HomeNalar PolitikCapres 2024 Hanya Omong Kosong?

Capres 2024 Hanya Omong Kosong?

Kecil Besar

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) menyebut pembahasan capres bisa di sejam terakhir. Lantas, mungkinkah beredarnya nama capres sejak akhir 2019 hanya untuk konten media massa dan hiburan masyarakat? 


PinterPolitik.com

โ€œSometimes I think the human animal doesnโ€™t really need food or water to survive, only gossip.โ€ โ€“ Steve Toltz, novelis asal Australia

Ketika melakukan media visit ke PinterPolitik.com pada 8 April 2022 lalu, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gelora Fahri Hamzah mengaku risau dengan skema penentuan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Indonesia belakangan ini. Tidak ada pengujian terbuka terhadap mereka yang ingin menjadi kandidat. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, misalnya, nama Sandiaga Uno dan KH Maโ€™ruf Amin bahkan tiba-tiba muncul. 

Kerisauan tersebut juga diungkap berbagai pihak. Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, misalnya, turut mendorong partai politik untuk mendeklarasikan koalisi dan capres-cawapres 2024 lebih dini.

โ€œDampaknya positif, rakyat diberikan waktu yang luas untuk menilai, memilih, dan memutuskan pasangan yang tepat untuk dipilih,โ€ ungkap Ujang pada 4 Agustus 2022 lalu.

Namun, pernyataan Ketua Umum (Ketum) PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) tampaknya mengubur harapan itu. Dalam acara peluncuran Kanal Pemilu Terpercaya CNN Indonesia, Zulhas sempat menyentil Menko Polhukam Mahfud MD dengan menyebut pencalonan capres-cawapres bisa di detik-detik akhir.

โ€œPak Prof Mahfud punya pengalaman, capres itu sejam terakhir, โ€˜iya kan Prof, ya?โ€™ Sejam terakhir itu baru putus itu siapanya,โ€ ungkap Zulhas pada 1 Agustus 2022.

Bertolak dari pernyataan Zulhas, lantas untuk apa berbagai elite politik melempar nama kandidat sejak akhir 2019? 

infografis lima paslon potensial pilpres 2024

Evolusi Sang Penguasa

Mengutip ilmuwan politik Amerika Serikat (AS) Francis Fukuyama, apa yang membuat demokrasi menjadi sistem politik yang begitu digemari adalah kemampuannya dalam memberikan kebebasan. 

Dalam bukunya yang fenomenal, The End of History and the Last Man, Fukuyama menyebut demokrasi dapat menjawab isothymia, yakni hasrat individu untuk dihormati dan diperlakukan secara setara dengan orang lain.

Oleh karenanya, dalam demokrasi, khususnya setelah Revolusi Prancis, adagium Latin โ€œvox populi, vox deiโ€ atau โ€œsuara rakyat adalah suara tuhanโ€ menjadi suara lantang jika kekuasaan (baca: pemerintah) mencoba untuk mencerabut kebebasan masyarakat.

Namun, menariknya, seperti tesis biolog terkemuka Charles Darwin, sama dengan spesies yang terus beradaptasi dan berevolusi, kekuasaan juga berevolusi agar dapat tetap mencengkeram rakyatnya.

Kita dapat melihat pengejawantahan tesis itu dalam buku Burhanuddin Muhtadi yang berjudul Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural.  

Menurut Burhanuddin, keputusan-keputusan dalam membentuk koalisi partai maupun penentuan kandidat capres-cawapres dilakukan secara tertutup atau dikenal dengan istilah smoke-filled room. Keputusan diambil oleh elite politik tanpa melibatkan ruang partisipasi dari kader dan konstituen partai secara luas.

Baca juga :  The Pig Head in Tempo

Dalam testimoninya yang berjudul Menyembuhkan Demokrasi Gagal di buku itu, Menko Polhukam Mahfud MD juga menyebut frasa โ€œmencari kesamaan visi dan platformโ€ dari para elite politik merupakan suatu kebohongan. Itu hanyalah hasrat perburuan kekuasaan yang dibungkus dengan narasi komunikasi yang manis.  

