Site icon PinterPolitik.com

Cawapres Luar Jawa Jokowi

Cawapres Luar Jawa Jokowi

Foto: Reuters

Jokowi kerap disarankan mencari pasangan dari luar Jawa agar dapat menang. Siapa sosok yang paling tepat?


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]ilpres 2019 sudah semakin dekat. Masa pendaftaran pesta demokrasi akbar tersebut kini tinggal menghitung bulan. Sejauh ini, kandidat petahana Presiden Jokowi menjadi salah satu calon yang telah siap menuju gelaran tersebut.

Sang petahana saat ini telah mengoleksi banyak dukungan partai politik. Relawan pendukungnya ramai-ramai berkonsolidasi untuk mengantarkannya kembali ke kursi istana. Hanya ada satu yang kurang bagi Jokowi dalam menyongsong 2019: calon wakil presiden.

Berbagai nama bermunculan untuk melengkapi kekurangan tersebut. Beragam kriteria disodorkan kepada mantan Wali Kota Solo tersebut. Salah satu wacana yang mengemuka adalah Jokowi harus mencari pasangan yang berasal dari luar Jawa.

Membentuk pasangan capres-cawapres dengan komposisi Jawa-non-Jawa merupakan hal yang kerap disarankan kepada calon kontestan Pilpres. Benarkah komposisi tersebut penting bagi kandidat yang ingin merebut kursi istana? Apakah dengan mencari pasangan non-Jawa akan mengamankan kemenangan bagi Jokowi?

Kombinasi Tradisional

Secara tradisional, memiliki pasangan dari luar Jawa telah lama dicontohkan oleh presiden-presiden terdahulu. Pendiri bangsa ini, Soekarno dan Muhammad Hatta menjadi contoh dari tradisi tersebut dengan membentuk pasangan yang kerap disebut dwitunggal.

Tradisi serupa berlanjut di era Soeharto yang beberapa kali memiliki wapres yang berasal dari luar Jawa. Tercatat Soeharto beberapa kali memberikan kursi wapres kepada orang di luar Jawa, seperti Adam Malik dan BJ Habibie.

Dalam studi yang dibuat oleh Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, dan Leo Suryadinata dari Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) Singapura, faktor kombinasi Jawa dan luar Jawa berpengaruh dalam kemenangan suatu calon. Mereka menggambarkan fenomena tersebut dalam penelitian mereka tentang Pilpres 2004.

Di dalam pemilihan tersebut, ada lima pasang calon yaitu SBY-Jusuf Kalla, Megawati-Hasyim Muzadi, Wiranto-Salahudin Wahid, Amien Rais-Siswono Yudohusodo, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Di antara calon-calon tersebut, pasangan SBY-JK menang setelah menyingkirkan Mega-Hasyim di putaran kedua.

Menurut Ananta, Arifin, dan Suryadinata, faktor komposisi Jawa dan non-Jawa memegang peran penting dalam kemenangan tersebut. Pasangan SBY-JK berhasil memadukan komposisi tersebut sehingga ada banyak suara di luar pulau Jawa yang dapat direbut.

Sementara itu, pasangan Mega-Hasyim, Wiranto-Wahid, dan Amien-Siswono adalah pasangan yang sama-sama berasal dari Jawa. Hal ini menyulitkan mereka untuk menarik pemilih dari luar Jawa. Untuk pasangan Hamzah-Agum, keduanya memang tidak berasal dari etnis Jawa. Akan tetapi, pasangan ini tidak terpilih karena faktor partai penggerak dan elektabilitas yang rendah.

Jika dilihat, di era pemilihan langsung sempat terjadi sebuah anomali. Pada tahun 2009, pasangan SBY-Boediono memenangi pemilihan dengan sangat mudah. Padahal, pasangan tersebut sama-sama berasal dari Jawa. Jika diperhatikan, kemenangan tersebut lebih banyak disebabkan oleh popularitas SBY yang tidak terbendung. Oleh karena itu, pasangan dari golongan mana pun tidak begitu banyak berpengaruh kepada keterpilihannya, termasuk saat memilih cawapres dari Jawa.

Lalu bagaimana dengan Jokowi? Jika melihat kondisi terkini, popularitas yang dinikmati mantan Gubernur Jakarta tersebut tidak benar-benar dalam posisi yang aman. Meski masih menjadi kandidat terpopuler, tingkat kepuasan terhadap rezimnya tidak serupa dengan SBY. Oleh karena itu, faktor cawapres menjadi sangat penting. Jokowi dipandang memiliki identitas yang sangat Jawa, sehingga cawapres non-Jawa seolah mutlak dibutuhkan.

Hanya Sekadar Vote-Getter?

Berdasarkan kondisi belakangan, terlihat bahwa kursi orang nomor satu di negeri ini seringkali diisi oleh orang dari etnis atau Pulau Jawa. Tercatat, hanya BJ Habibie orang dari luar Jawa yang pernah menjadi presiden di republik ini.

