Jumlah pasangan calon independen yang melaju pada Pilkada terus-menerus menurun. Masih perlukah jalur ini dibuka?
PinterPolitik.com
[dropcap]F[/dropcap]enomena calon independen atau perseorangan dalam Pilkada di Indonesia bukanlah barang baru. Sudah banyak pasangan calon baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang berjuang di jalur tanpa dukungan partai politik tersebut.
Meski tidak mudah, ada banyak calon yang memilih jalur terjal ini. Jalur independen memberikan ruang bagi kandidat-kandidat yang tidak memiliki akses atau dukungan parpol. Calon independen juga menjadi solusi bagi mereka yang jengah dengan calon yang berasal dari parpol.
Jalur ini nyatanya memang benar-benar terjal. Banyak pasangan yang berguguran dalam upaya merengkuh kursi nomor satu di daerah. Tingkat keterpilihan pasangan non-parpol ini cenderung rendah. Jumlah pendaftarnya pun kini mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Ketika terpilih, beberapa pasangan independen ini juga ternyata tidak menunjukkan kinerja yang berbeda dengan pasangan dari parpol. Sosok alternatif yang diharapkan lebih bersih nyatanya tidak muncul dari beberapa kepala daerah yang terpilih dari jalur perseorangan ini.
Jika melihat kondisi-kondisi tersebut boleh jadi keberadaan calon independen ini perlu dievaluasi. Masih perlukah ada calon independen dalam Pilkada?
Kebutuhan Calon Independen
Wacana mengenai calon independen dalam Pilkada mengemuka pertama kali pada tahun 2004. Kala itu Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan agar diberikan kesempatan kepada calon yang berasal dari perseorangan untuk maju dalam Pilkada.
Pengajuan judicial review tersebut cukup beralasan. Pertama, memang karena melanggar hak yang ada di dalam UUD 1945. Kedua adalah karena banyak yang menganggap peluang perekrutan dari parpol cenderung tidak demokratis dan membuka kesempatan yang lebih luas.
Terbukanya jalur independen membuat kesempatan untuk dipilih dalam Pilkada menjadi lebih terbuka bagi semua orang. Selama ini, peluang tokoh non-parpol untuk ikut dalam suatu pemilihan tidak begitu besar karena jalur politik dikuasai oleh kalangan parpol saja. Kalaupun parpol membuka diri, proses ini kerapkali tidak murah. Banyak yang menuding bahwa parpol kerap meminta mahar kepada kandidat agar dapat diusung pada Pilkada. Ini yang memicu Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sempat mempertimbangkan jalur perseorangan pada Pilgub DKI 2017.
Banyak orang yang mulai kehilangan kepercayaan terhadap parpol. Kondisi ini tidak terkecuali menimpa kandidat dari parpol. Mereka dianggap sudah terlampau kotor dan lekat dengan praktik korupsi. Untuk itu diharapkan ada calon alternatif yang berjuang melalui jalur non-parpol.
Berdasarkan hasil uji materi MK di atas, maka terjadi perubahan terhadap Undang-undang (UU) No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah melalui UU No. 12 Tahun 2008. Dalam perjalanannya peraturan mengenai calon independen terus-menerus mengalami perubahan.
Meski secara peraturan baru sah pertama kali pada tahun 2008, calon independen telah muncul terlebih dahulu di tahun 2006. Di tahun itu, Pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) membuka jalan bagi calon independen untuk pertama kalinya. Ada tiga kandidat gubernur yang berkompetisi tanpa dukungan parpol. Ketiga calon tersebut adalah Djali Yusuf-Syauqas Rahmatillah, Ghazali Abbas Adan-Salahuddin Alfata, dan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar.
Pilkada Aceh ini memang kasus khusus karena provinsi ini saat itusedang mengalami rekonsiliasi pasca Perjanjian Helsinki. Meski begitu, pilkada tersebut menjadi pembuka jalan bagi calon independen. Apalagi saat itu pemenang gelaran pemilihan tersebut adalah calon independen yaitu Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar.
Di beberapa negara, sebut saja di Amerika Serikat atau di negara dwi-partai lainnya, calon independen muncul sebagai alternatif dari dua partai yang telah ada. Di Amerika Serikat misalnya, jika merasa tidak sepakat dengan Partai Republik atau Partai Demokrat, maka jalur independen dapat ditempuh. Presiden pertama Amerika Serikat, George Washington berasal dari golongan independen.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, kebutuhan akan calon independen sebenarnya agak membingungkan. Indonesia menganut sistem multi-partai, sehingga idealnya ada banyak jalur untuk menyalurkan aspirasi politik. Walaupun demikian, kebutuhan akan jalur independen memang didasari pada begitu rendahnya kepercayaan pada parpol sehingga saluran baru diperlukan.
Terjungkal di Jalur Terjal
Kiprah calon independen sejauh ini ternyata tidak berjalan dengan baik. Jumlah pendaftar jalur perseorangan di setiap Pilkada nyatanya masih rendah. Tidak hanya rendah, secara tren jumlahnya juga mengalami penurunan pada dua periode terakhir.
