Site icon PinterPolitik.com

Cawapres Akomodatif, Mengakomodasi Rakyat?

Cawapres Akomodatif, Mengakomodasi Rakyat?

Dok. Pedoman Bengkulu

Calon wakil presiden Jokowi dan Prabowo, adalah hasil politik akomodatif kepentingan parpol. Namun sudahkah mengakomodasi kepentingan rakyat juga?


PinterPolitik.com

“Hanya karena Anda tidak tertarik dengan politik, tak berarti politik tidak memanfaatkan Anda.” ~ Pericles

[dropcap]D[/dropcap]rama penentuan calon wakil presiden, baik di kubu Joko Widodo maupun Prabowo Subianto, berakhir dengan hasil yang mengejutkan. Bagaimana tidak, kedua calon presiden yang akan kembali melakukan pertarungan ulang di Pemilihan Presiden tahun depan ini, sama-sama mengumumkan nama yang di luar pemikiran banyak orang.

Di kubu Jokowi, sebelumnya banyak pihak sudah memprediksikan bahwa yang akan mendampingi sang petahana tak lain adalah Pakar Tata Negara Mahfud MD. Namun saat deklarasi, ternyata Presiden Ketujuh tersebut malah menyatakan kalau KH Ma’ruf Amin lah yang akan maju bersamanya di Pilpres 2019.

Terpilihnya Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini, diakui merupakan keputusan yang di luar dugaan. Sebagai presiden yang citranya dekat dengan generasi muda, tentu mengherankan Jokowi memilih pendamping yang usianya bisa dibilang sangat senior. Tak heran bila ia dituding sebagai sosok pragmatis yang hanya mencari kemenangan semata.

Begitu pun di kubu Prabowo, awalnya beberapa nama yang sempat muncul akan mendampinginya adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Salim Segaf Al-Jufri, dan Abdul Somad. Hanya saja, dari ketiga nama tersebut tidak satu pun sosok yang mampu diterima oleh seluruh parpol koalisi. Akibatnya, kebuntuan pun sering terjadi.

Namun sehari jelang penutupan pendaftaran capres-cawapres, Sandiaga Uno kabarnya memberikan mahar masing-masing Rp 500 miliar pada PAN dan PKS agar dapat diterima sebagai cawapres Prabowo. Manuver dadakan Sandi ini, terbukti ampuh dalam mencapai kesepakatan. Bahkan Demokrat pun akhirnya menyetujui keputusan tersebut.

Di luar benar tidak isu uang mahar tersebut, namun munculnya nama Kyai Ma’ruf dan Sandiaga, tentu menciptakan pertanyaan dan juga polemik di kalangan pengamat maupun masyarakat. Terutama dari kapabilitas keduanya, mampukah mengakomodir harapan masyarakat dan menjawab tantangan negara ini ke depannya?

Cawapres Jalan Tengah Koalisi

“Para politisi menyatakan diri mereka merah, putih, dan biru di wajahnya.” ~ Clare Boothe Luce

Tak seperti di Pilpres lainnya, penentuan cawapres di kontestasi paling penting negeri ini memang begitu menjadi sorotan di masyarakat. Selain sifat koalisi yang terbentuk begitu cair serta dinamis, penentuan cawapres ini pun diwarnai dengan ketegangan dan tarik menarik kepentingan antar parpol, baik di kubu Jokowi maupun di kubu Prabowo.

Sebagai petahana dengan elektabilitas melebihi rivalnya, Jokowi sempat dipercaya akan mampu berkuasa lagi. Sehingga timbul anggapan, siapapun wakilnya pasti akan menang. Namun paska Pilkada DKI Jakarta lalu, pandangan itu berubah dan mengakibatkan Jokowi harus mencari cawapres yang mampu merangkul umat Islam.

Koalisi gemuk dengan sembilan parpol di dalamnya, juga memberikan tekanan tersendiri bagi Jokowi. Apalagi baik PDI Perjuangan, Golkar, PPP, dan PKB, saling berebut untuk mendapatkan jatah kursi cawapres. Belakangan, PBNU pun ikut memberikan rekomendasi cawapres yang mau tak mau harus ikut dipertimbangkan oleh Jokowi.

Munculnya nama Kyai Ma’ruf, dipercaya merupakan jalan tengah bagi Jokowi atas tuntutan parpol koalisinya, terutama syarat dari PDI Perjuangan untuk tidak memberikan karpet merah pada politisi muda yang mampu berlaga di Pilpres 2024. Gagalnya Mahfud MD sebagai cawapres, juga disebut-sebut akibat adanya penolakan dari PBNU dan PKB.

Di kubu Prabowo yang koalisinya ‘hanya’ ada empat parpol saja, kondisinya pun tak berbeda. Bahkan mantan Danjen Kopassus tersebut sempat dikabarkan tersandera oleh tuntutan PKS dan GNPF Ulama yang mengharapkan dirinya memilih cawapres yang telah mereka rekomendasikan dan mendapat restu dari Rizieq Shihab.

Kondisi semakin rumit dengan masuknya Demokrat, sebab sebelumnya Prabowo sempat merayu untuk menjadikan AHY sebagai pendampingnya. Sehingga tak heran ketika nama Sandiaga yang terpilih, beberapa kader Demokrat sempat merasa emosi. Terlebih, diusungnya Sandiaga juga diiringi dengan adanya isu transaksional jabatan.