Banyak orang menganggap Indonesia menjadi sangat Jawa-sentris akibat banyaknya presiden yang berasal dari pulau tersebut. Beragam kebijakan -terutama di era Orde Baru- diputuskan dengan perspektif Jawa. Tidak hanya itu, pembangunan pun kerapkali terfokus pada pulau yang berada di selatan Kalimantan tersebut. Oleh karena itu, dorongan untuk memasangkan kandidat presiden asal Jawa dengan kandidat presiden dari luar Jawa selalu ada.

Pasangan dari luar Jawa idealnya menjadi representasi bagi elit non-Jawa yang kerap tidak mendapat kesempatan untuk menjadi orang nomor satu. Masyarakat di luar Pulau Jawa akan merasa lebih terwakili jika profil kandidat dari kalangan non-Jawa dapat terpenuhi.

Sangat penting bagi para capres untuk tidak menjadikan pasangan non-Jawa mereka hanya sebagai vote-getter saja. Jika begitu, maka mereka hanya menggunakan kandidat tersebut untuk kepentingan pribadi saja. Hal ini tidak sejalan dengan pemikiran Aristoteles, yaitu seorang pemimpin harus melakukan segala sesuatu untuk kepentingan yang lebih luas ketimbang pribadi.

Ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dari sekadar mendapat suara dari luar pulau Jawa saja. Kebutuhan akan representasi figur non-Jawa penting untuk membuat kebijakan dan pembangunan agar tidak hanya terfokus pada pulau Jawa. Aspek representasi, kebijakan, dan pembangunan, kemudian menjadi faktor penting dalam memilih cawapres dari luar Jawa.

Dalam konteks ini, kepentingan yang lebih luas adalah menjauhkan kebijakan yang semula Jawa-sentris menjadi lebih terdesentralisasi. Jika cawapres hanya dijadikan vote-getter saja, maka tidak ada keuntungan yang dinikmati oleh masyarakat non-Jawa sehingga the greater good atau kebaikan bersama yang dicita-citakan Aristoteles tidak terwujud.

Mencari Luar Jawa Ideal

Sejauh ini, ada banyak kandidat dari luar Jawa yang mampir di meja Jokowi. Calon orang nomor dua tersebut memiliki profil beragam mulai dari pimpinan partai politik, petinggi kepolisian, hingga pengusaha.

Pada survei yang dirilis oleh Poltracking Februari lalu, nama Jusuf Kalla masih menjadi figur non-Jawa yang paling populer sebagai cawapres dengan perolehan 15 persen. Di bawahnya ada  Surya Paloh 0,8%, Tito Karnavian (0,7%), Zulkifli Hasan (0,4%), Chairul Tanjung (0,3%), dan Oesman Sapta Odang (0,1%).

Jika ingin lengkap, idealnya Jokowi tidak hanya mencari wakil hanya atas alasan berasal dari luar Jawa semata. Ada kekurangan lain yang harus dilengkapi oleh orang nomor satu tersebut, jadi akan sangat ideal jika calon orang nomor duanya mampu memenuhi unsur nasionalis, agama, dan kalangan ekonomi bisnis (Nasaeb).

Berdasarkan hasil survei, dapat dilihat bahwa kriteria cawapres luar Jawa yang mendekati ideal adalah Chairul Tanjung (CT). Memang dari hasil survei tersebut, nama CT belum sepopuler nama-nama kebanyakan tokoh lainnya. Akan tetapi, CT diduga dapat memberi banyak nilai lebih kepada Jokowi ketimbang kandidat-kandidat lainnya.

Pengusaha tersebut tidak hanya berasal dari luar Jawa tetapi juga bisa mememuhi unsur nasionalis, agama, dan ekonomi bisnis. CT merupakan salah satu pengusaha besar di Indonesia yang masuk jajaran orang terkaya di negeri ini, sehingga mampu memenuhi unsur ekonomi bisnis. Ia juga pernah menjadi salah satu Ketua Dewan Penasihat MUI sehingga memenuhi unsur agama. CT juga disinyalir akan mudah diterima kalangan nasionalis karena pernah berkiprah di kabinet SBY yang berhaluan nasionalis-relijius.

Untuk urusan elektabilitas, Jokowi tidak perlu khawatir. Berdasarkan simulasi yang dibuat oleh Poltracking, pasangan Jokowi-CT mampu unggul menghadapi kandidat-kandidat seperti Gatot Nurmantyo atau Anies Baswedan. Artinya, peluang kemenangan ada jika Jokowi mau menggandeng pengusaha tersebut.

Kini, bola ada di tangan Jokowi, apakah dia mau mengambil tokoh non-Jawa seperti CT atau figur lainnya. Atau jangan-jangan Jokowi justru merasa lebih sreg dengan pasangan yang juga berasal dari Pulau Jawa? (H33)

Exit mobile version