Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu mengungkapkan perlunya konglomerat-konglomerat baru di Indonesia dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-16 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Langkah apa yang akan Jokowi lakukan untuk melahirkan konglomerat-konglomerat baru tersebut?
PinterPolitik.com
“Assemble platoons to form a conglomerate” – Flatbush Zombies, grup rap asal Amerika Serikat
Sebagian besar dari kita pasti pernah menonton film-film animasi yang diproduksi oleh Disney dan Pixar. Salah satu film yang ikonis dari rumah-rumah produksi tersebut adalah Wall-E.
Film tersebut menceritakan sebuah robot yang tinggal di bumi – di mana umat manusia telah meninggalkannya untuk hidup di luar angkasa. Jika diamati, terdapat satu logo perusahaan yang mudah ditemui dalam banyak adegan, BnL.
Perusahaan yang memiliki nama Buy n’ Large ini hadir di berbagai tempat, dari papan iklan hingga gelas milik kapten kapal luar angkasa. Tak tanggung-tanggung, BnL juga hadir di berbagai film Pixar dan Disney lainnya, seperti Cars 3 (di jalur balap) dan Toy Story 3 (sebagai merek baterai di punggung Buzz Lightyear).
Mungkin, BnL inilah gambaran yang mewakili definisi konglomerat. Meski kerap diasosiasikan dengan kekayaan yang berlimpah, istilah “konglomerat” memiliki definisi lain sebagai sebuah perusahaan yang memiliki bisnis-bisnis yang lebih kecil di berbagai sektor yang berbeda.
Di dunia nyata, konglomerat-konglomerat seperti BnL tentunya juga eksis di Indonesia. Konglomerat-konglomerat ini memiliki berbagai bisnis yang satu sama lain berbeda.
Di tengah-tengah banyaknya konglomerasi ini, pengusaha-pengusaha muda tampaknya juga ingin tampil sebagai konglomerat baru. Keinginan tersebut setidaknya terungkap pada Musyawarah Nasional (Munas) ke-16 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kala itu hadir juga menyatakan keinginan serupa.
Dengan adanya keinginan tersebut, beberapa pertanyaan pun timbul. Bagaimana peran negara dalam memunculkan konglomerasi-konglomerasi baru? Lalu, langkah apa yang akan dilakukan Jokowi untuk mewujudkan keinginan tersebut?
Peran Negara
Keberadaan konglomerat ini biasanya memiliki pengaruh besar dalam perekonomian suatu negara. Di negara-negara lain, konglomerat ini dapat berkembang dengan bantuan dan peran negara.
Di Jepang misalnya, terdapat kelompok-kelompok konglomerat yang dikenal sebagai keiretsu. Kelompok-kelompok bisnis – seperti Mitsubishi dan Mitsui – ini telah hadir sejak sebelum Perang Dunia II meletus. Bahkan, keberadaan keiretsu dinilai telah muncul pada berabad-abad lalu ketika para daimyo – pemimpin-pemimpin feodal – masih berkuasa.
Michael S. Minor, J. Michael Patrick, dan Wann-Yih Wu dalam tulisan mereka yang berjudul Conglomerates in the World Economy menjelaskan bahwa keiretsu dikuasai oleh para zaibatsu – istilah Jepang untuk menyebut konglomerat. Pasca-Perang Dunia II, para zaibatsu yang sempat dibubarkan oleh Amerika Serikat ini kembali memiliki pengaruh dengan adanya peraturan-peraturan bisnis yang lebih lengang pada tahun 1950-an.
Membesarnya pengaruh ekonomi keiretsu tersebut dinilai tidak lepas dari peran pemerintah. Mengacu pada penjelasan Minor dan timnya, pada tahun-tahun tersebut, pemerintah Jepang menciptakan atmosfer yang cocok agar para zaibatsu dapat bertumbuh pesat.
Beberapa kebijakan pemerintah Jepang kala itu adalah insentif pajak, bimbingan, jaminan finansial, subsidi langsung, dan perlindungan dari kompetisi asing. Tujuannya adalah agar pertumbuhan ekonomi industri dapat terdorong.
Hampir sama dengan keiretsu di Jepang, konglomerat-konglomerat chaebol di Korsel – seperti Samsung, LG, dan Daewoo – juga semakin berkembang akibat peran pemerintah. Pada tahun 1960-an hingga 1970-an, para konglomerat chaebol diberikan oleh pemerintah akses yang lebih luas terhadap pinjaman – melalui persetujuan dan subsidi pemerintah – dibandingkan bisnis-bisnis kecil lainnya.
