Site icon PinterPolitik.com

Cari Untung SP3 Rizieq

Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab. (Foto: Antara Foto)

Aroma politik tercium dari SP3 yang diterima Rizieq Shihab. Seperti ada pembalikan arah dari polisi yang semula yakin kasus akan berlanjut?


PinterPolitik.com

[dropcap]R[/dropcap]izieq Shihab kini bisa sedikit bernapas lega. Salah satu kasus hukum yang tengah menderanya kini telah resmi dihentikan melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian  Penyidikan (SP3). Praktis, salah satu beban telah resmi terangkat dari punggungnya.

Tidak ada angin tidak ada hujan, Polda Jawa Barat meringankan penderitaan Rizieq dengan menghentikan kasus penodaan  lambang negara yang melibatkan Rizieq. Padahal, kasus ini telah melalui proses yang panjang dan berlarut-larut.

Seketika publik menduga ada motif politik di balik penghentian kasus tersebut. Bagi banyak orang, penerbitan SP3 tersebut terlampau janggal dan dianggap berbau politis. Tudingan intervensi langsung mengemuka akibat penghentian kasus tersebut.

Jika benar bersifat politis, maka kemungkinan ada pihak yang diuntungkan dari penghentian kasus tersebut. Dugaan soal adanya barter kasus atau kesepakatan lain otomatis mengemuka akibat anggapan tersebut. Lalu siapa yang diuntungkan dari SP3 yang dinikmati Rizieq?

Jalur yang Berliku

Pengusutan perkara yang menimpa Rizieq Shihab memang tergolong berliku. Pasca menghebohkan negeri dengan Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid, pendiri FPI tersebut ditimpa banyak kasus hukum. Salah satu kasus yang membelitnya adalah kasus penodaan Pancasila yang dilaporkan oleh Sukmawati Soekarnoputri ke Polda Jabar.

Sukmawati menganggap Rizieq telah melakukan penodaan terhadap Pancasila di dalam salah satu ceramahnya. Tidak hanya itu, Rizieq juga dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap Presiden Soekarno.

Meski telah dilaporkan sejak 2016, kasus tersebut tidak kunjung menunjukkan titik terang. Polda Jabar sempat percaya diri bahwa berkas kasus ini akan segera lengkap (P21). Polisi juga merasa yakin bahwa bukti yang dikantongi telah mencukupi. Akan tetapi, kepercayaan diri tersebut sepertinya hanya di bibir saja.

Polisi sempat menyerahkan berkas kasus tersebut kepada kejaksaan. Akan tetapi, kejaksaan menyatakan bahwa berkas polisi tersebut masih perlu dilengkapi. Setelah pengembalian berkas tersebut, ternyata polisi tidak juga melengkapi berkas yang diminta kejaksaan.

Kasus tersebut pada akhirnya mencapai ujung melalui penerbitan SP3. Kepolisian berdalih bahwa kasus ini tidak cukup bukti untuk dilanjutkan. Pernyataan yang membingungkan mengingat mereka sempat percaya diri bahwa kasus ini akan segera P21.

Polda Jabar mengungkap bahwa SP3 Rizieq telah terbit sejak akhir Februari 2018. Meski begitu, penghentian kasus ini baru terungkap belakangan. Ketika dimintai keterangan rinci tentang kapan dan detil penomoran surat ini, polisi juga tidak mampu menjawabnya.

Penghentian tersebut tergolong membingungkan, mengingat  bahwa polisi sudah percaya diri kasus ini akan bergulir hingga ke pengadilan. Polisi tampak seperti berbalik arah secara tiba-tiba dan ekstrem. Rasa bertanya-tanya juga bertambah kuat karena SP3 seolah diterbitkan dengan mudah. Padahal, surat sakti tersebut tidak bisa diterbitkan secara serta-merta.

Secara umum, ada dua syarat suatu perkara dapat dihentikan lewat SP3. Syarat pertama adalah kasus tersebut bukan tergolong tindak pidana, melainkan perdata. Sementara syarat yang kedua adalah kasus tersebut tidak cukup bukti atau tidak ada bukti-bukti yang disangkakan.

Ada Unsur Politis?

Unsur politis seolah tercium kuat dari penerbitan SP3 tersebut. Bagi beberapa orang, kasus Rizieq seharusnya dapat berlanjut karena bukti yang ada dirasa sudah cukup. Oleh karena itu, dugaan intervensi langsung dialamatkan kepada penghentian kasus tersebut.

Unsur politis menguat melalui pernyataan salah satu pentolan aksi 212, Muhammad Al Khaththath. Sekretaris GNPF Ulama tersebut menyebut bahwa terlepasnya Rizieq dari kasus penodaan Pancasila adalah tindak lanjut dari pertemuan Persaudaraan Alumni 212 dengan Presiden Jokowi.

