HomeNalar PolitikCentury Hingga Utang, Sri Mulyani Keliru?

Century Hingga Utang, Sri Mulyani Keliru?

Terkait utang negara di tengah pandemi, Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) menganalogikan dirinya seperti ibu rumah tangga yang harus memutar otak agar kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Pada kasus bailout Bank Century, SMI juga menggunakan analogi rumah yang terbakar untuk mendukung keputusannya. Tepatkah konstruksi logika tersebut?


PinterPolitik.com

Baru-baru ini Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan kekhawatiran atas tingginya utang negara. Per November 2020, utang yang tercatat sebesar Rp 5.910,64 triliun.

Menurutnya, jumlah utang tersebut dapat membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan membatasi ruang gerak ekonomi. Lebih pelik lagi, SBY khawatir 40 persen belanja negara bisa saja hanya digunakan untuk membayar cicilan dan bunga utang.

Kekhawatiran tersebut juga diamini oleh analis ekonomi dari Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra. Menurutnya, selama 8 tahun awal pemerintahan SBY, neraca keseimbangan primer selalu surplus sehingga tidak perlu berutang untuk melunasi bunga utang. Namun di pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), sejak tahun pertama, neraca keseimbangan primer justru selalu mengalami defisit.

Yang menarik, Gede turut menyarankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menyelidiki potensi pelanggaran hukum. Menurutnya, ada pihak yang diuntungkan pada saat negara dirugikan akibat kebijakan utang yang dilakukan.

Dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 21 Oktober 2020 lalu, begawan ekonomi Rizal Ramli juga menegaskan hal serupa bahwa untuk membayar bunga utang saja kita perlu berutang. Lalu, kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati (SMI) yang disebutnya berutang dengan bunga yang tinggi dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal.

Pada 4 Januari 2021, Menkeu Sri Mulyani akhirnya angkat bicara perihal kebijakannya yang kerap berutang, khususnya ketika pandemi Covid-19. Menariknya, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengunakan analogi.

Baca Juga: Ketika Sri Mulyani ‘Kebanjiran’ Utang

Selaku bendahara negara, SMI menggambarkan dirinya sebagai ibu rumah tangga. Ia harus memutar otak agar di tengah kondisi kebutuhan belanja dan penurunan penerimaan negara saat ini. Tak lupa pula, Sri Mulyani sedikit curhat bahwa dirinya diomelin seluruh rakyat Indonesia karena kebijakan utang di tengah pandemi Covid-19.

Menariknya, analogi juga digunakan Sri Mulyani ketika memutuskan untuk melakukan bailout Bank Century pada 2008 lalu. Apa yang dapat dipahami dari konstruksi logika tersebut?

Argument from Analogy

Sampai saat ini, keputusan untuk melakukan bailout Bank Century masih menjadi perdebatan apakah itu tepat dilakukan atau tidak. Namun, dari berbagai argumentasi yang ada, menariknya, Sri Mulyani juga menggunakan analogi sebagai pendukung argumentasinya.

Tuturnya pada 24 November 2009 lalu, kondisi Bank Century ibarat kebakaran yang terjadi pada rumah milik seorang yang sangat dibenci oleh masyarakat setempat. Kebakaran itu berpotensi merembet ke rumah lain yang berdekatan serta menghanguskan seisi kampung.

Meskipun kita bergitu kesal dengan pemilik rumah itu, apakah mungkin kita membiarkan rumahnya terbakar begitu saja dan membuat api menjalar ke rumah lainnya? Begitu tutur Sri Mulyani.

Menurut alumnus Universitas Illinois Urbana-Champaign tersebut, kolapsnya Bank Century dapat merembet ke 23 bank seukuran Century dan sejumlah bank perkreditan rakyat yang juga mengalami kesulitan likuiditas dan permodalan yang minim.

Baca juga :  Ironi Lumpuhnya Pasukan Perdamaian PBB

Irving M. Copi, Carl Cohen, dan Kenneth McMahon dalam buku Introduction to Logic menyebut argumentasi semacam itu sebagai argument by analogy – disebut juga argument from analogy. Menurut mereka, argumentasi berbasis induksi atau pengalaman sebelumnya, kerap kali menggunakan analogi sebagai konstruksi logikanya.

