Rencana calon wakil presiden (cawapres) Koalisi Perubahan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) untuk membangun 40 kota yang selevel dengan Jakarta untuk memeratakan pembangunan dinilai sebagai proyek yang tidak realistis saat ditinjau dari sisi manapun. Mengapa demikian?
Dalam debat calon wakil presiden (cawapres) pada Jumat (22/12) lalu, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menyatakan akan mengembangkan 40 kota untuk selevel dengan Jakarta demi alasan pemerataan pembangunan.
Cak Imin menjelaskan jika kota-kota tersebut akan dibangun sarana dan prasarana untuk menunjuang rencana ambisiusnya itu.
Dalam pemaparannya di forum debat cawapres dia mengatakan bahwa minimal harus dibangun 40 kota baru yang selevel dengan Jakarta untuk melakukan pemerataan.
Kota itu disebut harus memiliki kemampuan menampung jumlah penduduk, dan kemampuan terjaganya lingkungan untuk sehat, termasuk kehidupan yang beri kenyamanan bagi seluruh penduduk.
Adapun indikator kemajuan kota-kota itu menurutnya adalah dari mulai infrastruktur air, transportasi publik, hingga pendidikan.
Rencana itu kiranya juga bagian dari antitesis proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) milik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun, apa yang diungkapkan Ketua Umum (Ketum) PKB ini sontak menuai kontroversi. Bahkan, saat debat kandidat cawapres lain Gibran Rakabuming Raka dan Mahfud MD langsung mengkritik dan mempertanyakan rencana itu.
Gibran mengaku heran jika Cak Imin lebih memilih untuk menawarkan membangun 40 kota dibandingkan dengan melanjutkan proyek IKN yang juga sudah diatur dalam Undang-Undang.
Sedangkan, cawapres nomor urut tiga, Mahfud MD menilai jika proyek yang masuk dalam rencana Cak Imin itu adalah sesuatu yang tidak realistis. Dia beranggapan jika membangun sebuah kota bukanlah sesuatu yang instan.
Mahfud mencontohkan, jika pembangunan IKN saja membutuhkan waktu hingga puluhan tahun untuk dilaksanakan.
Lantas, mengapa proyek ambisius Cak Imin itu dinilai sebagai sesuatu yang tidak realistis?
Cak Imin Ambisius?
Proyek untuk membangun 40 kota selevel Jakarta yang dicetuskan Cak Imin dalam forum debat cawapres menimbulkan pro dan kontra.
Banyak yang menilai jika proyek itu adalah proyek ambisius yang akan sulit terealisasi dengan segala halangannya. Belum lagi, saat ini pemerintah Indonesia sedang berfokus untuk membangun IKN yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022.
Hal ini menimbulkan interpretasi bahwa gagasan Cak Imin itu terdengar kurang logis, baik dari segi urgensi, upaya realisasi, hingga kalkulasi politik.
Seorang psikolog dan ekonom yang pernah meraih Nobel dalam bidang ekonomi, Daniel Kahneman dalam bukunya yang berjudul Thinking, Fast, and Slow menjelaskan tentang bagaimana kesalahan logis yang akan menyebabkan salah mengambil keputusan.
Kahneman menambahkan jika pikiran kita memproses informasi dan bagaimana keputusan kita bisa terpengaruh oleh berbagai bias kognitif, yang pada akhirnya mengarah pada kesalahan logis dalam penilaian dan pengambilan keputusan.
Proyek membangun 40 kota selevel Jakarta yang ditawarkan Cak Imin kiranya bisa dikatakan sebagai kesalahan logis dalam mengatasi permasalahan pemerataan pembangunan di Indonesia.
Hal itu bisa dilihat dari tujuan membangun 40 kota sebagai proyek yang tidak kalah ambisius untuk pengganti proyek IKN.
Di titik ini, Anies maupun Cak Imin yang mempertanyakan proyek IKN justru menjadi bumerang. Ada tiga alasan untuk mengatakan proyek yang ditawarkan Cak Imin sesuatu yang tidak realistis.
Pertama, dengan skala proyek yang sangat besar dan kompleksitasnya, proyek ini tampaknya adalah hal yang tidak realistis.
Dengan melihat ketersediaan sumber daya, seperti manusia, dana, dan material yang tidak mencukupi membatasi kemampuan untuk bisa mengeksekusi proyek tersebut.
Kedua, dalam waktu lima tahun kepemimpinan Cak Imin jika berhasil terpilih kiranya adalah sebuah hal yang cukup sulit terwujud. Proyek ambisius ini membutuhkan perencanaan yang ekstensif.
Terakhir, ketiga, proyek ambisius semacam ini membutuhkan perencanaan yang sangat matang dan juga manajemen risiko yang cermat. Sebuah kesalahan akan berakibat fatal, jika dalam perencanaan dan pelaksanaan tidak terlalu matang dan berpotensi menyebabkan “pemerataan proyek mangkrak”.
Cak Imin Keliru?
Tujuan untuk melakukan pemerataan pembangunan sekaligus menawarkan antitesis dari proyek IKN dengan membangun 40 kota selevel Jakarta tampaknya memperlihatkan adanya miskonsepsi dari Cak Imin.
Kesalahan Cak Imin ini bisa diterjemahkan menggunakan sebuah istilah tentang kekeliruan bernalar atau yang disebut informal fallacy.
Lawrence Grouce dalam tulisannya dalam Journal of Thoracic Disease yang berjudul Post Hoc ergo Propter Hoc menjelaskan jika kesalahan berpikir ini dapat terjadi akibat salah melakukan identifikasi kausalitas atau hubungan dari penyebab-akibat suatu permasalahan.
Permasalahan pemerataan pembangunan sejatinya bukanlah permasalahan baru di Indonesia. Namun, dengan menawarkan solusi membangun 40 kota menunjukkan kesalahan identifikasi Cak Imin dari masalah pemerataan pembangunan yang merupakan proses pemerataan untuk mengatasi masalah kesenjangan sosial dan memastikan pertumbuhan ekonomi secara adil.
Bahkan, proyek yang ditawarkan Cak Imin tak jauh ambisiusnya dari proyek IKN milik pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang selama dia kritisi.
Jika benar proyek ini akan dijalankan Cak Imin setelah berhasil memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 nanti, tak berlebihan kiranya jika kita melihat Cak Imin memiliki kemampuan yang sama atau bahkan lebih dari Bandung Bondowoso.
Dengan segala kendala dan tantangan yang akan menghadang proyek Cak Imin dalam membangun 40 kota dalam waktu lima tahun, kiranya sama dengan kisah Bandung Bondowoso yang membangun seribu candi, yakni Candi Prambanan dalam waktu semalam. (S83)