Peran pemerintah ini paling kentara diberikan pada era Presiden Park Chung Hee. Dong-Hyeun Jung dalam tulisannya yang berjudul Korean Chaebol in Transition menjelaskan bahwa, pada awal dekade 1960-an, para chaebol ini telah berkolusi dengan pemerintahan Park Chung Hee dalam Rencana Ekonomi Lima Tahunan Pertama (First Five-Year Economic Plan) 1962 dan mendapatkan posisi yang dominan dalam produksi dan distribusi atas berbagai komoditas pokok.
Jika para konglomerat di dua negara tersebut banyak mendapatkan dukungan dari pemerintahannya, bagaimana dengan para konglomerat Indonesia?
Konglomerat di Indonesia
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah lama berupaya untuk memunculkan konglomerat-konglomerat baru. Berbagai presiden yang pernah menjabat setidaknya pernah memberlakukan beberapa kebijakan guna menciptakan iklim yang kondusif bagi para pebisnis.
Presiden Soekarno misalnya, dikenal dengan Program Benteng. J. Thomas Lindblad dalam tulisannya yang berjudul The Importance of Indonesianisasi during the Transition from the 1930s to the 1960s menjelaskan bahwa program itu ditujukan untuk mengembangkan bisnis-bisnis nasional – khususnya dari kalangan pribumi – guna menyaingi peran perusahaan-perusahaan asing, khususnya dari Belanda.
Konglomerat biasanya dapat berkembang dengan bantuan dan peran negara, seperti keiretsu di Jepang dan chaebol di Korea Selatan. Share on XPada periode ini, sektor perdagangan – terutama impor – banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda yang dikenal sebagai the “Big Five,” yakni Borsumij, Jacobson van den Berg, Internatio, Lindeteves, dan Geo. Wehry. Lindblad menyebutkan bahwa terdapat pebisnis-pebisnis domestik yang tumbuh sebagai rival sukses bagi lima perusahaan Belanda itu, yakni the “Big Four” yang terdiri atas Agus Moechsin Dasaad, Djamaludi, Birokorpi, dan Intraport.
Dasaad sendiri merupakan pebisnis yang banyak mendapatkan manfaat dari kedekatannya dengan Soekarno. Selain Dasaad, terdapat juga Hasjim Ning yang pernah bekerja bersama Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Pada era Soeharto, mimpi untuk membangun konglomerat pribumi tetap dilanjutkan tetapi mengalami kegagalan. Michael T. Rock dalam tulisannya yang berjudul The Politics of Development Policy and Development Policy Reform in New Order Indonesia menjelaskan bahwa, pada akhirnya, pemerintahan Orde Baru beralih dengan mendukung pengusaha-pengusaha Tionghoa – seperti Soedono Salim (Salim Group), William Soeryadjaya (Astra), Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas Group), dan sebagainya.
Dukungan pemerintahan Soeharto ini dijalankan dengan memberikan perlindungan tarif. Selain melalui tarif, Rock juga menyebutkan bahwa pebisnis-pebisnis tersebut diberikan akses preferensial terhadap izin-izin usaha dan kontrak pemerintahan yang memberikan profit besar. Kredit bersubsidi dari bank BUMN, serta pembebasan dan pengurangan pajak juga menguntungkan pebisnis-pebisnis tersebut.
Namun, pemerintahan Soeharto tidak hanya memberikan privilege tersebut kepada kalangan pengusaha Tionghoa. Terdapat beberapa pebisnis pribumi yang berhasil masuk ke dalam dunia bisnis yang banyak didominasi oleh pengusaha-pengusaha Tionghoa.
Ayako Masuhara dalam bukunya yang berjudul The End of Personal Rule in Indonesia menjelaskan bahwa pengusaha-pengusaha muda pribumi seperti Aburizal Bakrie (Bakrie & Brothers), Jusuf Kalla (Haji Kalla Group), dan Fadel Muhammad (Batara Group) – disebut sebagai Ginandjar’s Boys – dapat berkembang akibat keuntungan dan manfaat yang didapatkan dari proyek-proyek Keppres 10 di bawah Soedharmono dan Ginandjar Kartasasmita.
Hingga kini, beberapa konglomerat yang dihasilkan oleh rezim Soeharto masih memiliki pengaruh besar dalam kegiatan-kegiatan ekonomi Indonesia. Bahkan, beberapa konglomerat juga terlibat dalam aktivitas politik.
