Site icon PinterPolitik.com

CELUP, Kampanye Pertahanan Konservatisme

Hebohnya kampanye CELUP adalah mirat dari bangkitnya konservatisme sosial, dalam melawan progresivisme sosial di Indonesia.


PinterPolitik.com

Kemarin (27/12), heboh sebuah kampanye digital bernama CELUP (Cekrek, Lapor, Upload) buatan mahasiswa Desain Komunikasi Visual Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya. Merebak melalui cuitan seorang pengguna Twitter, CELUP mendulang kontroversi karena adanya dugaan pencatutan media Jawa Pos dan Detik.com, serta Pemerintah Kota Surabaya. Baik Jawa Pos, Detik.com, dan Pemkot Surabaya telah membantah dan mendapatkan klarifikasi dari pihak CELUP.

Selain mendulang kontroversi karena pencatutan institusi, ‘ruh’ dari gerakan ini juga menimbulkan kontroversi. CELUP ingin mengajak setiap orang untuk berburu pasangan-pasangan yang berbuat ‘asusila’ dengan cara memotretnya. Mirip dengan ‘kampanye berburu tikus got’, kampanye CELUP juga memberi imbalan bagi para pemburu berupa poin yang dapat ditukar hadiah. CELUP memiliki kepedulian akan ruang publik, yang kerap ‘diracuni’ oleh tindakan ‘asusila’ anak-anak muda.

Klaim CELUP tentang ‘asusila’ juga menjadi perdebatan. Dalam banyak konten kampanyenya, CELUP ingin menargetkan orang-orang yang relatif ‘wajar’ dalam berpacaran, misalnya berangkulan, berpelukan, dan menonton bioskop. CELUP memasang standar rendah terhadap makna pacaran dan penuh prasangka terhadap orang-orang berpacaran.

Dari situ, dapat dinilai pula ke mana arah kampanye seperti CELUP ini. Visi mereka mungkin sama, misalnya, dengan gerakan Indonesia Tanpa Pacaran. Hanya saja CELUP terlihat tidak terlalu ekstrim dengan menghapus, tetapi hanya memoderasi pacaran dengan cara pandang mereka.

Namun, bagi sebagian orang lainnya, kampanye seperti CELUP tetap saja ekstrim, terbukti dari banyaknya kecaman di media sosial. Artinya, ada bagian besar orang dengan keyakinan yang lebih ‘progresif’ ketimbang ‘konservatif’ yang menolak kampanye seperti ini.

Kebangkitan Progresivisme dan Pertahanan Konservatisme

Progresivisme sosial di Indonesia terlihat bangkit belakangan ini, tercermin dengan cukup besarnya dukungan bagi kelompok Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT), kemerdekaan individu, kebebasan memeluk agama, dll. Aksi para jagoan di pihak progresif dapat disaksikan dalam perdebatan di muka publik, seperti di media sosial atau siaran langsung di televisi. Mereka membangun narasi dan menekan kebijakan-kebijakan pemerintah dengan cara pandang progresif mereka.

Berbeda dengan kalangan intelektual, ada juga kalangan yang mengimani progresivisme dan mempraktikkannya bagi dirinya dan lingkungan terdekatnya. Mereka bisa saja adalah orang-orang dengan preferensi seksual termasuk LGBT, atau mereka yang mempraktikkan liberalisme seksual, atau mereka penganut aliran kepercayaan, dan lain semacamnya. Mereka adalah ‘umat progresif’, subjek dari perjuangan kalangan progresif belakangan ini.

Bila Anda terpukau menyaksikan romansa Jack dan Rose dalam film Titanic, atau mengidolakan cara Harry menyatakan cinta kepada Sally dalam When Harry Met Sally, bisa jadi Anda memiliki keyakinan akan nilai-nilai progresif dalam percintaan. Nilai-nilai yang mungkin Anda yakini itu berbeda dengan cara orang-orang konservatif Indonesia memandang percintaan.

Dengan medium film seperti Titanic dan When Harry Met Sally, sosialisasi terhadap nilai-nilai percintaan liberal bisa jadi telah menerpa Anda. Contoh substansialnya, dalam hal berpacaran. Anda sangat mungkin lebih terbuka dan menerima pacaran sebagai metode dua orang saling menjalin cinta. Kalau benar, keyakinan Anda itu akan sangat kontras dengan sebagian masyarakat Indonesia yang menolak pacaran.

Bisa jadi Anda juga ‘umat progresif’, bagian para penganut progresivisme-liberal yang percaya konservatisme bukan jalan hidup Anda.

Dan karena umat-umat seperti Anda, kalangan ‘umat konservatisme’ pun harus bangkit berdiri. Ada tekanan natural dalam diri ‘umat konservatif’ untuk mempertahankan diri dari terpaan ideologi Anda, dengan motif ‘adat Timur’ atau ‘budaya bangsa Indonesia’, yang masih diperdebatkan keabsahannya.

