Umumnya, ide pencalonan calon wakil presiden (cawapres) dari golongan independen alias non partai dapat menciptakan citra keberhasilan demokrasi dalam konteks kesetaraan dalam berpartisipasi. Namun, bagaimana peluang cawapres non partai dalam kontestasi elektoral 2024 mendatang?
Dinamika politik semakin memanas ketika Anies Baswedan dideklarasikan menjadi bakal calon presiden (bacapres) oleh Partai NasDem. Baru-baru ini partai besutan Surya Paloh itu mengusulkan Anies untuk memilih calon wakil presiden (cawapres) dari golongan independen alias non partai.
Menurut Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali hal itu dinilai dapat berguna untuk menjaga hubungan koalisi partai politik (parpol) pengusung Anies. Dia juga berpendapat cawapres non partai tidak akan terikat oleh kontrak politik, terlebih Anies sendiri bukan merupakan kader partai tertentu.
Jika ada elite parpol yang ingin memajukan kadernya sebagai cawapres, kemungkinan akan ada politik transaksional alias politik uang. Artinya, suatu keputusan akhir politik bisa saja berubah dikarenakan adanya transaksi untuk mewujudkan perubahan sikap atau tindakan politik seseorang yang dipengaruhi.
Dengan demikian, cawapres yang berada pada kategori non partai dinilai dapat mengurangi politik uang.
Namun, terdapat catatan bahwa cawapres juga harus memiliki elektabilitas yang tinggi dan dikenal masyarakat sehingga nantinya cawapres dapat memberi kontribusi berupa basis massa untuk memenangkan pemilihan presiden (pilpres).
Di luar poros Anies dan Partai NasDem, CEO dan pendiri Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyampaikan sebaiknya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) – yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PP – memilih capres maupun cawapres dari kader internal mereka saja.
Jika KIB memilih calon nonpartai, nantinya akan berpotensi menimbulkan citra buruk berupa ketidakmampuan parpol dalam mencetak kader. Oleh karenanya, ada baiknya jika “tiket” itu ditawarkan dahulu ke kader yang sudah menunjukkan kontribusinya kepada partai.
Namun, tidak menutup kemungkinan bagi cawapres yang berasal dari nonpartai. Justru, hal itu kiranya akan menunjukkan bahwa partai itu demokratis. Lantas, mungkinkah tokoh nonpartai dapat terpilih menjadi cawapres dan memenangkan Pilpres 2024 mendatang?
Preseden Kemenangan Boediono?
Pada tahun 2009 silam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama dengan Boediono sebagai pasangan cawapresnya yang berasal non parpol berhasil memenangkan Pilpres.
Ada pula Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga dapat dikatakan politisi nonparpol. Serupa dengan Boediono, Ma’ruf berhasil memenangkan pilpres bersama dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2019.
Berdasarkan dua fenomena itu, studi komparatif dapat dianggap sebagai salah satu metode untuk melihat kemungkinan apakah cawapres nonpartai dapat terpilih kembali pada Pilpres 2024.
Studi komparatif merupakan suatu perbandingan antar variabel yang saling berhubungan melalui berbagai perbedaan maupun persamaan dari suatu kebijakan, termasuk pula fenomena yang terjadi.
Studi komparatif akan mempertimbangkan sebab akibat dan mencari kembali faktor yang memungkinkan penyebab suatu fenomena tertentu terjadi.
Beralih ke konteks pilpres 2009, pemilihan Boediono seorang ahli ekonomi nonpartai menjadi poin yang menarik dari fenomena ini. Di saat yang bersamaan, pencalonan SBY diusung oleh Partai Demokrat dan 19 parpol lainnya termasuk dari poros Islamis dan nasionalis.
Seakan tidak ingin menyakiti partai-partai koalisi dan menyudahi benturan kepentingan terkait pemilihan cawapres SBY, pilihan cawapres non partai dianggap menjadi solusi kala itu.
Selain itu, kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2004 dapat menjadi celah persepsi publik terhadap kinerja pemerintahannya. Kebijakan kenaikan BBM saat itu mendapat kritik keras.
Oleh karena itu, untuk mendongkrak elektabilitasnya, SBY menunjuk calon yang dipilih berdasarkan penilaian integritas, akseptabilitas, dan kapabilitas.
Melalui Lembaga Survei Indonesia (LSI), Boediono memperoleh skor tertinggi dengan angka rata-rata di atas 8 di kalangan responden elite intelektual sehingga dirinya diyakini dapat menuai penerimaan atau di mata publik.
Terlebih, Boediono memang bukan politisi dari partai sehingga menambah kemungkinan bahwa dirinya tidak akan mendapat penolakan masyarakat.
Tampaknya fenomena pemenangan itu bukan hanya terjadi pada satu pemilu saja. Pun terjadi pada kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin pada kontestasi edisi 2019.
Dengan Pilpres terakhir yang dimenangkan oleh cawapres nonpartai, apakah yang dapat dipelajari dari hal tersebut?
