Sorotan langsung tertuju pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasca Mahkamah Konstitusi (MK) melontarkan pernyataan menarik, yakni presiden yang telah menjabat selama dua periode bisa menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya. Namun, sorotan itu kiranya justru menguak kelemahan Jokowi.
Kesempatan bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk duduk di kursi eksekutif lebih lama baru saja terbuka. Itu setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan presiden yang telah menjabat selama dua periode bisa menjadi calon wakil presiden untuk periode berikutnya.
Juru Bicara (Jubir) MK Fajar Laksono menjelaskan tak ada peraturan yang melarang hal tersebut. Akan tetapi, konteks etika politik menjadi persoalan lain yang menurutnya patut menjadi perhatian.
Fajar tampak cukup lugas menafsirkan Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi,”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Dalam perspektifnya, bunyi Pasal itu tidak mengandung larangan atau variabel hambatan lain bagi presiden dua periode untuk menjadi wakil presiden di periode berikutnya.
“Kata kuncinya kan, dalam jabatan yang sama,” begitu pernyataan penutup sang Jubir MK.
Tafsir konstitusi berbeda datang dari peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadhli Ramadhanil. Dia mengatakan bahwa presiden dua periode sebaiknya tidak kembali ikut kontestasi pilpres meski hanya menjadi cawapres.
Meskipun sepakat jika Pasal 7 UUD 1945 yang masih bisa diperdebatkan, Fadhli tetap berada di posisi yang menganggap pasal itu melarang presiden dua periode menjadi cawapres di periode berikutnya.
Di tempat dan periode berbeda, sebelum MK melontarkan penegasan tersebut, Musyawarah Rakyat (Musra) I yang digelar di Bandung, Jawa Barat pada 28 Agustus lalu juga menyuarakan “perpanjangan” masa jabatan Presiden Jokowi.
Sebagai forum relawan Jokowi untuk menghimpun suara masyarakat atas harapan nama calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada 2024, Musra dinilai mengantongi restu sang kepala negara.
Bisa ditebak, hasil musyawarah sendiri menasbihkan Jokowi sebagai capres harapan di 2024 mendatang.
Ketua Dewan Pengarah Musra I Andi Gani Nena Wea mengatakan Presiden Jokowi memberi izin hasil Musra dipublikasikan kepada masyarakat apa adanya.
Kendati begitu, ekspektasi terhadap sosok Jokowi sebagai pemimpin terkesan berlebihan atau cenderung menjadikan mantan Wali Kota Solo itu terkesan “overrated”. Terlebih, ketika terus dipaksakan menjabat lebih dari dua periode. Mengapa demikian?
Kepunahan Populisme Jokowi?
Dalam telaah kritis, kiranya muncul satu pertanyaan yang semestinya mengemuka di balik wacana memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi, tidak terkecuali dalam konteks cawapres.
Pertanyaan itu tak lain ialah, mengapa sosok Jokowi begitu dielu-elukan hingga harus melanjutkan kepemimpinannya? Benarkah kepemimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta itu sedemikian baiknya?
Selama ini, narasi yang bergulir seolah hanyut begitu saja berbicara tentang patut atau tidaknya perpanjangan masa jabatan, tanpa mempertanyakan kualitas kepemimpinan sebagai substansi utama.
Padahal, Presiden Jokowi selama ini dianggap sukses duduk di Istana berkat populisme dan kelihaiannya dalam mencitrakan diri. Politisi senior PDIP Panda Nababan dalam bukunya Panda Nababan Lahir Sebagai Petarung: Sebuah Otobiografi, Buku Kedua: Dalam Pusaran Kekuasaan, turut menyiratkan hal serupa.
Meskipun dikatakannya dalam konteks pujian, Jokowi disebut cukup piawai dalam memainkan politik simbol atau bahasa kasarnya pencitraan.
Senada dengan Panda, Kimly Ngoun dalam What Southeast Asian Leaders Can Learn from Jokowi mengatakan eks memiliki kemampuan memainkan politik simbol yang sangat mumpuni.
Ngoun melakukan komparasi dengan pemimpin negara lain di Asia Tenggara dan menyebut hal itu menjadi pembeda sosok Jokowi.
Nyatanya, publik tanah air kini lebih sensitif terhadap politik simbol atau pencitraan. Apalagi, generasi milenial dan generasi Z sebagai pemilih mayoritas di 2024 juga memiliki kepekaan yang sama terhadap karakteristik kepemimpinan seperti Jokowi.
Pada awal tahun 2022, Lembaga Penelitian Masyarakat Millennial (LPMM) merilis respons generasi muda terhadap politik Indonesia. Hasilnya, 91,7 persen generasi milenial dan z menyatakan muak dengan politik pencitraan.