Contoh kasusnya, tentang bagaimana masyarakat kita malah sibuk mengurusi cara berpakaian mahasiswi Indonesia yang berprestasi di luar negeri, ketimbang mengapresiasi prestasinya.

Kebangkitan progresivisme secara fenomenologis, misalnya terungkap dalam pernyataan psikolog Elly Risman, bahwa zina telah menjadi gaya hidup. Bila zina terhitung ekstrim, ada pula kecenderungan peningkatan angka untuk menjauhkan rukun agama dari politik, sekalipun masih memiliki iman dalam agama tersebut. Tak hanya fenomena di tengah masyarakat, kalangan progresif pun berhasil menggolkan putusan MK untuk melegalkan aliran kepercayaan. Keputusan yang membuat ‘umat konservatif’, atau bahkan MUI, kebakaran janggut.

‘Umat konservatif’ kemudian bertahan melalui regulasi-regulasi protektif akan nilai-nilai ‘ketimuran’, seperti ditegakkannya hukum penistaan (sekaligus menutup perdebatan legal atas agama), pelarangan berpacaran di sebagian daerah, hingga penyensoran belahan dada perempuan di televisi. Dengan tekanan terhadap pemerintah itu, ‘umat konservatif’ mempertahankan ideologi mereka dari serangan progresivisme.

Namun tak hanya pada lingkup politik (relasi dengan negara) yang ingin ditabrak, progresivisme liberal juga ingin merambah kehidupan sosial. Karena pertarungan tak hanya di level politik—dengan menekan pemerintah melalui DPR atau MK—maka para ‘umat konservatif’ juga bertahan dari serangan ‘umat progresif’ di ranah publik. Menanggapi fenomena, mengembangkan wacana, dan beradu argumen secara demokratis adalah caranya.

Sehingga, kampanye CELUP atau Indonesia Tanpa Pacaran dapat dipahami sebagai bentuk pertahanan ‘umat konservatif’ akan ‘agresi umat progresif’. Suatu cara yang sah-sah saja di dalam demokrasi, namun perlu amat dipertanyakan manfaat dan relevansinya dalam hidup modern bermasyarakat.

Pertanyaan selanjutnya sebagai bahan pemikiran Anda, apakah nilai progresif liberal dalam ruang sosial dan politik memiliki keunggulan dibandingkan konservatisme? Tentu dapat terus diuji.

Yang pasti, perdebatan dan pertentangan akan terus berlangsung antara kalangan progresif dan konservatif, dalam melihat agama, seksualitas, dan urusan-urusan yang disebut ‘sensitif’ oleh masyarakat kita.

Ruang Privat Menabrak Ruang Publik?

Perhatian besar CELUP adalah bahwa aktivitas afeksi pasangan di ruang publik dianggap mengganggu kehidupan dan ketentraman ruang publik. Maka, dengan besarnya concern CELUP itu, apakah ada pemahaman atas ‘ruang privat’ dan ‘ruang publik’ yang cukup baik di kalangan mereka? Lebih jauh lagi, apakah kampanye CELUP memahami adanya jenis-jenis jarak sosial, yang pada akhirnya, membuat kampanye mereka terlihat absurd?

Apabila dipahami secara historis, kultur afeksi di ruang publik lahir dari liberalisme seksual, yang telah terjadi sejak revolusi seksual tahun 1960-an di Amerika Serikat. Revolusi tersebut membuka belenggu masyarakat untuk berekspresi secara seksual, misalnya dengan berpakaian lebih bebas di ruang publik, menghargai orientasi seksual orang lain, hingga bertoleransi terhadap keterbukaan seksual di media massa.

Ketika masyarakat nan jauh di AS sana telah memahami sex-positive lebih dari lima puluh tahun lalu, gelombangnya baru sampai di Indonesia belakangan ini, pasca kebebasan politik reformasi dan bertebarnya informasi di era digital. Tak ayal, faktor perjalanan sejarah cukup menjelaskan proses pertentangan progresivisme dan konservatisme di Indonesia saat ini.

Cuplikan film Bob & Carol & Ted & Alice (1969), salah satu ikon revolusi seks Amerika Serikat

Ilmu sosial pun dapat turut menjelaskan. Dalam sosiologi Barat, telah jelas dan tegas dikenal definisi ‘ruang publik’ dan ‘ruang privat’. Ini mendasar pada tipe jarak sosial menurut Edward Hall, yakni intim, pribadi, sosial, dan publik. Hall menilai, dalam ruang publik modern di komunitas perkotaan, dapat terjadi keempat jenis interaksi tersebut.

