Site icon PinterPolitik.com

Cawe-cawe di 2024, Di Mana Etika Politik Jokowi?

Cawe-cawe di 2024, Di Mana Etika Politik Jokowi?

Presiden Joko Widodo (Foto: BBC News Indonesia)

Setelah sebelumnya membantah cawe-cawe di 2024, Presiden Jokowi justru secara terang-terangan mengaku akan cawe-cawe. Bukankah pengakuan terbuka itu akan mendatangkan persepsi negatif? Apakah Presiden Jokowi sudah tidak menghiraukan etika politik?


PinterPolitik.com

“A hypocrite is the kind of politician who would cut down a redwood tree, then mount the stump and make a speech for conservation.” – Adlai Stevenson I

Media massa kembali digemparkan dengan pengakuan Presiden Jokowi kepada publik. Pada tanggal 29 Mei lalu, Jokowi mengakui bahwa ia “cawe-cawe” atau ikut campur dalam Pilpres 2024 di hadapan pimpinan redaksi media massa dan content creator. Jokowi mengatakan bahwa ia cawe-cawe demi negara. Ini demi menjaga keberlanjutan pembangunan.

Istana mengklarifikasi bahwa cawe-cawe Jokowi ditujukan untuk kepentingan bangsa. Bey Machmudin selaku Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden menyebutkan bahwa Jokowi ingin memastikan Pemilu 2024 berjalan secara demokratis dan jurdil (jujur dan adil). Selain itu, Jokowi juga tidak ingin pemilu kali ini akan memicu polarisasi sosial-politik seperti Pemilu 2019 kemarin.

Kabar intervensi Jokowi dalam Pemilu 2024 menguat sejak awal Mei lalu. Kala itu, Jokowi mengundang semua ketua umum partai politik koalisi ke Istana Merdeka, kecuali Partai NasDem. Jokowi menegaskan bahwa pertemuan ini membahas berbagai hal, mulai dari ekonomi hingga politik. Akan tetapi, Jokowi juga tidak menampik bahwa isu seperti pencapresan Ganjar dan koalisi besar juga menjadi topik pembahasan mereka.

Atas dasar itulah, Jokowi dikritik oleh berbagai pihak karena dinilai sudah tidak netral dalam menyikapi Pemilu 2024. Anies Baswedan dan Jusuf Kalla dari Koalisi Perubahan “kompak” mengkritik langkah Jokowi sebagai bentuk kemunduran terhadap demokrasi. Mereka memandang bahwa cawe-cawe ini dikhawatirkan akan membuat pemilu tidak berjalan secara adil dan demokratis karena ada konflik kepentingan antara presiden dengan pasangan calon yang diusung oleh koalisi pemerintahannya.

Di sisi lain, Anwar Abbas selaku petinggi Muhammadiyah mengkritik langkah ini tidak etis bagi seorang negarawan seperti Jokowi. Abbas juga menyarankan Jokowi untuk mengurusi bangsa dan negaranya daripada ikut cawe-cawe dalam Pilpres 2024 mendatang.

2024 Rentan Intervensi Presiden

Tahun 2023 menjadi tahun penghujung bagi Jokowi sebagai presiden. Ketika seorang presiden sudah menjabat selama dua periode, maka tahun-tahun menjelang pemilu akan sangat krusial bagi dirinya untuk menentukan penerusnya.

Jokowi sadar betul akan fakta di atas dan sebagai presiden yang belum menyelesaikan urusannya, maka Jokowi tampaknya merasa perlu “bermain” dalam pemilu mendatang untuk mencari sosok penerus yang sesuai dengan kriterianya. Ini adalah habituasi pemimpin yang sudah terjadi sejak ribuan tahun peradaban manusia.

Tidak hanya mencari tokoh yang cocok untuk melanjutkan kepemimpinannya, sikap Jokowi yang seolah meng-endorse tokoh seperti Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto tampaknya ditujukan untuk menonjolkan dirinya sebagai “the next king maker”. Dukungan Jokowi terhadap figur-figur ini bisa dilihat dari kacamata partisan identity, di mana Jokowi sebagai politisi tentu memiliki kecondongan terhadap figur tertentu terlepas dari statusnya sebagai “petugas partai” PDIP.