Terkhusus di Indonesia, akar smoke-filled room dapat kita rujuk pada ketentuan Pasal 6A ayat (2) perubahan ketiga UUD 1945, yang menyebutkan pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Artinya, penentuan kandidat pada dasarnya berada di tangan para elite partai politik.

Simpulan ini persis seperti yang digambarkan dalam elite theory, yakni minoritas kecil yang terdiri dari elite ekonomi dan politik memegang kekuasaan paling besar. Tidak mengherankan kemudian apabila elite theory menyebut demokrasi sebagai utopia. Frasa โ€œvox populi, vox deiโ€ tampaknya hanya ada di rak-rak perpustakaan. 

Kembali mengutip buku Burhanuddin Muhtadi. Persoalan ini terjadi karena partai politik yang merupakan instrumen penting demokrasi justru gagal mendemokratisasi dirinya sendiri. โ€œInilah paradoks demokrasi kita,โ€ tulisnya.

Burhanuddin, misalnya, menyinggung fenomena partai politik yang kesulitan melakukan regenerasi ketua umum. Dalam literatur ilmu politik, ini dikenal dengan personalisasi partai. 

Di PDIP ada Megawati Soekarnoputri, Gerindra ada Prabowo Subianto, NasDem ada Surya Paloh, dan Demokrat ada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) โ€“ sekarang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). PAN sempat mengalaminya bersama Amien Rais. Namun, terpilihnya Zulhas pada Munas 2020 meruntuhkan dominasi sang Bapak Reformasi. 

Setelah membahas persoalan ini panjang lebar, kembali pada pernyataan Zulhas, jika penentuan capres-cawapres dapat dilakukan elite di akhir waktu, untuk apa berbagai elite menebar nama sejak akhir 2019?

infografis prediksi koalisi capres 2024

Hanya untuk Hiburan?

Berdasarkan keterangan yang dihimpun Tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) PinterPolitik dari berbagai elite partai, tebaran nama-nama tersebut ternyata untuk kepentingan konten media massa.

Seperti yang dibahas dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, PDIP Sadar Puan akan Kalah?, saat ini, berbagai diskursus kita soal capres-cawapres sebenarnya tidak relevan karena partai politik sedang fokus untuk lolos verifikasi KPU.

Sedikit mengulang, meraih RI-1 atau RI-2 sebenarnya bukanlah target utama partai politik. Dalam realitanya, karena membutuhkan logistik yang sangat besar, capres-cawapres hanya menjadi target 3-5 partai terbesar.

Yang menjadi target utama partai politik adalah pemilihan legislatif (pileg) dan pilkada. Partai perlu mengamankan kursi sebanyak-banyaknya di Senayan dan menempatkan kadernya sebagai Kepala Daerah. 

Baca juga :  Open Loker Cawapres 2029, Puan Maharani? 

Di titik ini, sekiranya ada yang menaruh sinis. Mungkin banyak yang bertanya, โ€œlalu untuk apa partai sudah membangun koalisi atau menyebut nama?โ€

Ada dua jawaban untuk itu. 

Pertama, dalam riwayatnya, koalisi partai politik di Indonesia bersifat sangat cair. Koalisi dapat terbentuk dan bubar dengan cepat. 

Koalisi Indonesia Bersatu (KIB), misalnya, berdasarkan informasi yang didapatkan Tim Litbang PinterPolitik, koalisi ini tidak solid dan kemungkinan akan bubar. Ihwal ini juga sudah dikemukakan secara terbuka oleh berbagai elite partai lainnya. 

Kedua, seperti yang disebutkan sebelumnya, itu untuk kepentingan konten media massa. Mengutip Brian McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication, media massa merupakan alat โ€œpersuasi kesadaranโ€. 

