Site icon PinterPolitik.com

Cawapres, Anies Menunggu Andika Pensiun?

634b9fdf7a1c7

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa bersama dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. (Foto: Kompas)

Meskipun nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ahmad Heryawan (Aher) santer disebut menjadi calon wakil presiden (cawapres) pendamping Anies Baswedan, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang akan segera pensiun bisa saja menjadi plot twist pendamping Anies. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Perang daya tawar antara Partai Demokrat-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan PKS-Ahmad Heryawan (Aher) sebagai kandidat calon wakil presiden (cawapres) Anies Baswedan bisa saja berakhir antiklimaks. Terlebih nama Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa bisa menjadi kuda hitam setelah pensiun tak lama lagi.

Ya, perseteruan tak kasat mata antara Partai Demokrat dan PKS masih terus terasa meskipun seolah tidak terlalu ditajamkan oleh masing-masing elitenya. Itu misalnya terlihat dari perkara munculnya spanduk Anies-Aher di Tangerang Selatan dan Bandung yang langsung dikomentari Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Partai Demokrat Renanda Bachtar.

Menurutnya, dukungan dan aspirasi juga terus mengalir untuk duet Anies-AHY. Dia mengatakan relawan duet Anies dan sang Ketua Umum (Ketum) partai bintang mersi telah bermunculan dan mendeklarasikan diri.

Tidak hanya di Jakarta dan kota-kota besar, Renanda menyebut dukungan itu juga telah datang dari luar Pulau Jawa seperti Pontianak, Kalimantan Barat dan Ambon, Maluku.

Kendati demikian, seperti presumsi yang telah disebutkan di atas, Renanda tampak tak terlalu mempertajam aroma persaingan politik yang ada di embrio poros koalisi Partai NasDem-Partai Demokrat-PKS yang diberi tajuk “Koalisi Perubahan” itu.

Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa kemunculan dukungan, baik terhadap Aher maupun AHY sebagai cawapres Anies merupakan tanda banyak masyarakat yang punya harapan besar ke koalisi.

Selain itu, inisiatif dan gelombang dukungan juga disebut menjadi indikator pendorong agar Koalisi Perubahan memang semestinya diaktualisasikan menyongsong kontestasi elektoral 2024.

Namun, ambisi Partai Demokrat dan PKS agaknya akan kandas untuk mengusung cawapres jagoannya, apalagi saat sosok Jenderal Andika telah purna tugas dari dinas kemiliteran.

Ya, setelah memasuki masa pensiun pada tanggal 21 Desember 2022, Jenderal Andika secara resmi berhak menentukan peran politiknya secara aktif. Nama mantan Komandan Paspampres itu bahkan ada di tiga besar nama calon presiden (capes) yang akan diusung dan muncul di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai NasDem pada medio Juni lalu.

Akhir cerita pencarian pendamping Anies pun bisa saja akan membuat harapan Partai Demokrat-AHY dan PKS-Aher pupus. Namun, benarkah demikian?

Andika Lebih Pantas?

Saat membicarakan komposisi cawapres, aspek komplementer yang menjadi penyempurna sang capres kiranya akan menjadi prioritas logika koalisi partai politik (parpol). Duet sipil-militer, nasionalis-agamis, hingga birokrat-teknokrat dan sebaliknya tampaknya kerap menjadi paket menarik di hadapan pemilih.

Lebih spesifik lagi dan berkorelasi dengan ketidakpastian global saat ini, menyoroti peran sosok berlatar belakang militer sebagai pendamping Anies sebagai calon pemimpin negara boleh jadi lebih ideal untuk dibawa ke meja analisis.

Eric Chewning, David Chinn, Elizabeth Young McNally, dan Scott Rutherford dalam publikasi yang diterbitkan di McKinsey berjudul Lessons from the military for COVID-time leadership menyebutkan pemimpin militer lebih terampil dalam menangani berbagai krisis, mulai dari perang hingga mengorganisir situasi tanggap darurat.

Meski tak selalu demikian, orang berlatar belakang militer dianggap menjadi kebutuhan negara untuk memimpin rakyatnya bertahan dan keluar dari berbagai terpaan dampak krisis dunia. Mulai dari dampak multiaspek pandemi global, ekses perang terbuka negara di Eropa (Rusia-Ukraina), hingga bayang-bayang resesi ekonomi.

Di titik ini, AHY seolah berada di atas angin dibanding Aher karena dia adalah mantan prajurit.

Namun, AHY kiranya tak boleh terlalu percaya diri berlebihan karena mungkin saja Anies sedang menanti sosok dengan pengalaman militer lain untuk mendampinginya, yang tak lain adalah Jenderal Andika.

Itu dikarenakan, Anies tentu akan melakukan perhitungan komprehensif mulai dari restu politik parpol-parpol koalisi, potensi kontribusi dan sentimen suara pemilih terhadap sang cawapres, hingga modal yang dimiliki si calon RI-2.

Jika memposisikan diri sebagai Anies yang telah diberi Accedere (Acc.) oleh Partai NasDem untuk menentukan cawapresnya, perhitungan “modal” yang dimiliki oleh Jenderal Andika dan AHY kiranya akan dikedepankan.

