di posisi teratas. Kepopuleran Emil memang bisa menjadi salah satu modal kemenangan di Jawa Barat.
Dengan melepas Emil, Golkar perlu mengkatrol pamor calon gubernurnya sendiri. Nah, menurut desas desus, Dedi Mulyadi menjadi kandidat terkuat untuk kembali diusung Golkar, setelah sebelumnya ‘dihempaskan’ oleh Setnov. Jika asumsi ini benar adanya, apakah Dedi punya peluang mengungguli pamor dan popularitas Emil?
Dedi, Cinta Lama Golkar
Pada pertengahan September lalu, publik sempat dibuat terkejut dengan pengakuan Dedi mengenai permintaan mahar sebesar Rp. 10 miliar agar bisa terus maju bersama Golkar. Tentu hal itu menohok hati serta harga dirinya. Sebab Dedi adalah kader Golkar yang dalam ketentuan internal partai, harus lebih diutamakan keberadaannya ketimbang Emil. Namun, kini ia harus membayar dulu supaya tetap bisa ‘dilirik’ oleh Golkar.
Dalam kurun waktu dua bulan saja, posisi tersebut langsung berubah dan berbalik. Walau belum ditasbihkan secara resmi sebagai calon yang bakal diusung dalam Pilkada Jabar 2018, Dedi adalah orang yang paling potensial untuk maju. Selain itu, kedekatannya dengan Airlangga sedikit banyak mampu membuatnya dinaikkan kembali dalam bursa pencalonan.
Sebelum nama Airlangga mencuat dan perhatian publik masih tertuju pada sidang dan tingkah laku Setnov, Dedi Mulyadi sudah terus mengenalkan anak dari mantan Ir. Hartarto Sastrosoenarto – mantan Menteri Perindustrian ternama Orde Baru tersebut, ke berbagai kalangan daerah hingga ke Presiden Jokowi.
Hasilnya, Jokowi ikut merestui Airlangga untuk duduk menggantikan Setnov sebagai ketua umum Golkar. Hal itu tak lepas dari keberadaan Dedi Mulyadi di belakangnya. Sebelum menduduki jabatan Ketum Golkar, Airlangga memang sudah memiliki hubungan yang baik dengannya.
Hubungan tersebut tercetak dari kesamaan pemikiran bila Golkar sudah waktunya bersih dari petinggi-petinggi yang melakukan korupsi. Dedi Mulyadi adalah salah satu pihak yang bersuara agar Golkar harus cepat melaksanakan Munaslub guna menurunkan Setnov, setelah dinyatakan sebagai tersangka korupsi KTP elektronik.
Dedi pula sosok berjasa yang ‘mengharumkan’ Golkar di Jawa Barat. Ia rajin bergerak ke kalangan masyarakat bawah dengan mengadakan bakti sosial, pelayanan kesehatan murah dan inklusif, serta pengembangan kebudayaan. Citra Golkar sebagai partai elit nan eksklusif, bisa dijinakkan Dedi di daerah, terutama di wilayah Jawa Barat. Ini belum termasuk pula dengan prestasi Dedi membangun Purwakarta sebagai titik pertemuan antara agama, teknologi dan budaya.
Mantan Presiden Republik Indonesia ketiga BJ Habibie bahkan mengucapkan terima kasih kepada Dedi, karena berhasil mensinergikan kebudayaan, agama, dan teknologi dalam kebijakan yang dijalankannya di Purwakarta. Menurut Habibie, apa yang dilakukan pria kelahiran Subang tersebut dapat dikatakan sebagai visioner.
“Terima kasih kepada Pak Bupati (Dedi Mulyadi) yang telah mampu mensinergikan budaya, agama, dan teknologi dalam membangun daerahnya. Saya perhatikan, Bupati memiliki energi positif yang besar sekali. Dia mampu menerapkan kebijakan yang akan dirasakan di masa depan kelak. Dia visioner,” katanya.
Dengan demikian, walau nama Dedi dalam survey belum sepopuler Emil atau bahkan Dedy Mizwar, dalam internal Golkar namanya sudah populer dan harum dengan prestasi.
Balas Budi Kepada Dedi?
Bongkar pasang cagub dan cawagub yang dilakukan Golkar, kini bisa saja berakhir. Jiika nama Dedi Mulyadi kembali dipasangkan, Golkar berarti kembali ke jalan ‘lurus’ partai dengan mengutamakan dan mengusung kadernya sendiri pada Pilkada Jabar 2018. Dedi juga sudah mengantongi dukungan para loyalis di sebagian besar wilayah Jawa Barat.
Selain itu, dibandingkan dengan Emil, PDIP sebagai partai yang hingga saat ini belum mendeklarasikan calon maupun usungannya, memang memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk condong ke Dedi. Hal itu juga disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal PDIP, Sarmuji kalau kecil kemungkinan PDIP mau mengusung Emil.
“PDIP kecil kemungkinan ke Ridwan Kamil. Kecuali ada konstelasi politik yang berubah yah. Ada kemungkinan kita mengusung nama baru bersama partai lain, ada kemungkinan,” kata Sarmuji di Rapimnas Golkar pada Senin (18/2) lalu. Dengan demikian, walau catatan angka-angka dari berbagai lembaga survey masih menempatkan Dedi di peringkat bontot, ia bukan berarti tak memiliki kesempatan menikung jalan Emil.
Sementara itu, Dedi juga tak mengeluarkan pernyataan berarti mengenai desas desus pencalonannya kembali di bawah kepemimpinan Airlangga. Namun, dirinya sudah menegaskan bila tak ada deal politik apapun yang terjadi antara dirinya dengan Airlangga terkait Pilkada Jabar 2018.
Dengan kata lain, Dedi secara formal sudah menampik adanya politik balas budi antara dirinya dengan Airlangga. Jika memang keputusan Golkar untuk kembali mengusung Dedi sebagai cagub, maka ada kemungkinan Golkar akan berbenah diri dan mengikuti aturan partai dalam laga pemilihan umum kepala daerah nanti. Namun, jika Airlangga selaku Ketum Golkar ternyata menetapkan nama lain, selain Dedi, tentu prosesnya juga tetap seru untuk diikuti. (Berbagai Sumber/A27)