Oleh karena itu, karakteristik pemimpin populis seperti Jokowi kemungkinan tak lagi relevan di 2024, kendatipun hanya diplot sebagai cawapres.
Selain itu, bagi yang mengikuti pemberitaan politik nasional, agaknya tidak asing dengan pernyataan “Jokowi adalah boneka”.
Sejumlah pihak, terutama oposisi, menilai Jokowi hanyalah “wayang” yang dimainkan oleh elite-elite partai di belakangnya.
Ketika menariknya ke dalam literatur politik, ciri tersebut disebut dengan puppet leader atau pemimpin boneka. Dennis R. Young dalam tulisannya Puppet Leadership: An Essay in honor of Gabor Hegyesi, menjelaskan puppet leader memiliki dua elemen fundamental.
Pertama, terdapat penarik tali (string-pullers), yakni kelompok atau individu kuat yang mengontrol tindakan dan keputusan pemimpin tanpa dianggap melakukannya. Entitas itu kerap disebut sebagai oligarki.
Kedua, kandidat puppet leader bersedia untuk berkompromi di bawah kondisi politik sedemikian rupa jika nantinya terpilih.
Menurut Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy and Democracy in Indonesia, tanpa adanya oligarki, potensi Jokowi untuk menjadi kandidat tidak mungkin teraktualisasi.
Indonesianis lainnya, yakni Vedi Hadiz dan Richard Robison, juga menyebutkan bahwa Jokowi pada akhirnya bersekutu dengan berbagai kelompok oligarki Orde Baru agar dapat menang menjadi RI-1.
Atas simpul-simpul politik tersebut, tidak heran kemudian label boneka kerap disematkan ke Jokowi.
Konteks yang terkait impresi “overrated” dan kualitas kepemimpinan itu juga yang kemudian membuat dorongan untuk meneruskan kepemimpinan Jokowi, meski hanya sebagai cawapres, dipertanyakan.
Lalu, akankah Jokowi benar-benar comeback di 2024 sebagai kandidat RI-2?
Jokowi Riding The Tiger?
Jika benar-benar berambisi mempertahankan posisinya di eksekutif, pertanyaan lanjutan agaknya mengemuka, yakni apakah Presiden Jokowi saat ini sedang “mengendarai kuda” atau “mengendarai harimau”?
Jika mengendarai kuda, tentu sang penunggang akan tetap aman saat turun dari pelana. Sementara jika mengendarai harimau, dapat dipastikan kekhawatiran akan muncul dari potensi serangan kucing besar tersebut.
Dengan kata lain, presumsi pihak-pihak yang selama ini mendorong keberlanjutan jabatan Presiden Jokowi bisa saja merasa tak lagi mendapat keuntungan atau bahkan terancam jika sang kepala negara turun takhta.
Namun, jika Presiden Jokowi tidak ingin reputasinya tercatat dalam sejarah sebagai pemimpin ambisius dalam konotasi negatif, alangkah baiknya jika nanti ia tak mengikuti kontestasi elektoral 2024.
Walaupun MK seolah telah memberikan lampu hijau, kepentingan bangsa yang lebih luas, yakni regenerasi kepemimpinan yang substansial kiranya patut menjadi pertimbangan utama.
Di dalam sejarahnya, hakikat kepemimpinan layaknya sebuah siklus yang terus berganti, sebesar apapun upaya mempertahankannya. Filsuf dan sosiolog Italia Vilfredo Pareto menyebutnya sebagai konsep sirkulasi elite.
Konsep tersebut menjelaskan bahwa dalam setiap era, akan selalu ada sirkulasi atau perputaran elite. Baik elite yang satu digantikan oleh elite yang lainnya, maupun aktor atau pihak non-elite yang justru menggantikan elite yang tengah berkuasa.
Marcus Mietzner dalam Jokowi rise of polite populist turut menjelaskan hal tersebut dalam aspek kepemimpinan Indonesia.
Dia menyiratkan bahwa siklus kemerosotan (decline) dan kebangkitan (rise) dialami oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat transisi kepemimpinan kepada Jokowi sebagai khittah politik dan pemerintahan tanah air.
Mengutip gagasan filsuf Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel tentang zeitgeist atau roh zaman, karakter kepemimpinan Jokowi pasca 2024 boleh jadi kurang relevan dengan upaya akselerasi multiaspek bangsa Indonesia nantinya.
Oleh karena itu, glorifikasi yang terkesan semu atas sebuah kepemimpinan satu sosok tertentu kiranya harus segera dihentikan.
Bukankah amanah reformasi yang dicapai dengan berdarah-darah menghendaki terciptanya sirkulasi kepemimpinan bangsa yang sehat dan mewakili kepentingan rakyat banyak? (J61)