Bisnis Tiongkok mulai disebut berada dalam pusaran polemik Rempang EcoCity. Bila memang benar, mengapa ini bisa terjadi?
Niatan pemerintah untuk menjadikan Pulau Rempang sebagai EcoCity berujung pada penolakan besar dari warga lokal. Pada tanggal 7 September, penolakan tersebut meletus menjadi sebuah kerusuhan yang melukai puluhan warga, dan juga sekitar 10 siswa sekolah menengah pertama (SMP). Sontak, Rempang menjadi perhatian nasional.
Menariknya, sesuai yang diungkapkan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan dan juga Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, beberapa perusahaan besar dari Tiongkok disinyalir menjadi “penyebab” dari polemik tersebut, karena mereka merupakan investor besar di proyek Rempang. Salah satunya adalah produsen kaca asal Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Xinyi Glass Holdings Ltd, yang beberapa waktu terakhir juga disebut menjalin kerja sama dengan PT Makmur Elok Graha, milik konglomerat Tomy Winata, sesuai laporan dari TvOne.
Kalau memang benar polemik di Rempang terjadi akibat bisnis dengan perusahaan Tiongkok, menarik kemudian untuk kita pertanyakan, mengapa Negeri Tirai Bambu bisa mempunyai pengaruh yang begitu powerful di Indonesia? Bahkan sampai isu HAM saja tidak mampu menghalaunya?
Godaan Tidak Tertahan dari Tiongkok
Persoalan agraria di Rempang kini tidak hanya jadi sorotan media-media nasional, belakangan ini, sejumlah media internasional pun turut terjun. Salah satunya adalah media Al Jazeera, yang mencoba mencari tahu bagaimana asal muasal Xinyi bisa terlibat dalam proyek di Rempang.
Al Jazeera menyoroti dugaan masuknya Xinyi ke Rempang yang berawal dari pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Presiden RRT, Xi Jinping, pada Bulan Juli silam. Sebagai bagian dari kunjungan selama dua hari, Jokowi membahas dua proyek besar dengan RRT, yakni investasi dalam pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur dan pengembangan Pulau Rempang.
Pada tanggal 27 Juli, dalam pertemuan dengan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) di Hotel Shangri-La, Tiongkok, Jokowi menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menyiapkan sekitar 34.000 hektar lahan di ibu kota baru untuk investasi dari pihak Tiongkok.
Keesokan harinya, delegasi Indonesia, termasuk Jokowi, menyaksikan penandatanganan beberapa dokumen kerja sama yang mencakup pengembangan industri kaca dan panel surya di Rempang, aktivitas bisnis yang kebetulan ditekuni oleh perusahaan Xinyi.
Hal di atas mengindikasikan bahwa perkembangan proyek di Rempang kemungkinan besar sudah jadi perhatian presiden untuk waktu yang lama. Namun, tentu pertanyaannya adalah, bila memang realisasi proyek tersebut kenyataannya justru menghasilkan masalah agraria yang begitu besar, mengapa pemerintah terlihat masih mempertahankan komitmen bisnisnya dengan Tiongkok?
Well, ada beberapa alasan. Alasan pertama berasal dari penilaian peneliti ekonomi Universitas Ritsumeikan, Trissia Wijaya, yang turut menyoroti andil Tiongkok dalam persoalan di Rempang. Trissia menjelaskan bahwa alasan kenapa pemerintahan Jokowi begitu antusias berbisnis dengan Tiongkok adalah karena perusahaan-perusahaan asal Tiongkok, yang sebagian besar merupakan perusahaan milik pemerintah, lebih berani menanam modal dibanding investor dari negara-negara lain.
Di Tiongkok, para perusahaan milik negara sangat berani meningkatkan rasio utang terhadap ekuitas sebanyak mungkin, bila bisnis yang mereka lakukan memang dipandang menjanjikan. Sementara itu, bila di Jepang atau Taiwan, para investor dari sana sangat menekankan efisiensi. Sedangkan, investor-investor asal Amerika Serikat (AS) kerap membawa motif bisnis yang lebih bersifat geo-strategis, yang di satu sisi, menurut Trissia, tidak cocok dengan pendekatan pragmatis Jokowi dalam berpolitik internasional.
Akan tetapi, alasan yang diungkapkan Trissia bukan satu-satunya penyebab kenapa kepentingan bisnis Tiongkok bisa begitu mempengaruhi pengambilan kebijakan di Indonesia. Lantas, alasan apa lagi yang kira-kira membuat pengaruh bisnis Tiongkok begitu kuat?
Tiongkok dan Jaringan Bambu
Dalam video PinterPolitik TV di YouTube yang berjudul Kenapa Etnis Tionghoa Dibenci di Indonesia?, dijelaskan bahwa Tiongkok memiliki jaringan bisnis dan hubungan ekonomi yang erat antara orang-orang keturunan Tionghoa di berbagai negara di luar Tiongkok, dengan orang-orang atau entitas bisnis di dalam Tiongkok. Jaringan bisnis itu disebut bamboo network.
Jaringan ini telah ada selama beberapa dekade dan sering kali melibatkan keluarga, teman, dan rekan bisnis berlatar belakang etnis Tionghoa. Bamboo network memiliki peran penting dalam perdagangan dan investasi antar-negara, terutama dalam konteks Asia Tenggara, di mana dalam negara seperti Singapura dan Indonesia, konglomerat-konglomerat terkayanya mayoritas beretnis Tiongoha.
Pembicaraan seputar bamboo network meyakini bahwa orang-orang yang terlibat dipercaya sering membantu dalam memfasilitasi bisnis, perjanjian investasi, dan transfer teknologi antara negara-negara yang dilibatkan. Dalam beberapa kasus, bamboo network ini juga dapat berperan dalam diplomasi ekonomi dan politik.
Dengan kehadiran bamboo network ini, pemerintah Indonesia sebetulnya dihadapi pilihan yang berat sebelah, yakni antara menuruti aturan bisnis negara lain yang begitu ketat, atau justru menjalani hubungan bisnis dengan Tiongkok yang dipermudah oleh kedekatan para konglomerat-konglomeratnya. Tentu, pilihan yang efisien dan efektif adalah pilihan yang kedua, bukan?
Pada akhirnya, dengan asumsi-asumsi yang diungkapkan di atas, sebetulnya tidak heran bila persoalan agraria dan HAM di Rempang akan berakhir mengambang, atau bahkan terlupakan. Selama pilihan kerja sama dari Tiongkok masih terlihat “menggiurkan”, dan selama proses birokrasi masih terdikte oleh business logic, maka tidak ada jaminan hal serupa tidak akan terulang. (D74)