Shanto Iyengar dan Masha Krupekhin dalam artikelnya Partisanship as Social Identity menyebutkan bahwa presiden memiliki kecondongan terhadap tokoh tertentu, baik karena kualitas kepemimpinan atau kesamaan identitas. Tendensi ini mendorongnya mengharapkan figur tertentu untuk maju dalam pilpres. Selain ekspektasi, presiden juga dapat memberikan sinyal dukungan sebagai isyarat bagi pendukungnya untuk memilih calon yang sudah direstuinya.

Lantas, di tengah kebutuhan untuk soft landing di 2024, kenapa Jokowi justru mengeluarkan pernyataan yang mengundang persepsi negatif?

Apalagi, pernyataan itu diungkapkan dengan mengundang pimpinan media dan content creator di Istana Negara. Itu jelas merupakan pesan kuat seorang presiden.

Intervensi Jokowi Berlalu Begitu Saja?

Potensi cawe-cawe Jokowi terhadap Pilpres 2024 kembali membuka tabir akan pelanggaran etika politik Jokowi sebagai presiden. Kendati Jokowi akan segera lengser pada tahun 2024 mendatang, namun tindakan cawe-cawe ini kembali menggambarkan sikap dualisme Jokowi dalam memerintah bangsa ini.

Di satu sisi, Jokowi membuka kesempatan bagi semua tokoh untuk bertanding dalam pilpres mendatang. Namun di sisi lain, Jokowi mengakui bahwa ia akan “cawe-cawe” demi kepentingan bangsa.

Anang Setiawan dan Erinda Fauzi dalam artikelnya Etika Kepemimpinan Politik memandang bahwa pejabat selayaknya memiliki watak sebagai seorang pemimpin. Tindakan seperti menahan diri di tengah pilpres 2024 harus dilakukan sebagai penghormatan terhadap martabat pemilu.

Meski demikian, dari kacamata realisme politik, bisa dilihat bahwa cawe-cawe yang dilakukan Jokowi memang didasarkan pada kalkulasi matematis. Pada artikel PinterPolitik yang berjudul Kaesang, Krisis Etika Politik Jokowi?, telah dijabarkan bahwa intervensi Jokowi bukan semata-mata hanya untuk meneruskan warisannya, namun intervensi ini dapat membawa insentif politik lebih besar bagi Jokowi di kemudian hari.

Bert Van Wee dalam artikelnya Incentives and Politics menyebutkan bahwa insentif berupa keunggulan elektoral maupun keberlangsungan program menjadi hal yang paling banyak diincar oleh politisi, termasuk mungkin Jokowi dalam kasus ini.

Insentif tersebut dapat dicapai dengan skema reward and punishment. Ketika melanggar peraturan ternyata akan lebih menguntungkan daripada mematuhi aturan, maka politisi akan lebih memilih untuk melanggar aturan.

Selain kalkulasi matematis tersebut, ada satu lagi sekiranya yang menjadi perhitungan Jokowi, yakni budaya permisif masyarakat. Amalia Syauket dan Nina Zainab dalam penelitian berjudul Social Permissive Reasoning as Inherited Poverty (Critical View of a Political Dynasty Prone to Corruption) menyebutkan bahwa korupsi dan dinasti politik berkorelasi kuat dengan budaya permisif masyarakat Indonesia.

Selain budaya permisif, ada pula konteks ketokohan yang masih kuat sebagai faktor determinan dalam perilaku memilih. Ketika seseorang sudah condong pada satu pihak, maka ia akan memilih seseorang yang direkomendasikan oleh pihak ini. Dengan popularitasnya yang stabil di depan publik, maka pendukung Jokowi akan mendukung pula calon yang sudah direstui sang presiden.

Well, sebagai penutup, setidaknya ada dua alasan yang bisa diinterprertasikan dari potensi cawe-cawe Jokowi dalam Pilpres 2024 mendatang.

Pertama ialah partisan identity, di mana keberpihakan Jokowi kepada figur seperti Ganjar dan Prabowo tidak lepas dari tendensi partisan dengan memilih calon yang “segaris”.

Kedua ialah insentif politik, di mana terlepas dari pelanggaran etika, cawe-cawe ini tidak lepas dari motif untuk mendapatkan keuntungan politik di masa depan. (D90)

Exit mobile version