Untuk waktu yang lama, Jepang telah menjadi partner utama dalam investasi dan bisnis di Indonesia. Kini, munculnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi baru membuat posisi negara tersebut secara perlahan tapi pasti mulai tergantikan. Negara ini memang oleh beberapa analis geopolitik dianggap sudah terlalu lama tidur dan larut dalam kejayaan masa lampaunya. Jepang dan Tiongkok saat ini menjadi dua negara utama yang memperebutkan banyak proyek di Indonesia. Meminggirkan Jepang akan menjadi pertaruhan yang serius bagi Presiden Jokowi.
PinterPolitik.com
“Japan has been sleeping for too long. I want Japan to wake up and play a constructive role”.
::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::
Kebangkitan Tiongkok memang menjadi warna baru dan geliat ekonomi politik yang terjadi di kawasan Asia. Bukan hanya menjadi pesaing baru bagi Amerika Serikat (AS) saja, Tiongkok kini menjadi “cahaya baru” – jika ingin disebut demikian – bagi banyak negara menengah ke bawah.
Bukan tanpa alasan, Tiongkok awalnya memang dikelompokkan sebagai bagian dari negara-negara menengah ke bawah tersebut. Sehingga, loncatan ekonomi – demikian yang dibahasakan oleh akademisi dan ahli statistik asal Swedia, Hans Rosling – yang dialaminya menjadi semacam motivasi bagi negara-negara di kategori tersebut untuk mengejar ketertinggalannya.
Namun, bicara tentang Asia dan the rising star alias bintang baru yang bersinar di kawasan ini, sebetulnya mengembalikan memori kita pada negara lain yang telah bersinar di awal dekade 90-an hingga 2000-an: Jepang. Negara ini pernah menjadi cahaya Asia ketika berstatus sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia di belakang AS sebelum tahun 2010.
Pencapaian tersebut bukan hal yang bisa dianggap remeh jika berkaca pada bagaimana Jepang – katakanlah lewat perusahaan-perusahaan besarnya – mencengkram ekonomi di berbagai kawasan. Semuanya kemudian berubah pasca tahun 2010 ketika Tiongkok akhirnya menyalip negara matahari terbit tersebut sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia di belakang AS.
Perlahan tapi pasti, pamor ekonomi Jepang pun terus turun, termasuk dalam konteks kerja sama ekonominya di banyak negara. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Data investasi asing di Indonesia pada tahun 2019 lalu misalnya, menunjukkan bahwa Jepang sudah disalip Tiongkok sebagai investor kedua terbesar di negara ini setelah Singapura.
Konteks ini tentu saja menarik untuk dilihat. Akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani memang menyebutkan bahwa Jepang sudah tertidur untuk waktu yang terlalu lama.
Politik luar negeri yang pasif serta fokus yang salah membuat negara ini terpuruk dalam persaingan dengan Tiongkok – hal yang bisa dilihat secara riil dalam beberapa proyek investasi di Indonesia, misalnya dalam kasus Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung yang sebelumnya sempat digadang-gadang akan dikerjakan oleh Jepang, namun berakhir di tangan Tiongkok.
Lalu, seperti apa kondisi ini harus dimaknai? Seperti apa Indonesia harus bersikap, katakanlah, jika Jepang pada akhirnya bangkit kembali dari keterpurukannya?
Wih, emang negara bisa nyewain data identitas masyarakat ke pihak tertentu ya? Duh. #infografis #politik #pinterpolitik https://t.co/HDyS7I8kEw pic.twitter.com/JV4HIwnSV1
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 15, 2020
Jepang, Asia Jaya Lama?
Analogi kekuatan Jepang atas AS sering digambarkan sebagai pertarungan antara General Motors alias GM dan Ford – dua perusahaan otomotif asal AS – yang dipukul KO di arena tinju oleh Toyota yang menjadi perusahaan otomotif terbesar Jepang dan saat ini menjadi nomor 2 di dunia. Ini juga sekaligus menggambarkan bagaimana negara tersebut menjadi bagian penting dari arus globalisasi dan mengambil keuntungan di dalamnya.
Semuanya memang berangkat dari karakter penduduknya dan budayanya yang meminjam kata-kata Oscar Wilde pada tahun 1891 dalam esaynya The Decay of Lying yang menyebutkan bahwa Jepang adalah negara yang unik. “The whole of Japan is a pure invention. There is no such country, there are no such people”, demikian tulis Wilde.
Penemuan-penemuan teknologi pada akhirnya memang membuat negara tersebut berjaya. Well, tak perlu bicara yang besar-besar seperti robot, mesin maupun otomotif. Minuman kemasan Pocari Sweat misalnya, adalah salah satu bentuk penemuan Jepang yang paling dekat, di mana jika melihat sejarah minuman ini, semuanya berawal dari gagasan menjadikan cairan infus yang bisa diminum sebagai menuman pengganti cairan tubuh. Simple but brilliant. Demikianpun dengan penemuan-penemuan di bidang lainnya.
Namun, masa jaya Jepang tersebut perlahan mulai memudar. Jika melihat data pertumbuhan ekonomi, sebelum krisis ekonomi di 2008, Jepang cukup jarang mengalami fluktuasi pertumbuhan ekonomi dan cenderung ada di angka positif. Pasca tahun 2008 fluktuasi kemudian makin sering terjadi. Bahkan pada tahun 2015 lalu ekonomi Jepang mengalami resesi.