Namun yang terpenting, Hall menyebut kontak seksual adalah jenis interaksi sosial yang umum dipahami sebagai garis merah di ruang publik. Sehingga, hubungan intimasi di ruang publik, menurut budaya liberal, sesungguhnya adalah hal yang wajar, selama tidak ada kontak seksual atau bentuk ketelanjangan di dalamnya. Sementara dalam ruang privat, Hall percaya adanya otonomi penuh manusia untuk beraktivitas secara mandiri, seperti bernegosiasi, berdebat, dan menemukan konsensus.

Lebih dalam memahami cara manusia menjalin relasi di ruang publik modern, Erving Goffman menyebut terminologi civic inattention atau inatensi sipil. Konsep ini menjelaskan kondisi di mana seseorang memiliki ruang personal di dalam ruang publik, dan akan melakukan rekognisi kepada ruang personal orang lain. Atas adanya saling rekognisi ini, terbentuk ‘aturan’ untuk saling menghormati ruang personal setiap orang di dalam ruang publik. Maka, kembali kepada urusan intimasi-afeksi di ruang publik, civic inattention menyarankan agar manusia menghargai ruang personal orang lain yang tetap eksis di dalam ruang publik.

Dua ilmu tentang ruang publik-privat dan jarak sosial seperti ini, adalah yang kerap dilabel sebagai budaya Barat, alih-alih memahaminya sebagai kemerdekaan individu. Ketidakpahaman bahwa jarak intim seperti berpegangan tangan dan berpelukan adalah hal yang wajar, menghasilkan benturan budaya dengan konservatisme Indonesia.

Dan yang lebih parah, tak hanya perkara jarak sosial, masyarakat Indonesia tidak memahami adanya batas ruang publik dan privat, serta tidak memahami adanya konsensus antarindividu dalam ranah privat. Khususnya ketika ‘umat konservatif’ mencurigai adanya hubungan intim-seksual yang tak dikehendaki oleh konservatisme (LGBT, hubungan dewasa pra-nikah, dll), maka penerabasan ruang privat adalah suatu keharusan. Kasus muda-mudi di Tangerang yang diarak telanjang oleh warga adalah contoh brutalnya.

Maka, tentu salah kaprah bila kampanye seperti CELUP menghakimi muda-mudi lah yang menyalahi ruang publik untuk menunjukkan afeksi. Nyatanya, ruang privat mereka akan tetap digebrek, apabila ada kecurigaan publik terhadap bentuk afeksi mencurigakan. CELUP dan kawanannya tidak peduli ruang publik, hanya afeksi mencurigakan yang mereka pedulikan.

Afeksi mencurigakan, mungkin suatu terminologi baru dan aneh yang perlu disematkan untuk masyarakat kita.

Kembali Kepada Institusi Keluarga dan Mahkamah

Ada dua masalah yang menegasikan kampanye CELUP ini.

Pertama, selain muda-mudi secara umum, target kampanye menyasar anak-anak di bawah umur. Sehingga, perlakuan memotret dan menyebarkan di media sosial adalah salah jalan. Apabila dilakukan, maka kasus seperti trauma keluarga akibat dua anak laki-lakinya dikira homoseksual – yang sempat viral juga beberapa waktu terakhir – akan terjadi lagi.

Peran pendidikan keluarga harus dikembalikan. Bukan dengan adanya pemolisian secara sepihak dari masyarakat, namun penguatan peran keluarga untuk memberi sosialisasi-afeksi kepada anak-anak. Dengan sosialisasi-afeksi yang baik, akan tercetak anak-anak dengan afeksi-positif di usianya serta sex-positive bila telah beranjak remaja hingga dewasa.

Kedua, hukum pun berbicara bahwa pencabulan dalam Pasal 76e UU Nomor 35 tahun 2014 hanya mengatur pembujukan/pemaksaan dengan kekerasan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak. Bila terjadi antar sesama anak, maka hukum tak berlaku dan teguran-pengembalian kepada keluarga adalah jalan yang paling baik. Terlebih, dengan metode penghakiman sepihak ini, CELUP justru dapat dijerat hukum lainnya, seperti penyebaran konten asusila dan pelanggaran hak cipta.

Begitu pula bila melihat sikap MK untuk bertahan pada status quo legalitas LGBT. Sepertinya, negara masih bermain dalam jarak aman, dengan tidak ikut campur tangan hingga urusan seksual seseorang, mulai dari identitas, preferensi, sampai aktivitasnya. Dengan begitu, akan sulit bagi kampanye seperti CELUP memiliki kekuatan hukum secara penuh.

Dan sikap akhir suatu kontroversi yang (mungkin) terus menguat ada di tangan pemerintah. Ingin turut mengadopsi konservatisme atau membiarkan progresivisme mengambil panggung sosial dan politik kita.

Atau jangan-jangan isu ini punya muatan politik tertentu? (R17)

Exit mobile version