Setelah Soeharto, presiden-presiden Indonesia lainnya juga memiliki keterkaitan dengan beberapa konglomerat. B.J. Habibie misalnya, memiliki hubungan kekerabatan dengan Timsco Group yang dipimpin oleh adiknya, Suyatim Abdurrahman Habibie.
Di era Abdurrahman Wahid (Gus Dur), muncul juga seorang konglomerat lain yang juga mendapatkan banyak izin usaha yang menguntungkan, yakni Hary Tanoesoedibjo. Gus Dur sendiri disebut-sebut memiliki kedekatan dengan ayah Hary Tanoe.
Bila dibandingkan dengan Jepang, Korsel, hingga presiden-presiden Indonesia telah melakukan beberapa upaya guna mendukung kehadiran para konglomerat, upaya apa yang akan Jokowi lakukan guna mewujudkan konglomerat baru?
Cara Jokowi?
Pemerintah akan mengajukan banyak revisi UU terkait perizinan dan investasi yang memungkinkan keleluasaan Indonesia bergerak lebih jauh dan bersaing dengan negara lain.
Dihitung-hitung, ada kurang lebih 74 UU. pic.twitter.com/HPdKYYXGr4
— Joko Widodo (@jokowi) September 16, 2019
Pertemuan Jokowi dengan pengusaha-pengusaha HIPMI beberapa waktu lalu memunculkan keinginan untuk menumbuhkan konglomerat baru. Meskipun begitu, belum dapat dipastikan cara apa yang akan digunakan oleh pemerintahan Jokowi untuk mewujudkannya.
Mungkin, dukungan ini mulai dilakukan pemerintah melalui upaya deregulasi. Meskipun tidak menerapkan prinsip preferensial, Bank Indonesia telah mempermudah izin usaha yang diperlukan oleh perusahaan-perusahaan digital, khususnya di bidang keuangan (fintech).
Mungkin juga apabila apa yang dijanjikan Jokowi kepada HIPMI ini mungkin dapat tersalurkan melalui kedekatan tertentu. Seperti Ginandjar yang memiliki kedekatan dengan HIPMI kala itu, presiden bisa saja berkeinginan untuk mulai membangun kedekatan dengan organisasi pengusaha muda tersebut.
Ketua Umum HIPMI Bahlil Lahadalia misalnya, pada Mei lalu disebut-sebut bakal menjadi calon menteri dalam periode kedua Jokowi. Bahlil sendiri juga berpartisipasi dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin.
Boleh jadi, seperti Dasaad-Soekarno dan Ginandjar Boys, kedekatan tersebut dapat berujung pada pemberian preferensial terhadap pebisnis-pebisnis calon konglomerat. Meski begitu, kemungkinan peran pemerintah tersebut belum dapat dipastikan.
Di sisi lain, berbeda dengan keiretsu dan chaebol yang cenderung dilindungi pemerintah, Jokowi tampaknya lebih memilih untuk mengundang investor agar dapat bermitra dengan pengusaha-pengusaha muda, khususnya di bidang riset dan teknologi. Dari sini, presiden mungkin menginginkan terjadinya transfer teknologi.
Transfer teknologi ini dapat terjadi ketika teknologi perusahaan asing yang lebih superior dapat menjadi pengetahuan tambahan bagi perusahaan lokal sekaligus meningkatkan efisiensinya di masa mendatang. Upaya ini telah dilakukan oleh konglomerat-konglomerat Korsel – seperti Samsung, Hyundai, dan Daewoo – yang banyak mengadakan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan teknologi dari AS dan Jepang – berkontribusi pada materi produk sekitar 80 persen dalam industri manufaktur Korsel pada tahun 1980-an.
Pada akhirnya, berbagai kemungkinan tersebut juga belum dapat dipastikan akan terjadi. Adanya transfer teknologi di Korsel pun tidak menjamin kemandirian produksi konglomerat-konglomerat tersebut. Di sisi lain, pengusaha yang akan didorong untuk menjadi konglomerat juga belum diketahui secara pasti.
Yang jelas, muncul tidaknya konglomerat baru di bawah kepresidenannya pun kembali lagi kepada kebijakan-kebijakan Jokowi ke depan. Mungkin, seperti lirik grup rap Flatbush Zombies di awal tulisan, presiden perlu membangun tim-tim tertentu guna melahirkan konglomerat, entah tim yang mana yang akan mendapatkannya. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.