Namun, meskipun menjadi praktik yang umum, penggunaan analogi sebagai argumentasi sering kali tertukar dengan penggunaannya sebagai deskripsi atau eksplanasi. Artinya, analogi tidak selalu dapat menjadi argumentasi.

Di sini, perlu dipahami perbedaan argumentasi, deskripsi, dan eksplanasi. Analogi dalam deskripsi digunakan untuk menggambarkan suatu objek atau peristiwa agar dapat dibayangkan oleh pendengar atau pembaca.

Sementara analogi dalam eksplanasi digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin tidak akrab di telinga awam. Misalnya ketika Stephen Hawking menyederhanakan teori-teori fisika yang rumit menggunakan analogi dalam bukunya The Grand Design.

Sedangkan analogi dalam argumentasi digunakan untuk menarik kesimpulan tertentu dengan membandingkannya dengan kasus yang mirip di masa lalu. Ini kerap digunakan dalam pengadilan, khususnya ketika melakukan banding. Keberatan kerap diajukan berdasar pada komparasi atau perbandingan dengan keputusan kasus sebelumnya.

Baca Juga: Vaksin Gratis Jokowi, Beban Sri Mulyani?

Fabrizio Macagno dan Douglas Walton dalam tulisannya Argument from Analogy in Law, the Classical Tradition, and Recent Theories juga menyebutkan bahwa argument from analogy memang menjadi bentuk argumentasi yang umum dalam penalaran hukum.

Sekarang pertanyaannya, apakah Sri Mulyani menggunakan analogi sebagai deskripsi, eksplanasi, atau argumentasi?

Dalam pernyataannya ketika menggambarkan kondisi Bank Century sebagai rumah yang terbakar, itu adalah analogi sebagai eksplanasi. Sri Mulyani hendak ingin menjelaskan prediksi ekonominya jika Bank Century tidak di-bailout. Dengan kata lain, pemaparan tersebut sebenarnya tidak dapat digunakan untuk memperkuat keputusan sang Menkeu untuk melakukan bailout.

Sebagaimana diketahui, eksplanasi tidak bertujuan untuk membuktikan tesis. Tugas pembuktian tesis adalah argumentasi.

Namun, bukan hanya Sri Mulyani yang menggunakan analogi. Boediono yang saat itu menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) juga menggunakan argumentasi analogis (argument from analogy) untuk mendukung dilakukannya bailout.

Boediono bertolak dari krisis yang terjadi pada tahun 1997/1998. Menurutnya, ada situasi yang sama, yaitu kekeringan likuiditas di perbankan karena uang mengalir keluar, emas yang meningkat persis, dan macetnya pasar uang antarbank, yang membuat pinjaman antarbank tidak terjadi karena satu bank dengan yang lainnya tidak saling percaya.

Pada krisis ekonomi 1997/1998, menutup bank kecil yang total asetnya hanya 2 persen lebih dari total aset perbankan nasional telah membuat publik gugup, sehingga terjadi rush money (penarikan uang besar-besaran). Peristiwa tersebut dinilai dapat terulang apabila Bank Century dibiarkan kolaps atau ditutup.

Pada kesimpulannya, baik Boediono dan Sri Mulyani sama-sama sepakat bahwa kolapsnya Bank Century dapat mengakibatkan pengaruh sistemik yang merugikan ekonomi nantinya.

Di titik ini, sekiranya kita sepakat bahwa bailout Bank Century dilakukan atas konstruksi logika yang disebut dengan argument from analogy. Lantas, seberapa baik bentuk argumentasi tersebut?

False Analogy?

Copi, Cohen, dan McMahon memberikan catatan penting terkait argumentasi analogis karena sulitnya menentukan apakah dua fenomena yang sedang dibandingkan benar-benar memiliki kesamaan yang cukup atau tidak.

Baca juga :  Luhut ke Mana?

