Publik dihebohkan dengan berita pengecatan pesawatan Kepresidenan dari warna biru muda menjadi merah. Berbagai pihak menyebutnya berfoya-foya dan tidak menunjukkan sense of crisis karena dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Apakah kehebohan ini disengaja?
“Sometimes I think the human animal doesn’t really need food or water to survive, only gossip.” – Steve Toltz, novelis asal Australia
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan agar para pembantunya memiliki sense of crisis di tengah hantaman pandemi Covid-19. Menariknya, diksi sense of crisis ini kemudian dipakai oleh masyarakat luas untuk mengkritik berbagai pernyataan atau kebijakan pejabat yang dinilai kontradiktif dengan penanganan pandemi.
Pada 7 Juli, misalnya, ketika Wakil Sekretaris Jenderal PAN Rosaline Irene Rumaseuw meminta pemerintah menyediakan Rumah Sakit (RS) khusus bagi pejabat negara, berbagai pihak mempertanyakan sense of crisis sang politisi.
Masih dari Senayan, diksi sense of crisis kembali menggema selepas Sekretariat Jenderal DPR mengeluarkan surat bernomor SJ/09596/SETJEN DPR RI/DA/07/2021 yang mengatur soal fasilitas isolasi mandiri (isoman) gratis di hotel bintang tiga bagi anggota DPR yang terkena Covid-19.
Terbaru, kali ini dari Istana. Di tengah dorongan untuk melakukan realokasi anggaran, pemerintah justru melakukan cat ulang pesawat Kepresidenan dari biru muda menjadi warna merah. Dengan biaya yang menelan angka Rp 2 miliar, berbagai pihak kembali mengeluarkan diksi pamungkas, di mana sense of crisis pemerintah? Apa urgensi pengecatan pesawat di tengah pandemi?
Baca Juga: Tidak Bermoralnya Perdebatan Angka Kematian Covid-19
Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono telah memberikan penjelasan terkait hal ini. Tegasnya, pengecatan pesawat Kepresidenan atau Boeing Business Jet 2 (BBJ 2) telah direncanakan sejak 2019. Namun, karena pada saat itu pesawat BBJ 2 belum masuk jadwal perawatan rutin, yang dicat terlebih dahulu adalah heli Super Puma dan pesawat RJ.
Mengacu pada interval waktu perawatan rutin yang harus dipatuhi, perawatan pesawat BBJ 2 jatuh pada 2021. Demi efisiensi, pengecatan dilakukan bersamaan dengan perawatan pesawat.
Well, terlepas dari berbagai sentimen yang ada, pengecatan pesawat Kepresidenan mungkin soal waktunya yang benar-benar tidak tepat. Namun, mungkinkah ada kapitalisasi dari momentum yang tidak tepat ini?
Pemerintah atau Media?
Mantan konsultan politik Gedung Putih, Ed Rogers dalam tulisannya The politics of noise memiliki tesis menarik terkait pertanyaan tersebut. Menurutnya, isu-isu politik memang lumrah “dimainkan” untuk kepentingan tertentu oleh pemerintah yang tengah berkuasa.
Dalam berbagai kasus, untuk menghindari kristalisasi isu tertentu, pemerintah disebut kerap melakukan manajemen isu. Pada saat ini, isu pandemi dan ekonomi yang tengah memburuk dapat menjadi alasan untuk melakukan strategi komunikasi tersebut.
Secara khusus, strategi ini dikenal sebagai red herring. Istilah ini dipopulerkan oleh jurnalis Inggris, William Cobbett pada tahun 1807. Saat itu, Cobbett menulis cerita tentang bagaimana ia menggunakan ikan haring merah (red herring) untuk mengalihkan perhatian anjing dari mengejar kelinci.
Cobbett menggunakan anekdot ini untuk mengkritik beberapa rekan jurnalisnya yang saat itu terlena memberitakan informasi palsu tentang kekalahan Napoleon Bonaparte, sehingga teralihkan untuk memberitakan urusan domestik yang jauh lebih penting.
Seperti dalam cerita Cobbett, pada praktiknya, red herring digunakan dengan cara melempar isu baru agar isu utama tidak lagi diperhatikan – setidaknya memecah fokus.
Nah, jika benar tengah terjadi manajemen isu, pengecatan pesawat Kepresidenan tentu merupakan ikan haring merah yang memikat.
Namun, apabila melihat polanya, ada keganjilan apabila mengatakan isu pengecatan pesawat ini merupakan manajemen isu dari pemerintah. Pasalnya, isu ini tidak dihembuskan oleh pemerintah, melainkan dari pemberitaan media atas cuitan pengamat penerbangan Alvin Lie di Twitter pribadinya.