Intelektual Eropa yang juga sosiolog asal Prancis Pierre Bourdieu mendeskripsikan modal sebagai sekumpulan sumber kekuatan dan kekuasaan yang benar-benar dapat diutilisasi.

Artinya, istilah “modal” digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat, termasuk dalam politik.

Terdapat beberapa jenis modal yang disebutkan Bourdieu dalam bukunya yang berjudul The Forms of Capital, salah satunya adalah modal sosial, yang mungkin juga dijadikan indikator oleh Anies sebelum memilih Andika ataupun AHY.

Dalam pemikiran Bourdieu, modal sosial adalah properti individual yang bersumber dari status sosial seseorang. Modal sosial kemudian dapat dimanfaatkan untuk memperoleh kekuasaan atas sekumpulan orang atau individu yang menguasai sumber daya.

Jika dikomparasikan, modal sosial antara Andika dan AHY agaknya dapat dibandingkan berdasarkan impresi kinerja keduanya saat menjabat di militer.

Dalam hal ini, secara kasat mata hasil akhir komparasi agaknya dapat dengan mudah dilihat saat mengacu pada pencapaian dan prestasi hingga pangkat terakhir masing-masing.

Selain persoalan usia, AHY yang tampak “terpaksa” pensiun dini dengan pangkat Mayor boleh jadi memang telah tertinggal dari Jenderal Andika sejak awal.

Ditambah, pencapaian profesional Jenderal Andika di bidang keprajuritan lagi-lagi menjadi tolok ukur yang mustahil dilampaui AHY.

Pengalaman komplit Jenderal Andika di aspek tempur, intelijen, teritorial, doktrin dan pendidikan, hingga memimpin pasukan tiga divisi saat menjabat Pangkostrad, naik sebagai KSAD hingga Panglima TNI membuat portofolio militer AHY seolah tak berarti.

Terlebih, AHY langsung terjun ke dunia politik saat pensiun dini. Sebuah realitas yang membuat setiap manuvernya hampir pasti memantik tanggapan kontra, saat Partai Demokrat yang dipimpinnya kerap mengkritik pemerintah di tengah koalisi parpol pemerintah yang begitu besar dan kuat.

Atas rekam jejak tersebut, impresi pemilih kelak boleh jadi akan lebih positif menaungi Jenderal Andika dibandingkan AHY.

Keunggulan modal sosial Jenderal Andika itu pun dapat dikonversi menjadi modal politik sebagaimana dijelaskan Regina Birner dan Heidi Wittmer dalam Converting Social Capital into Political Capital. Persis seperti frasa “memperoleh kekuasaan” yang dikemukakan Bourdieu.

Lalu, akankah Anies benar-benar memilih Andika nantinya sebagai cawapres?

Anies-Andika Duet Matang?

Secara momentum politik, kemungkinan munculnya nama cawapres Anies kiranya memang akan mengemuka beriringan dengan periode masa pasca pensiun Jenderal Andika di awal tahun 2023.

Dalam dunia politik, timing atau momentum menjadi hal yang cukup krusial untuk menganalisis mengapa sebuah aksi-reaksi para aktor politik dikemukakan, sebagaimana dijabarkan Luis Rubio dalam publikasinya Time in Politics.

Menurut Rubio, ketepatan timing sangat esensial dalam komunikasi dan manuver politik. Preferensi timing yang dipilih dapat menentukan perbedaan output yang cukup signifikan dari sebuah interaksi politik.

Sementara itu, dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events, John Gibson menyatakan bahwa momentum tertentu dalam politik dapat digunakan untuk memaksimalkan benefit politik atau meminimalkan risiko dan biaya sang aktor politik.

Berkaca pada alotnya persaingan berebut cawapres di antara Partai Demokrat- AHY dan PKS-Aher hingga detik ini, kemungkinan mendengar nama cawapres Anies tampaknya cukup kecil terjadi di tahun ini.

Karena jika serta merta dimunculkan, probabilitas terjadinya turbulensi Koalisi Perubahan bisa saja meningkat dan membubarkan mufakat politik di tengah jalan.

Apalagi, Anies masih memiliki waktu paling tidak mulai awal tahun 2023 untuk mengambil sikap menentukan cawapres yang mendapat restu parpol-parpol pengusungnya.

Selain secara momentum bertepatan dengan Jenderal Andika yang telah pensiun, nama sang mantan KSAD juga agaknya dapat menjadi alternatif sekaligus peredam perang daya tawar Partai Demokrat dan PKS.

Di momentum itu pula, Jenderal Andika akan tampak menjadi “buah yang matang” jika dibandingkan dengan sosok berlatar belakang militer lain, yakni AHY untuk mendampingi Anies, yang kebetulan juga telah matang sebagai Gubernur di Jakarta dan siap naik kelas ke level nasional.

Namun demikian, penjabaran di atas tentu masih mungkin untuk berubah dengan mengacu pada dinamisnya ekosistem politik Indonesia plus serangkaian kejutan yang kerap terjadi.

Yang jelas, jika Andika benar-benar akan menjadi cawapres Anies, dampak politik lanjutannya terhadap Partai Demokrat dan PKS dalam koalisi akan cukup menarik untuk dinantikan. (J61)

Exit mobile version