Jika ditarik lagi ke belakang, masa emas Jepang memang ada di tahun 1980-an, sebelum akhirnya memasuki era yang disebut sebagai lost decade akibat pecahnya gelembung harga aset di negara tersebut di tahun 1991. Menariknya, saat jepang memasuki era lost decade tersebut, pada saat yang sama Tiongkok mendayung dan muncul sebagai kekuatan baru.
Pasca krisis dan resesi ekonomi tersebut, Jepang memang harus berbenah. Namun, menurut Mahbubani, pendekatan politik luar negeri Jepang yang terlalu pasif membuatnya tak mampu cepat berbenah.
Dalam konteks hubungannya dengan Tiongkok, hal ini juga dipengaruhi oleh perubahan cara pandang politik luar negeri negeri tirai bambu tersebut. Sejak tahun 1970-an, Deng Xiaoping sebagai pemimpin tertinggi Tiongkok menggariskan arah politik luar negeri yang cenderung soft atau lembut. Namun, pendekatan politik ini berubah belakangan ini seiiring berkuasanya generasi yang lebih mudah yang cenderung tak lagi melihat alasan penting untuk lembut pada tataran politik internasional.
Jepang sendiri juga masih sangat bergantung secara politik dengan kekuatan Barat, dalam hal ini AS. Menurut Mahbubani, konteks ini membuat Jepang menjadi sangat fokus pada Barat – pemikiran yang sudah dimulai sejak Restorasi Meiji terjadi di negara itu pada 1868 – untuk bisa bersaing secara internasional.
Akibatnya Jepang menjadi the most Western country in Asia alias negara paling Barat di Asia – sekalipun secara geografis terletak paling Timur. Mahbubani menyebutkan seharusnya Jepang mengambil posisi sebagai jembatan kebangkitan Asia. Artinya, tidak hanya menjadi the most Western country in Asia, tetapi juga menjadi the most Asian country in the West.
Berkaca pada bagaimana Jepang selalu bisa bangkit setelah krisis, penting untuk menjadi catatan bahwa negara ini tak boleh diremehkan dalam konteks geopolitik. Meskipun secara legal tak punya kekuatan militer sendiri sebagai akibat dari kekalahannya dalam Perang Dunia II, gerakan-gerakan yang ingin agar pendekatan politik negara tersebut secara internasional berubah terus bermunculan.
Perdana Menteri Shinzo Abe misalnya, memunculkan kembali wacana untuk mengamandemen artikel 9 dalam konstitusi negara tersebut agar dapat membentuk Self-Defense Forces (JSDF) yang lebih kuat – yang tentu saja bisa dibaca mengarah pada pembentukan kembali kekuatan militer sendiri. Jika ini pada akhirnya terjadi, bukan tidak mungkin Jepang bisa kembali berjaya secara ekonomi dan politik seperti yang terjadi di masa lampau.
Lalu, apa yang harus dilakukan Indonesia dalam hubungan dengan Jepang di tengah dinamika kebangkitan Tiongkok?
Tertawalah sebelum buzzer menyerang. 🙃 #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/6bBgUNzPlb pic.twitter.com/BzoN7jauDc
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 16, 2020
Jepang vs Tiongkok, Indonesia Kemana?
Posisi Indonesia sebagai bagian dari ASEAN bagi Jepang sangatlah penting. Negara ini menjadi satu dari negara-negara di Asia Tenggara yang dibanjiri oleh produk-produk dari Jepang. Jalanannya boleh di Jawa, tapi isinya produk Jepang semua. Sejak era Soeharto, Jepang memang mengambil porsi yang sangat besar dalam pembangunan di Indonesia.
Namun, pasar ASEAN ini kini sudah digarap habis-habisan oleh Tiongkok. Kerja sama free trade area misalnya, adalah contoh bagaimana Tiongkok menancapkan kukunya ke kawasan ekonomi dengan total penduduk mencapai 647 juta jiwa pada tahun 2018 lalu ini. Konteks yang disebut Mahbubani sebagai cultivating ASEAN ini membuat Tiongkok secara perlahan tapi pasti makin berkuasa di kawasan dan terutama juga di Indonesia.
Selain angka investasi yang sudah melampaui Jepang, Tiongkok juga mulai berebut proyek pembangunan di Indonesia dalam misi Belt and Road Initiative (BRI). Persoalannya, Jepang yang secara teknologi dianggap jauh lebih berpengelaman, kini mulai ditinggalkan.
Proyek Kreta Api Cepat Jakarta Bandung adalah contoh kekalahan paling nyata Jepang. Lalu, beberapa proyek migas di Indonesia yang dikerjakan oleh perusahaan Jepang juga mulai “diusik”. Proyek-proyek lain dipercaya akan bernasib serupa dalam beberapa tahun ke depan.
Walaupun demikian, Presiden Jokowi sepertinya masih “bermain aman”. Mempercayakan proyek ibukota baru kepada Masayoshi Son lewat Softbank adalah salah satu contohnya. Persoalannya tinggal bagaimana Jokowi menjaga agar jika suatu saat Jepang bisa bangkit kembali, Indonesia tetap mampu mendapatkan posisi yang positif di mata negara tersebut. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.