Menurut Bruce Smith, manipulasi politik dan penegakan hukum adalah hal yang sangat lazim. Menurutnya banyak aparat yang kerap menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan yang bersifat partisan.

Kontrol populer dari masyarakat sudah hilang dari penegakan hukum. Kontrol politik menjadi entitas yang lebih kuat di dalam hukum terutama di dalam institusi kepolisian. Aktor-aktor politik memiliki kuasa terhadap kepolisian mulai dari perekrutan hingga pembuatan keputusan.

Berdasarkan anggapan tersebut, bisa saja memang ada kontrol terhadap penegakan hukum, dalam hal ini kepolisian. Intervensi yang dituduhkan masyarakat bisa saja benar-benar terjadi jika merujuk pada pandangan Smith tersebut. Terlebih, ada ungkapan dari Al Khaththath yang mengindikasikan keputusan SP3 bersumber dari pertemuan dengan kubu pemerintah.

Dalam konteks tersebut, kontrol politik terhadap penegakan hukum bisa saja bersumber dari pemerintah. Jika benar ada unsur politis, maka intervensi yang dimaksud oleh banyak orang berasal dari pemerintahan Jokowi itu sendiri.

Siapa Untung dari SP3?

Jika memang penghentian kasus tersebut bersifat politis, maka penting melihat siapa yang diuntungkan dari langkah tersebut. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan pandangan Harold Laswell yang menyebutkan bahwa politics is about who gets what, when, and how, atau politik adalah tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.

Merujuk pada pandangan tersebut, maka setiap perilaku di dalam politik hampir selalu memiliki motif. Unsur-unsur seperti posisi politik tertentu, distribusi sumber daya, atau mengalahkan pesaing, selalu mewarnai tingkah laku para politikus.

Berdasarkan kondisi tersebut, publik bisa saja menduga pemerintah saat ini mendapat keuntungan dari SP3 yang diterima Rizieq. Saat ini, pemerintah tengah mengalami sorotan karena dianggap tidak berpihak pada umat Islam dan berjarak dengan ulama.

Salah satu keuntungan utama dari SP3 Rizieq adalah kesan bahwa pemerintah saat ini tidak lagi berjarak dengan kelompok Muslim. Ada citra yang muncul bahwa pemerintah saat ini sudah mau berkomunikasi dengan pendukung Rizieq dan bahkan melepaskannya dari kasus hukum.

Sangat mungkin bahwa ada tawar-menawar antara pihak pemerintahan Jokowi dengan kubu 212 pendukung Rizieq. Hal ini sesuai dengan model tawar-menawar atau bargaining  yang dikemukakan oleh Ariel Rubinstein.

Pemerintah saat ini bisa saja menikmati keuntungan berupa mengendurnya serangan kelompok 212 kepada mereka. Terlebih saat ini ada indikasi bahwa kelompok tersebut terpecah dan memiliki sikap yang berbeda-beda. Bisa saja ada kubu yang memilih merapat dan mendukung pemerintahan Jokowi saat ini.

Indikasi tersebut misalnya nampak dari pernyataan pengacara dan salah satu penasihat PA 212, Kapitra Ampera. Kapitra memberikan pujian kepada Jokowi atas terbitnya SP3 Rizieq. Hal ini bisa menjadi penanda bahwa ada kubu yang tidak lagi terlalu garang kepada pemerintahan Jokowi.

Urusan dukung-mendukung ini bisa jadi alat tawar yang diminta pemerintah kepada para pendukung Rizieq. Sementara itu, alat tawar dari kubu pendukung Rizieq tidak lain adalah menghentikan kasus yang mendera sang Imam Besar. Dalam konteks tersebut, keduanya memiliki tawaran di dalam bargaining game ala Rubinstein.

Jika benar ada unsur politis dan tawar-menawar, maka keduanya dapat dikatakan telah mencapai kesepakatan di dalam bargaining game tersebut. Kedua belah pihak telah menyetujui tawaran masing-masing sehingga permainan dapat dikatakan usai.

Ini jelas menunjukkan ada untung yang diraup dari masing-masing pihak. Pemerintah menikmati keuntungan berupa mengendurnya serangan dari kubu pendukung Rizieq. Sementara itu, para pendukung Rizieq sejauh ini menikmati untung berupa terlepasnya satu belenggu dari sang Imam Besar. Bisa saja ada keuntungan lain seperti posisi politik tertentu, tetapi hal tersebut sejauh ini masih belum terungkap. (H33)

Exit mobile version