Pada Pilkada tahun 2015, jumlah pasangan calon yang mendaftar lewat jalur perseorangan tercatat hanya ada 135 pasangan saja. Jumlah ini mengalami penurunan pada Pilkada tahun 2017. Di tahun tersebut, angkanya turun menjadi hanya 68 pasangan.
Angka ini diduga akan kembali menurun pada Pilkada 2018. Pada Pilkada tingkat provinsi misalnya, hingga tulisan ini diturunkan, hanya ada delapan pasangan yang mendaftar.
Diduga rendahnya jumlah kandidat yang mendaftar lewat jalur perseorangan ini akibat persyaratan yang sulit. Syarat dukungan yang harus dikumpulkan oleh calon independen dirasa terlalu memberatkan. Calon independen diharuskan mengumpulkan dukungan berupa kartu tanda penduduk (KTP) sebanyak 6,5 hingga 10 persen dari total jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Sebagai perbandingan, bisa dilihat pada kasus Pilkada DKI Jakarta. Diperkirakan jumlah DPT DKI Jakarta adalah 6.996.951. Berdasarkan UU, untuk daerah yang memiliki DPT 6.000.000-12.000.000 orang, jumlah dukungan minimal untuk seorang calon independen adalah 7,5 persen dari DPT. Ini berarti pasangan calon independen harus mengumpulkan sekitar 525.000 KTP. Tentu saja bukan hal mudah bagi calon independen yang jejaringnya tidak semapan parpol.
Selain itu, biaya politik yang mahal juga menjadi kendala bagi kandidat independen. Di daerah dengan jangkauan wilayah yang luas, mengumpulkan dukungan bukan perkara mudah. Ada biaya lebih yang harus dikeluarkan. Hal ini tentu berbeda dengan parpol yang memiliki jejaring lebih luas, mesin partai yang kuat dan modal yang bisa lebih besar.
Tingkat kemenangan dari kandidat yang mengambil jalur non-parpol ini juga cenderung rendah. Tidak banyak kisah sukses dari kandidat yang memilih jalur perseorangan pada gelaran pemilu di tingkat lokal ini.
Pada Pilkada tahun 2015, dari total 135 pasangan hanya 13 pasangan yang terpilih. Sementara itu, di Pilkada tahun 2017, dari total 68 pasangan yang ikut Pilkada hanya 3 pasangan yang melenggang ke kursi kepala daerah.
Dari berbagai proses pilkada, sejauh ini hanya pasangan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar di provinsi (NAD) saja yang menang di tingkat provinsi. Selebihnya kandidat independen di tingkat provinsi harus terjungkal.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kenyatanyaannya rakyat belum sepenuhnya melirik kandidat dari jalur perseorangan. Kandidat dari jalur independen masih belum dianggap sebagai alternatif yang menarik untuk dipilih.
Sudahkah Independen Menjadi Alternatif?
Munculnya wacana kandidat independen salah satunya adalah karena adanya rasa tidak percaya pada kandidat yang berasal dari parpol. Kandidat dari parpol kerapkali tersandung banyak kasus, terutama dalam hal ini korupsi.
Melihat praktik yang terjadi sejauh ini, nyatanya kiprah pasangan kepala daerah independen tidak jauh berbeda dengan kepala daerah yang berasal dari parpol. Praktik korupsi atau kasus lainnya tetap terjadi pada kepala daerah dari jalur perseorangan ini.
Kasus teranyar terjadi pada penangkapan Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen dan juga Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Keduanya baru-baru ini harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat kasus korupsi. Keduanya adalah kepala daerah yang terpilih dari jalur independen. OK Arya bahkan terpilih dua kali melalui jalur tersebut.
Selain tersangkut kasus korupsi, kandidat independen lain juga gagal menunjukkan diri sebagai alternatif karena tersangkut kasus moral. Hal ini misalnya yang menimpa mantan Bupati Garut Aceng Fikri. Bupati ini dimakzulkan karena terganjal kasus skandal pernikahan dengan perempuan di bawah umur.
Pada praktiknya, jalur independen ini juga tidak benar-benar murni independen atau non-parpol. Banyak kader parpol memilih jalur ini karena parpol tempat ia bernaung memilih untuk memajukan calon lain. Langkah ini misalnya kini ditempuh Ichsan Yasin Limpo pada Pilgub Sulsel yang memilih jalur independen karena berseberangan dengan Partai Golkar tempat ia bernaung.
Tidak sedikit pula kepala daerah yang semula independen kemudian bergabung dengan partai politik dalam perjalanan kekuasaan karena tanpa dukungan parpol, pemerintahan tentu akan sangat sulit dijalankan.
Jika melihat kebutuhannya, calon independen memang diperlukan untuk membuka kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat. Sistem perekrutan dalam parpol yang penuh intrik juga dapat dikurangi melalui jalur ini. Meski begitu, regulasi yang terlampau sulit membuat sedikit saja orang potensial yang mau memanfaatkan jalur ini.
Oleh karena itu, perlu ada perubahan regulasi agar jalur ini dapat ditempuh dengan mudah. Dengan begitu, calon yang benar-benar independen dan alternatif dapat muncul dan bersaing setara dengan calon parpol. Jadi, masih perlukah calon independen di Pilkada? (Berbagai sumber/H33)