“Hari gini masih aja foya-foya ubah warna pesawat Kepresidenan. Biaya cat ulang pesawat setara B737-800 berkisar antara USD 100 ribu sampai dengan USD 150 ribu. Sekitar Rp 1,4 miliar sampai dengan Rp 2,1 miliar,” begitu cuitnya pada 3 Agustus.
Lantas, mungkinkah kehebohan ini adalah buah dari kapitalisasi media?
Baca Juga: Kebisingan Politik, Salah Jokowi atau Media?
Bagi mereka yang bergelut, atau setidaknya mengenal dunia media, mestilah lumrah dengan adagium bad news is good news. Kabar buruk adalah pemberitaan yang bagus.
Berawal dari cuitan Alvin Lie yang menggunakan narasi tendensius, berbagai media kemudian memberitakannya dengan berbagai angle atau sudut pandang. Mulai dari diksi pamungkas sense of crisis, berfoya-foya, urgensi pengecatan, hingga keamanan pesawat.
Singkatnya, cuitan Alvin Lie soal pengecatan pesawat miliaran rupiah di tengah pandemi, benar-benar merupakan bahan pemberitaan yang bagus. Simpulan ini senada dengan tulisan Steven Feldstein dan Peter Pomerantsev yang berjudul Democracy Dies in Disinformation. Menurut mereka, untuk menghasilkan uang di internet, media harus mengikuti pasar iklan yang lebih menghargai berita clickbait dan isu polarisasi.
Menarik ke belakang, bukan kali pertama isu pesawat Kepresidenan menjadi isu hangat. Pada April 2014, ketika pemerintah mendatangkan pesawat BBJ 2 dengan cat berwarna biru muda, berbagai pihak juga melayangkan kritik. Tentunya kritik-kritik tersebut diberitakan dengan masif oleh media.
Mulai dari sentimen soal warna pesawat yang tidak menarik, hingga adanya dugaan unsur politik karena Partai Demokrat khas dengan warna biru.
Sekarang pertanyaannya, apakah kehebohan ini merupakan bagian dari manajemen isu pemerintah atau kapitalisasi isu media? Namun, bagaimana jika akar masalahnya bukan pada keduanya?
Si Penggosip
Jared Diamond dalam bukunya The World Until Yesterday: Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Masyarakat Tradisional? menceritakan kisah menarik dari pengalamannya mengunjungi suku Fore di Papua. Dalam temuannya, Jared melihat bagaimana gemarnya orang-orang Fore bergosip atau membicarakan hal-hal remeh, seperti berapa ubi yang belum dimakan.
Bukan hanya orang-orang Fore suku tradisional yang senang bergosip, melainkan juga orang-orang Pigmi di Afrika. Tidak seperti pandangan peyoratif orang-orang Barat pada umumnya dalam melihat kebiasaan bergosip suku Pigmi, Jared memberikan pembelaan menarik.
Menurutnya, kebiasaan bergosip suku tradisional tidak ubahnya seperti kebiasaan kita. Mereka melakukannya sebagai sarana hiburan karena tidak memiliki telepon pintar seperti yang sekarang kita pegang. Lagipula, apabila merenungkan kebiasaan kita, baik dalam interaksi langsung maupun di internet, bukankah kita juga bergosip?
Kita membicarakan pakaian artis tertentu, rilis lagu mereka, kekasih baru mereka, hingga hal-hal remeh seperti makan bubur harus diaduk atau tidak. Apa bedanya kita dengan orang-orang Fore atau Pigmi?
Robin Dunbar dalam tulisannya Gossip in Evolutionary Perspective bahkan menyebut asal usul gosip sebagai mekanisme untuk mengikat kelompok sosial.
Baca Juga: Jozeph Paul Zhang, Kapitalisasi Isu?
Kembali pada Feldstein dan Pomerantsev, bukankah media memberitakan isu-isu panas karena mengikuti pasar, yakni masyarakat itu sendiri. Pun begitu dengan manajemen isu dari pemerintah, strategi itu dapat dilakukan karena masyarakat memang responsif terhadap isu, khususnya berita miring.
Penulis buku Sapiens: A Brief History of Humankind, Yuval Noah Harari dalam wawancaranya bersama Alec Russell juga menyebutkan bahwa masyarakat selalu lebih tertarik pada isu-isu politik daripada isu bencana alam, seperti pandemi.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan, terlepas dari kehebohan isu pengecatan pesawat Kepresidenan merupakan manajemen isu pemerintah atau kapitalisasi media, akar persoalannya mungkin adalah Homo Sapiens itu sendiri. Kita memang suka bergosip.
Seperti kata Steve Toltz di awal tulisan, terkadang yang kita butuhkan untuk bertahan hidup bukanlah makanan atau air, melainkan adalah gosip. (R53)