Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai dapat kehilangan dukungan dari masyarakat bila salah langkah dalam memilih pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apa dampak jangka panjangnya terhadap Jokowi?
PinterPolitik.com
“They gon’ remember my legacy” – The Weeknd, penyanyi R&B asal Kanada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada mulanya lahir sebagai harapan baru bagi upaya pemberantasan korupsi. Setelah tatanan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto runtuh, era reformasi menjadi cahaya yang diharap-harapkan dapat memberi perubahan bagi Indonesia.
Guna mewujudkannya, lembaga ini didesain menjadi institusi yang, sebisa mungkin, terlepas dari campur tangan politik yang dominan. Melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, upaya dan institusi pemberantasan korupsi yang dianggap belum efektif pada tahun-tahun sebelumnya melahirkan KPK sebagai lembaga yang independen.
Dengan status independennya tersebut, KPK dalam sejarahnya telah mengungkap berbagai tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat publik. Upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dilakukannya tersebut membuat KPK menjadi salah satu institusi negara yang paling dipercaya oleh masyarakat.
Dalam perjalanannya, KPK juga diterpa oleh badai politik yang berupaya menyudutkan posisinya, katakanlah perseteruan antara Cicak dan Buaya yang monumental. Perseteruan tersebut terjadi di antara lembaga-lembaga hukum – yakni di antara KPK, Kepolisian, (Polri), dan Kejaksaan.
Belum cukup Kuda Troya masuk KPK, kini ancaman datang dalam bentuk Capim KPK juga. Ternyata yang bisa 4.0 bukan cuma Industri Indonesia, tapi juga Cicak vs Buaya!
Mari tunjukan dukungan kita dengan, GERUDUK KPK (Gerakan Rakyat untuk Dukung KPK)
Info ini jangan berhenti di kamu~ pic.twitter.com/Yy6XJYWni6
— ICW (@antikorupsi) August 29, 2019
Kini, perseteruan tersebut telah memasuki babak baru. Di tengah-tengah proses pemilihan yang dilakukan oleh Panitia Seleksi (Pansel) bentukan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kontroversi mencuat akibat munculnya nama-nama calon pimpinan (capim) yang dianggap bermasalah – seperti Inspektur Jenderal Firli Bahuri, Jasman Panjaitan, dan Inspektur Jenderal Antam Novambar.
Akibatnya, Presiden Jokowi sebagai penerima hasil kerja Pansel KPK dituntut untuk melakukan intervensi terkait calon-calon bermasalah tersebut. Beberapa tokoh anti-korupsi telah menyuarakan perihal ini, seperti Anita Wahid, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar.
Namun, hingga artikel ini ditulis, presiden belum mengambil sikap pasti terkait polemik tersebut. Pertanyaannya, mengapa proses pemilihan capim KPK menjadi polemik? Lalu, bagaimanakah dampak sikap diam Jokowi bagi sang presiden di masa mendatang?
Konflik Kepentingan
Polemik seleksi capim KPK yang dilakukan oleh Pansel bentukan Jokowi muncul akibat adanya konflik kepentingan yang disinyalir terjadi. Konflik kepentingan ini bisa saja menguntungkan pihak tertentu.
Michael Davis dalam tulisannya yang berjudul Conflict of Interest menjelaskan bahwa konflik kepentingan dapat terjadi apabila pemegang posisi berpotensi menjadi subjek bagi pengaruh, kesetiaan, keinginan, atau kepentingan-kepentingan lain dari pihak lain.
Adanya dugaan konflik kepentingan ini mencuat akibat sosok-sosok yang dinilai bermasalah turut mengisi komponen Pansel KPK. Jika kita tilik kembali, terdapat nama-nama yang memiliki kedekatan dengan entitas atau institusi tertentu.
Hendardi misalnya, dianggap berpotensi mengalami konflik kepentingan karena pernah menjabat sebagai Penasihat Ahli Kapolri. Polri sendiri kerap berseteru dengan KPK.
Lalu, apakah konflik kepentingan ini juga memiliki kaitan dengan Jokowi sebagai pembentuk Pansel KPK?
Secara prosedur, individu-individu yang mengisi Pansel KPK memang dipilih oleh presiden sebagai usul sebelum nantinya diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jokowi sendiri sebelumnya pernah ditengarai menggunakan KPK untuk menjalankan strategi jerat-rangkul.
Strategi ala Sun Tzu tersebut mungkin digunakannya untuk menghalau pengaruh-pengaruh elite dan oligarki dengan posisinya sebagai politisi outsider – berasal dari luar lingkaran oligarkis. Namun, konflik kepentingan serupa belum tentu berkaitan dengan posisi politik Jokowi.
Meski begitu, kepentingan Jokowi belum tentu terwadahi di Pansel KPK. Pasalnya beberapa nama yang disaring oleh Pansel memiliki relasi dengan Polri – seperti Firli dan Antam. Kehadiran nama-nama tersebut justru memunculkan konflik kepentingan yang berasal dari pihak yang berbeda.
Saat ini, politik “kumpul kebo” (kumbo) disebut-sebut tengah terjadi di antara Ketum PDIP Megawati dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto. Upaya kumbo ini bisa saja semakin melemahkan kekuatan politik Jokowi dalam mengambil keputusan dan kebijakan, terlebih jika ada partai yang punya atau bisa membangun relasi dengan pimpinan-pimpinan KPK baru.
