Site icon PinterPolitik.com

Caleg Perindo, Aiman Main Aman?

aiman

Aiman Witjaksono saat berfoto bersama Ganjar Pranowo dan Sudirman Said. (Foto: Instagram/@aimanwitjaksono)

Jurnalis senior yang selama ini lekat dengan citra kritis Aiman Witjaksono memutuskan terjun ke politik praktis dengan menjadi calon anggota legislatif dari Partai Perindo. Berkaca pada skeptisisme terhadap mereka yang berubah pasca berada di dalam ekosistem politik, apakah hal yang sama dapat terjadi pada Aiman? Serta apa maknanya bagi perpolitikan Indonesia? 


PinterPolitik.com 

Pertanyaan masih tertinggal apakah Aiman Witjaksono benar-benar dapat mengaktualisasikan daya kritisnya di dunia jurnalis, saat nanti terjun di dunia politik sebagai calon anggota legislatif (caleg) Partai Perindo. 

Ya, Aiman menjadi satu dari 580 bacaleg yang telah didaftarkan Ketua Umum (Ketum) Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 14 Mei lalu. 

Terlepas dari murni inisiatif dan panggilan Aiman untuk terjun ke politik atau bukan, yang jelas, Aiman saat ini adalah Pemimpin Redaksi MNC News dan pembawa acara AIMAN di iNews, media yang dimiliki oleh HT. 

Sebagai informasi, Partai Perindo diperkuat banyak nama pesohor di Pemilu 2024 nanti. HT menjelaskan bacalegnya terdiri dari berbagai profesi dan latar belakang yang berbeda, mulai dari dari publik figur, purnawirawan, hingga jurnalis. 

Dari deretan artis, terdapat nama Vicky Prasetyo, Aldi Taher, Venna Melinda, dan lain lain. Sementara dari kalangan jurnalis, selain Aiman, terdapat nama Prabu Revolusi, Dian Mirza, serta Ratu Nabila. 

Kembali ke Aiman, sebagai salah satu sosok prominen di dunia jurnalisme investigasi yang terkenal sangat kritis dan tajam dalam membedah suatu peristiwa, statusnya itu kini menjadi perdebatan tersendiri. Utamanya, mengenai mereka yang mempertanyakan keberpihakan dan hakikat jurnalis itu sendiri yang disebut harus netral maupun independen. 

Merespons hal itu, Aiman memastikan tetap akan menjaga etika sebagai jurnalis, yakni akan nonaktif sebagai wartawan saat kampanye Pemilu 2024 resmi dimulai. 

“Terkait Pencalegan saya di @PartaiPerindo. Saya menyatakan tetap berkomitmen untuk menjaga etika. Saya akan nonaktif sebagai wartawan pada saat memulai masa kampanye hingga pencoblosan usai,” begitu penjelasan Aiman di akun Twitter @AimanWitjaksono pada 14 Mei 2023. 

Akan tetapi, skeptisisme terhadap posisi Aiman sebagai jurnalis dan keberpihakannya pasca berpolitik tampak tak relevan jika ditelaah esensinya secara mendalam. Mengapa demikian? 

Jurnalis Harus Memihak? 

Penilaian atas keterlibatan seorang jurnalis dalam politik praktis agaknya memang terkait dengan etika. Namun, kiranya terdapat satu kesalahpahaman mengenai posisi jurnalis yang pada hakikatnya harus memihak. 

Dalam koridornya, jurnalis dituntut untuk independen, bukan netral. Jika netral berarti tidak melakukan dan menunjukkan sikap apa-apa, independen memiliki makna bebas dari kepentingan apapun selain memihak kepentingan publik dan kebenaran. 

Untuk sampai pada esensi “jurnalis memang harus memihak”, utamanya dalam politik, buku karya Brian McNair yang berjudul An Introduction to Political Communication kiranya dapat membantu memahaminya. 