Imbasnya, mereka sampai menyimpulkan bahwa argumentasi analogis tidak mungkin valid secara deduktif. Oleh karenannya, argumentasi analogis pada dasarnya hanya bisa diandalkan pada skala tertentu. Misalnya untuk memilih produk sepatu yang cocok dengan kaki kita, atau ras anjing apa yang sekiranya lebih mudah diurus.

Dalam peristiwa yang kompleks, misalnya dalam peristiwa ekonomi, sering kali terjadi disanalogy atau bahkan false analogy (analogi yang keliru).

Sebastian Dullien, Hansjörg Herr, dan Christian Kellermenn dalam bukunya Decent Capitalism menjelaskan persoalan tersebut dalam realita ekonomi sebagai ilusi rasionalitas. Menurut mereka, para aktor ekonomi – termasuk pakar ekonomi – sering kali terjebak dalam “ekspektasi rasional”.

Ekspektasi rasional bertolak atas asumsi bahwa data masa lalu dapat digunakan untuk menyimpulkan probabilitas secara objektif. Singkatnya, kita dapat membuat prediksi ekonomi secara tepat.

Nah, ada kemungkinan false analogy telah terjadi pada kasus bailout Bank Century. Ada dua bentuk analogi di sini. Pertama adalah analogi rumah terbakar dari Sri Mulyani. Kedua adalah analogi krisis 1997/1998 dari Boediono.

Kendati yang pertama adalah analogi eksplanasi, keduanya bertolak atas ekspektasi rasional, yakni menilai prediksi mereka adalah objektif atau akan terjadi. Masalahnya adalah, afirmasi terhadap bailout Bank Century terjebak dalam penjelasan post factum.

Baca Juga: “Kenangan Gelap” Sri Mulyani di Perppu Corona?

Pasalnya, seperti yang disebutkan, bailout Bank Century masih menjadi perdebatan. Pada Januari 2010 lalu misalnya, Ekonom ECONIT Hendri Saparini menyebutkan tidak ada dampak sistemik jika pemerintah saat itu menutup Bank Century.

Menurutnya, porsi Bank Century sangat kecil terhadap industri perbankan. Dan yang terpenting, kondisi krisis 2008 secara umum berbeda dengan kondisi krisis di tahun 1997. 

Dengan kata lain, baik Bank Century memiliki dampak sistemik atau tidak, kedua prediksi tersebut berkonsekuensi pada tidak terjadinya krisis ekonomi. Oleh karenanya, menjadi pertanyaan tersendiri mengapa justifikasi bailout Bank Century adalah tidak terjadi krisis ekonomi.

Sekarang pertanyaannya, jika prediksi Hendri Saparini yang benar, bukankah tidak ada krisis ekonomi yang diselamatkan? Ini yang disebut terjebak dalam penjelasan post factum, karena kedua prediksi tersebut memiliki konsekuensi praktis yang sama.

Yang satunya tidak terjadi krisis karena memang tidak akan krisis. Sementara yang lain tidak terjadi krisis karena dilakukan bailout.

Setelah memahami persoalan konstruksi logis tersebut, sekarang kita dapat membahas analogi Sri Mulyani ketika melakukan utang.

Sama seperti kasus Bank Century, Sri Mulyani juga menggunakan analogi sebagai eksplanasi. Ia ingin menjelaskan situasi ekonomi yang dialaminya sehingga memutuskan berutang di tengah pandemi Covid-19.

Getirnya, eksplanasi analogis tersebut tampaknya terjebak dalam false analogy. Pasalnya, untuk menambah pendapatan, seorang ibu rumah tangga tidak harus berutang, melainkan dapat berdagang, atau ikut membantu suami bekerja.

Di sini, Sri Mulyani telah keliru memahami bahwa ibu rumah tangga mestilah berutang jika terjadi kesulitan keuangan.

Suka atau tidak, penggunaan analogi semacam itu telah menunjukkan bahwa Sri Mulyani seperti tidak memiliki solusi alternatif selain berutang. Konteks tersebut yang tampaknya kerap membuat Rizal Ramli geram karena mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut kerap mengandalkan utang. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...