Warisan Politik
Meski kepentingan Jokowi belum tentu terwadahi dalam nama-nama capim KPK, presiden dianggap sebagai sosok kunci yang mampu menyelesaikan pemasalahan tersebut. Tidak adanya sikap yang berarti dari Jokowi dalam polemik ini bisa saja menjadi noda dalam warisan politik yang akan ditinggalkannya di masa mendatang.
Tentunya, apa yang dilakukan oleh politisi akan selalu membekas dalam dinamika politik di masa mendatang. Christian Fong dan tim penulisnya dalam tulisan yang berjudul Political Legacies menjelaskan bahwa prinsip, perubahan, dan prestasi yang dilakukan oleh seorang politisi membentuk persepsi elite politik dan khalayak umum terhadap politisi tersebut di masa depan.
Warisan politik ini dapat bersumber dari berbagai bentuk tindakan. Setidaknya, Fong dan timnya memberikan dua jenis warisan politik dalam tulisan tersebut, yakni hard legacy dan soft legacy.
Hard legacies dapat bersumber dari perubahan dan prestasi yang terlihat, seperti penandatanganan perjanjian internasional. Sementara, soft legacy dapat berasal dari prinsip dan hasil yang abstrak, seperti insprasi dan prinsip toleransi.
Fong dan timnya memberikan beberapa contoh warisan politisi yang masih membekas. Salah satunya adalah Invasi Irak yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS). Hingga kini, invasi tersebut dianggap sebagai hard legacy (berupa kebijakan) yang ditinggalkan oleh Presiden AS George W. Bush.
Dengan doktrin War on Terror-nya, Bush masih dianggap sebagai sosok utama di balik penyerangan AS ke negara-negara lain. Pasalnya, bagi pihak-pihak yang skeptis terhadap masa depan bangsa Irak, invasi tersebut menjadi soft legacy (berkaitan dengan prinsip dan hasil abstrak) yang masih membekas.
Di sisi lain, Presiden AS Barack Obama – sosok yang memutuskan untuk menarik pasukan dari Irak – dinilai telah menciptakan warisan tersendiri. Setidaknya, hal itulah yang diungkapkan oleh Dylan Matthews, koresponden Vox.
Matthews menilai bahwa Obama telah menorehkan berbagai kebijakan yang berarti bagi masyarakat AS. Beberapa kebijakan tersebut adalah asuransi kesehatan nasional, reformasi Wall Street, serta kebijakan pendidikan dan energi.
Prinsip, perubahan, dan prestasi yang dilakukan oleh seorang politisi membentuk persepsi elite politik lain dan khalayak umum terhadap politisi tersebut di masa depan. Share on XSelain kebijakan-kebijakan domestik, Obama juga menorehkan keputusan bersejarah dalam politik luar negeri Paman Sam. Presiden AS yang pernah tinggal di Indonesia tersebut melakukan normalisasi hubungan AS-Kuba untuk pertama kalinya dalam sejarah, serta berhasil menegosiasikan kesepakatan nuklir dengan Iran.
Kebijakan dalam dan luar negeri Obama tersebut bisa dibilang merupakan bentuk hard legacy-nya. Dalam bentuk soft legacy, prinsip-prinsip progresifnya turut tertuang dengan perannya dalam pergerakan untuk kesetaraan gender dan rasial, untuk lingkungan, serta dalam melawan militarisme.
Jika Bush dan Obama di AS dapat meninggalkan warisan-warisan tersebut, bagaimana dengan Jokowi di Indonesia?
Berkaca dari presiden-presiden Paman Sam tersebut, Jokowi bisa saja meninggalkan warisan-warisan politik tertentu. Nilai-nilai progresif dan reformis yang melekat pada sang presiden misalnya, boleh jadi akan meninggalkan soft legacu tersendiri bagi masyarakat.
Selain itu, kebijakan-kebijakan Jokowi yang berfokus pada infrastruktur bisa saja menjadi memori hard legacy-nya ketika mantan Wali Kota Solo tersebut tidak lagi menjadi presiden di masa mendatang. Aichiro Suryo Prabowo dalam tulisannya di New Mandala menjelaskan bahwa kesuksesan pembangunan infrastruktur meningkatkan citranya sebagai presiden yang memberikan hasil nyata.
Meski begitu, apabila Jokowi salah melangkah dalam menanggapi polemik pemilihan capim KPK, bukan tidak mungkin akan terbentuk hard legacy lain yang tertoreh dalam warisan politik sang presiden. Seperti yang dijelaskan oleh peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, kepercayaan publik terhadap presiden bisa saja menurun apabila pimpinan KPK yang terpilih tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Namun, siapa sosok yang menduduki kursi pimpinan KPK tersebut nantinya kembali lagi ke pilihan Jokowi dan DPR. Yang jelas, pilihan yang tak tepat nantinya dapat menorehkan catatan tersendiri bagi warisan politik Jokowi di masa mendatang.
Apapun langkah Jokowi nantinya akan menjadi warisan tersendiri. Seperti lirik penyanyi R&B The Weeknd di awal tulisan, warisan tersebut akan diingat oleh masyarakat, entah kenangan yang baik atau buruk. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.