Dipilihnya Wakil Gubernur DKI Jakarta ini sendiri menimbulkan tanda tanya kembali, terutama terhadap dukungan GNPF Ulama dan Persaudaraan Alumni 212, sebab tak satupun rekomendasinya diterima Prabowo. Sebagai pengusaha muslim muda, Sandiaga juga tidak memiliki elektabilitas yang tinggi di masyarakat.

Berdasarkan cara memilih cawapresnya, kedua capres ini memang lebih menekankan pada figur yang mampu diterima oleh koalisi semata, terlepas dari ekseptabilitasnya di masyarakat. Pengambilan keputusan jenis ini, menurut teori akomodasi Howart Giles, merupakan upaya jalan tengah seorang pemimpin dalam memenuhi semua tuntutan yang dibebankan kepadanya.

Sudahkah Mengakomodasi Masyarakat?

“Seorang politisi memikirkan pemilu berikutnya; seorang negarawan memikirkan generasi selanjutnya.” ~ James Freeman Clarke

Mengakomodir kepentingan koalisi parpol dalam menentukan cawapres, sepertinya merupakan hal yang lumrah. Namun pertanyaan berikutnya, apakah cawapres yang dipilih berdasarkan teori akomodasi itu juga mampu mengakomodasi keinginan masyarakat dan kapabel dalam membantu kepemimpinan negeri?

Menilik perjalanan karir Kyai Ma’ruf, dari sebelum hingga menjabat sebagai Ketua MUI dan Rais A’am PBNU, beliau memang bisa dibilang merupakan cawapres ideal bagi Jokowi dalam merengkuh kalangan muslim, terutama dari NU dan Muhammadiyah. Begitu juga pengalamannya di parlemen, baik di DPR maupun di MPR.

Namun, apakah Kyai Ma’ruf cukup lincah apabila harus menggantikan posisi presiden saat berhalangan? Mengingat usia beliau yang cukup sepuh. Terlihat pula, Jokowi sepertinya memiliki kepercayaan diri sangat tinggi akan elektabilitas dan kemampuannya merangkul pemilih milenial, padahal jumlahnya diperkirakan lebih dari 40 persen.

Dengan adanya tantangan berat di sektor ekonomi yang merupakan kelemahan paling utama Jokowi, apakah Kyai Ma’ruf mampu merangkul para pebisnis dan pengusaha dari segala kalangan? Sebagai pionir ekonomi syariah dan pendiri bank syariah pertama tanah air, apakah beliau juga akan mampu beradaptasi dengan perekonomian kapitalis global?

Di sisi lain sebagai seorang pengusaha muslim, harus diakui Sandiaga mampu mewakili kalangan nasionalis, agamis, dan insan bisnis (Nasain). Sebagai pendiri Saratoga dan salah satu orang terkaya di negeri ini, tantangan untuk mendatangkan investasi dari dalam dan luar negeri mungkin bisa dijawab melalui keahliannya tersebut.

Tapi tak bisa dipungkiri juga kalau dalam dunia pemerintahan, pengalaman dan kemampuan Sandiaga masih belum terbukti sepenuhnya, mengingat baru setahun menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta. Itupun kebijakan-kebijakan yang diberlakukan bersama Gubernur Anies Baswedan, kerap menimbulkan pro dan kontra.

Begitu pun dari sisi dukungan, walau koalisi oposisi memiliki mesin politik penggalang massa dari PA 212 dan gerakan #2019gantipresiden. Namun kekuatan massa tersebut, belum tentu efektif digunakan di wilayah-wilayah dengan penduduk yang bersifat tradisional, terutama wilayah berbasis NU seperti Jabar, Jatim, dan Jateng.

Berdasarkan analisa kelemahan dan kelebihan di atas, terlihat kalau pemilihan cawapres Jokowi dan Prabowo nyaris saling bertolak belakang. Sikap Jokowi yang lebih mengutamakan stabilitas dengan menggandeng ulama besar, menurut ilmuwan politik AS Harry Benda dan Herbeth Feith, termasuk dalam tipe kepemimpinan solidarity makers.

Sementara Prabowo yang memilih Sandi dengan berdasarkan pada latar belakangnya sebagai seorang pengusaha muslimnya, menurut Benda dan Feith, merupakan tipe pemimpin yang cenderung problem-solver. Sebab Sandi terpilih berdasarkan pemikiran pragmatis dan birokratis-teknokatis Prabowo dalam menyelesaikan masalah.

Harus diakui, terciptanya pasangan Jokowi – Kyai Ma’ruf Amin dan Prabowo – Sandiaga ini, ikut menciptakan dinamika tersendiri dalam masyarakat. Bukan tidak mungkin, kedua nama tersebut mampu mengubah persepsi pemilih di Pilpres tahun depan. Sekarang tinggal masyarakat yang menentukan mana yang terbaik bagi dirinya. Sebab diyakini atau tidak, keterpilihan mereka akan mempengaruhi kehidupan negara ini ke depannya. (R24)

Exit mobile version