Nama-nama kandidat sengaja ditebar elite politik agar tertanam di ingatan dan kesadaran publik. Tujuannya? Agar tercipta kesadaran kolektif bahwa nama-nama itu yang akan menjadi capres-cawapres di 2024.

Nantinya menjelang pendaftaran capres-cawapres di KPU pada 2023, kembali mengutip smoke-filled room, elite politik tinggal menentukan mana nama yang paling potensial. Ini menjawab kenapa Maโ€™ruf Amin tiba-tiba muncul di akhir waktu. Menurut berbagai pihak, itu adalah keputusan elite politik pendukung Jokowi agar mantan Wali Kota Solo itu tidak diserang sentimen anti-Islam.

Namun, mungkin ada yang tetap bertanya, โ€œlalu bagaimana dengan elektabilitas? Bukankah itu adalah variabel yang sangat penting?โ€

Benar itu penting, tapi kembali mengutip Brian McNair, opini publik soal elektabilitas dapat dibentuk dan dimanipulasi. Ini telah dibahas panjang lebar dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Operasi Intelijen di Balik Pilpres 2024

Telah dibahas bahwa persepsi-persepsi politik, seperti popularitas dan elektabilitas sebenarnya adalah buah dari strategi pemenangan. Itu adalah operasi penggalangan intelijen yang disebut dengan โ€œcipta kondisiโ€.

Terakhir, ada satu penjelasan penting yang membuat persuasi kesadaran dapat dilakukan, yakni masyarakat suka bergosip. Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Cat Pesawat Presiden, Apa Salahnya?, telah dijelaskan bahwa aktivitas bergosip telah ada sejak awal peradaban manusia. 

Ketika dulu belum ada majalah, internet, gawai, dan seterusnya, gosip berperan sebagai sarana hiburan dan pembentuk kohesi masyarakat. Mengutip pernyataan sejarawan Yuval Noah Harari, tingginya minat masyarakat pada isu-isu politik, membuat tebaran nama kandidat 2024 menjadi gosip yang sulit untuk tidak dibicarakan. 

Well, sebagai penutup, ada satu kesimpulan penting dan menohok yang dapat ditarik. Hingar bingar pembahasan berbagai pihak, termasuk elite politik soal nama-nama capres-cawapres selama ini tampaknya merupakan โ€œomong kosongโ€ semata. (R53)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

2029 Anies Fade Away atau Menyala?

Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.

The Pig Head in Tempo

Teror kepala babi dan bangkai tikus jadi bentuk ancaman kepada kerja-kerja jurnalisme. Sebagai pilar ke-4 demokrasi, sudah selayaknya jurnalisme beroperasi dalam kondisi yang bebas dari tekanan.

PDIP Terpaksa โ€œTundukโ€ Kepada Jokowi?

PDIP melalui Puan Maharani dan Joko Widodo (Jokowi) tampak menunjukan relasi yang baik-baik saja setelah bertemu di agenda Ramadan Partai NasDem kemarin (21/3). Intrik elite PDIP seperti Deddy Sitorus, dengan Jokowi sebelumnya seolah seperti drama semata saat berkaca pada manuver PDIP yang diharapkan menjadi penyeimbang pemerintah tetapi justru bersikap sebaliknya. Lalu, kemana sebenarnya arah politik PDIP? Apakah akhirnya secara tak langsung PDIP akan โ€œtundukโ€ kepada Jokowi?

The Irreplaceable Luhut B. Pandjaitan? 

Di era kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), Luhut Binsar Pandjaitan terlihat jadi orang yang diandalkan untuk jadi komunikator setiap kali ada isu genting. Mungkinkah Presiden Prabowo Subianto juga memerlukan sosok seperti Luhut? 

The Danger Lies in Sri Mulyani?

IHSG anjlok. Sementara APBN defisit hingga Rp31 triliun di awal tahun.

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau โ€œHiperbolaโ€? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...