Ma’ruf Amin Berpengaruh?
Kembali pada masa dimana istilah “cebong” dan “kampret” masih menjadi pemantik pertengkaran warganet jelang Pemilu 2019 lalu, politik seakan hanya terbagi menjadi dua aliran saja yakni kategori “nasionalis” dan “religius (Islam)”.
Saat itu, Jokowi-Ma’ruf melawan kubu Prabowo-Sandiaga sehingga wajar jika terjadi pembagian kategori aliran politik itu. Jokowi-Ma’ruf dianggap sebagai kubu “nasionalis” dimana pendukungnya dijuluki dengan istilah “cebong”, sedangkan Prabowo-Sandiaga berada pada kubu “religius” dimana pendukungnya dijuluki dengan istilah “kampret”.
Jauh sebelum Jokowi-Ma’ruf resmi mendeklarasikan sebagai capres dan cawapres, pendukung Jokowi sudah terkenal dengan julukan “cebong” sehingga mau tidak mau untuk menjadi lawan yang seimbang Jokowi perlu sosok religius yang dapat “membungkam” suara sekelompok kaum Islamis yang selama ini gencar menyerangnya.
Kala itu, Ma’ruf Amin diyakini dapat menjadi “tameng” terhadap kritik para “kampret” yang menganggap dirinya sebagai sosok yang anti-ulama dan anti-Islam. Dengan demikian, Ma’ruf Amin dipilih untuk “mengendalikan” sekelompok kaum tersebut yang seringkali menggunakan dan memolitisasi masjid sebagai medium “kampanye hitam” untuk menyerang Jokowi.
Dengan demikian, Ma’ruf Amin dianggap sebagai sosok yang dapat menetralisir citra Jokowi ketika politik identitas berbasis agama sedang “naik daun” terutama di tengah menguatnya pertumbuhan kaum Muslim kota konservatif.
Pada akhirnya, strategi itu justru membuahkan kemenangan dengan meraih 55,50 persen, sementara Prabowo-Sandiaga meraih 44,50 persen.
Berdasarkan dua fenomena kemenangan Boediono dan Ma’ruf Amin sebagai cawapres non partai, lantas apakah calon dengan latar belakang serupa benar-benar menjadi pilihan yang ideal untuk diwujudkan dalam politik praktis?
Samurai Tanpa Tuan?
Mengacu pada konsep politik praktis segala itikad, motif, kepentingan, dan tekat hadir secara beriringan serta saling berhimpit demi memperebutkan kekuasaan yang dapat berupa jabatan, kedudukan, maupun posisi.
Dengan demikian, cawapres nonpartai sekilas tampak tidak dapat diterapkan dalam politik praktis.
Seorang politisi nonparpol bahkan agaknya dapat direpresentasikan sebagai seorang ronin. Menurut publikasi berjudul Analisis Wujud Kesetiaan Samurai Jepang Dilihat dari Para Tokoh Cerita dalam Novel 47 Ronin Terjemahan John Allyn yang ditulis oleh Sihotang dan Sulastri Eli Sabet, ronin merupakan suatu sebutan untuk samurai yang tidak memiliki tuan (daimyo) pada zaman feodal Jepang pada tahun 1185-1868.
Novel 47 Ronin Karya John Allyn menceritakan tentang kesetiaan Bushi yang diwujudkan dalam bentuk balas dendam 47. Balas dendam itu merupakan bagian dari ajaran Kaum samurai sebagai golongan yang disegani oleh kaum prajurit yang mengabdikan hidupnya untuk majikan.
Dengan demikian, konsep ronin ini serupa dengan cawapres non partai yang tidak memiliki tuan dalam artian parpol yang berusaha mencari kekuasaan dan kepentingannya.
Di titik ini, dapat dilihat sesungguhnya cawapres nonpartai bisa saja menjadi benteng citra dari dimensi tarik menarik kepentingan politik dan mengimbangi persepi minor sang capres.
Frasa “tanpa tuan” boleh jadi menjadi impresi yang menguntungkan bagi sentimen minor pemilih terhadap parpol hingga kelemahan capres itu sendiri.
Kembali pada konteks Anies dan Partai NasDem, sang mantan Gubernur DKI Jakarta itu tampak menjadi bacapres yang dapat diakui dicintai oleh masyarakat. Bukan hanya memiliki citra Islami, pemerintahan yang bersih, dan memiliki banyak massa, dirinya juga disebut-sebut sebagai calon yang tak memiliki celah.
Namun, ada dua kegagalannya yang luput dari perhatian yakni terkait penanganan banjir dan kegagalan Anies dalam menangani wabah Pandemi Covid-19. Mungkin saja, dirinya akan mencari pasangan yang “netral” untuk menyempurnakan kegagalan tersebut.
Oleh karena itu, mungkin saja cawapres non partai dapat terpilih pada Pilpres 2024 mendatang untuk menjadi komplementer sosok capres. Tergantung akan faktor pelengkap yang menjadi titik kelemahan capres yang bersangkutan. (Z81)