McNair mengatakan media dan jurnalis sesungguhnya tidak sekadar memberitakan, dengan cara yang netral dan tidak memihak tentang apa yang terjadi di arena politik di sekitar mereka, melainkan wajib larut dalam telaah kritis yang membentuk realitas subjektif tertentu. 

Peristiwa politik sendiri, seperti kategori realitas lainnya, sarat dengan pemberian nilai, subjektivitas, dan – sayangnya – bias. 

Lynda Kaid, Jacques Gerstle, dan Keith R. Sanders dalam Mediated Politics in Two Cultures memberikan semacam petunjuk dalam memandang ‘realitas’ politik yang mana terdiri dari tiga kategori. 

Pertama, tentang realitas politik objektif, yang terdiri dari peristiwa-peristiwa politik yang sebenarnya terjadi. Kedua, realitas subyektif sebagai penggambaran peristiwa politik yang dirasakan oleh aktor di dalamnya dan masyarakat secara umum. 

Terakhir, telaah kritis terhadap pembentukan kategori persepsi subjektif yang kedua, yakni realitas yang dikonstruksikan. Ini lah yang berarti peristiwa-peristiwa yang diliput oleh media dan para jurnalis. 

Oleh karena itu, McNair menyebut media dan para jurnalis dalam masyarakat demokratis berfungsi sebagai saluran advokasi sudut pandang politik. 

Bagaimanapun, potensi bias sendiri tak dapat dihindari dari peran jurnalis dalam sebuah pemberitaan dan perannya dalam politik serta demokrasi. 

Selama ini, bias dalam dunia jurnalisme tampak memiliki korelasi dengan nihilnya konsep skin in the game (ikut terlibat langsung dalam permainan) sebagaimana dijelaskan Nassim Nicholas Taleb dalam buku yang berjudul sama. 

Mengacu pada esensi dalam buku Taleb, bias dalam jurnalisme adalah akibat dari kurangnya skin in the game seorang jurnalis dalam mengaktualisasikan perannya. 

Penghasilan jurnalis tidak bergantung pada seberapa banyak informasi berguna dan akurat yang mereka sampaikan kepada publik, melainkan bergantung pada seberapa baik mereka memenuhi harapan pemberi kerja. 

Hal itu pula yang kiranya berpotensi meninggalkan impresi kontraproduktif ketika para jurnalis memutuskan untuk terlibat langsung dalam politik praktis dan menjadi seorang politisi. 

Bias ini lah yang masih “mencemari” langkah keberpihakan jurnalis, termasuk keterlibatan mereka dalam politik secara aktif. 

Umumnya, mereka yang memutuskan berpihak atau “banting stir” untuk terjun menjadi politisi telanjur mendapat sentimen tertentu dan memaksa mereka melepaskan atribut profesi sebagai jurnalis, bahkan tak jarang untuk selamanya. 

Padahal, jika dimaknai lebih dalam, peran aktif keberpihakan mereka sebagai jurnalis akan lebih paripurna dengan keterlibatan langsung mereka dalam “permainan” atau yang disebut sebagai skin in the game tadi. 

Di titik ini, langkah Aiman untuk menjadi caleg Partai Perindo kiranya dapat dipahami sebagai sebuah hakikat keberpihakan seorang jurnalis dalam dimensi tertentu. 

Keputusan Aiman untuk nonaktif sebagai jurnalis saat proses politik berlangsung nanti pun kiranya lebih ditujukan untuk menghindari presumsi minor. Tentu yang dapat mengarah pada stigma atas irisan profesionalitas dan politik yang sesungguhnya kurang tepat jika mengacu pada analisis di atas. 

Akan tetapi, terlepas daripada itu, satu pertanyaan berikutnya muncul untuk memproyeksikan arah politik keberpihakan Aiman sebagai ikon barisan “jurnalis konversi jadi politisi” Partai Perindo andai nantinya lolos ke parlemen. 

Aiman Loyalis HT? 

Meutya Hafid adalah salah satu nama jurnalis prominen tanah air yang sukses menjadi politisi. Mengawali pengalaman getir saat debutnya di dunia politik harus berbuah kekalahan di Pemilihan Wali Kota Binjai 2010, Meutya yang sudah berstatus kader Partai Golkar mendapat penawar saat berhasil melenggang ke DPR sebagai Pengganti Antar Waktu (PAW) Burhanudin Napitupulu di tahun yang sama. 

Sekarang, dirinya telah mengampu jabatan mentereng di parlemen sebagai Ketua Komisi I DPR periode 2019-2024. 

Terdapat satu cerita menarik di balik karier politik Meutya yang kiranya dapat menjadi refleksi analisis terhadap proyeksi tapak politik Aiman kelak. 

Saat bergabung dengan Partai Golkar, Meutya juga terlibat di organisasi massa Nasional Demokrat (NasDem) yang didirikan atasannya saat berkarier sebagai jurnalis di Metro TV, Surya Paloh. 

Setelah NasDem berubah menjadi partai politik (parpol), Meutya memutuskan untuk tak hengkang dari Partai Golkar dan memilih mundur dari NasDem. 

Korelasi di antara Surya dan Meutya agaknya serupa tapi tak sama dengan apa yang terjadi pada HT dan Aiman. 

Akan tetapi, konteks relasi Aiman-HT kiranya lebih terkait simbiosis mutualisme positif, baik dalam dunia profesional maupun politik serta prospek ke depannya. 

Untuk memahami hal tersebut dan bagaimana dinamikanya nanti, pijakan konsep capital atau modal dari Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu agaknya tepat menjadi landasan utama. 

Bourdieu memperkenalkan gagasan modal, yang didefinisikan sebagai jumlah aset tertentu dari individu yang dapat digunakan secara produktif dan mengacu pada beberapa bentuk seperti ekonomi, simbolik, budaya, dan sosial. 

Saat sampai pada derajat tertentu, sederet aset itu dapat dikonversi menjadi modal politik yang potensial.

Dari konsep tersebut, Aiman dan HT tampaknya memang telah memiliki modal masing-masing untuk berkolaborasi secara konstruktif dan ideal dalam politik. 

Terlepas dari probabilitas “kompromi” spesifik di balik keputusan Aiman terjun ke politik praktis bersama HT dan Partai Perindo, gentleman’s agreement bisa saja menjadi salah satu pemantiknya. 

Seperti diketahui, Aiman mengawali karier jurnalistiknya di RCTI pada tahun 2002. Setahun berselang, HT didapuk sebagai Presiden Direktur di MNC dan RCTI. Sejak saat itu, hubungan keduanya terbangun hingga Aiman comeback ke MNC pada 1 November 2022 setelah satu dekade bersama Kompas TV. 

Mendapatkan promosi sebagai Pemimpin Redaksi MNC News dan Wakil Pemimpin Redaksi iNews, Aiman kiranya melandasi keputusannya terjun ke politik berkat justifikasi khusus, yakni keberpihakan, skin in the game, sekaligus gentleman’s agreement

Bagaimanapun, Aiman yang kemungkinan akan menjadi loyalis HT jika berhasil melenggang ke Parlemen, kiranya akan memiliki haluan politik yang selalu selaras dengan Partai Perindo plus kebijakan koalisi yang diikutinya. 

Di 2024 nanti, Partai Perindo sendiri telah sepakat mengusung Ganjar Pranowo. Oleh karenanya, kini, terdapat dua kemungkinan arah politik Aiman jika terpilih sebagai anggota parlemen. 

Pertama, Aiman akan turut “mengawal” pemerintah jika Ganjar terpilih sebagai Presiden Ke-8 RI. Kedua, jika Ganjar kalah, Aiman boleh jadi akan menjadi kritikus ulung bagi aktor eksekutif terpilih, atau akan bergantung pada haluan politik Partai Perindo berikutnya yang bisa saja beralih ke koalisi pemenang. 

Akan tetapi, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi semata. Menarik untuk menantikan sejauh mana Aiman akan memberikan warna dalam politik dan Pemilu 2024. (J61) 

Exit mobile version