Cak Imin harus memberikan hukuman yang setimpal kepada mesin-mesin politik PKB. Pasalnya, survei Charta Politika menunjukkan elektabilitasnya sebagai cawapres Jokowi melempem dibanding kandidat lain. Tanpa hukuman yang setimpal, Cak Imin hanyalah poster usang yang terpajang jelang Pemilu.
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]elihat sepak terjang Muhaimin Iskandar dalam pergerakan politik di Indonesia, bisa dibilang dia bukan orang baru. Dari artikel yang berjudul Kisah Politik Cak Imin tulisan Marlen Sitompul, tergambar kisah persinggungan pria kelahiran Jombang itu dengan wacana politik yang telah dimulai sejak bangku SMA.
Dunia politik boleh dibilang telah mendarah daging dalam tubuh pria yang akrab disapa Cak Imim itu. Ini karena sejak kecil dirinya kerap melihat aktivitas politik yang dilakukan ayahnya, Muhammad Iskandar, yang merupakan guru di pondok pesantren Manbaul Ma’arif, Jombang.
Politik itu riang gembira, penuh semangat dan sukacita, bukan mendiskreditkan satu sama lain. (Muhaimin Iskandar) pic.twitter.com/Xlqnwu6aS9
— DPP PKB (@DPP_PKB) April 9, 2018
Kala masih aktif sebagai aktivis pergerakan, Imin getol melakukan kritik atas rezim Orde Baru. Ia pernah mendirikan Tabloid Detik bersama Erros Djarot, namun usianya tak berlangsung lama lantaran dibredel oleh rezim otoritarian Soeharto.
Pemilu pasca reformasi memberikan angin segar bagi dirinya untuk duduk di Senayan. Usianya ketika itu terbilang muda, yakni 31 tahun. Sebenarnya, karir politiknya yang cemerlang juga tidak terlepas dari pengaruh politik keluarga yang dalam tipologi Cliffford Geertz disebut sebagai kelompok “santri”.
Sejak awal, kelompok santri dalam politik Indonesia memang menampilkan tiga sosok yang berpengaruh dalam tubuh NU, yakni Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Bisri Syansuri. Cak Imin merupakan keturunan Bisri Syansuri yang merupakan kakek mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid (GusDur).
Tapi, tampaknya karirnya yang mulus itu sedang tersandung. Aksinya yang dalam beberapa bulan belakangan ingin maju sebagai cawapres pendamping Presiden Joko Widodo (Jokowi) dipandang sebagian kalangan sebagai tindakan yang ambisius. Hasilnya pun terlihat jelas.
Pasalnya, survei Charta Politika yang dilakukan pada 23-29 Mei 2018 di beberapa kota besar di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan elektabilitas Cak Imin sebagai cawapres masih kalah dibandingkan kandidat lain. Bahkan, di kandangnya sendiri di Jawa Timur, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang terbilang pemain baru dalam politik nasional mampu menyalipnya.
Terdapat beberapa indikator yang mungkin turut mempengaruhi lemahnya elektabilitas Cak Imin, misalnya terkait sejumlah catatan buruk ketika dirinya menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Cak Imin dinilai gagal membenahi sistem penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Ia juga membiarkan relasi buruk antara Kemenakertrans dan Penyalur Jasa TKI (PJTKI) terjadi, serta dituding menerima Rp 400 juta terkait korupsi Dirjen Pembinaan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi (P2KT).
Tapi, apakah masalahnya cuma itu? Rasanya tidak. Partai-partai Islam sejak zaman Orde Baru memang sudah dihempas badai silih berganti.
Islam dan Politik di Indonesia
Sedikit refleksi ke belakang, memang agak aneh menyoal hubungan kelompok Islam dalam politik elektoral di Indonesia antara tahun 1955 hingga 1999. Pada Pemilu yang diadakan pertama kali di tahun 1955. Partai-partai Islam kala itu memperoleh jumlah suara cukup besar, yakni sekitar 43 persen.
Setelah dikungkung Soeharto selama 32 tahun, keadaan ini berbalik pada Pemilu 1999. Semua suara partai Islam yang digabung ketika itu hanya memperoleh tidak lebih dari 14 persen dan meningkat sedikit menjadi 17 persen pada Pemilu 2004.
Banyak kalangan menilai, menurunnya popularitas partai Islam, tidak lepas dari agenda politik represif yang diterapkan pada masa Orde Baru. Tabrani Syabirin dalam buku berjudul “Menjinakkan Islam” menilai terdapat dua kalangan yang diawasi ketat oleh rezim Orde Baru.
Yang pertama adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan yang kedua adalah kelompok Islam yang hendak mendirikan negara Islam seperti Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII). Tabrani menilai Islam dalam politik dianggap berbahaya lantaran dapat menggangu stabilitas politik Orde Baru.
Pada zaman Soeharto juga dikeluarkan Peraturan Menteri Nomor 12 tahun 1969 yang sebenarnya merupakan jimat bagi kemenangan politik Orde Baru. Peraturan itu berisi larangan politik bagi pegawai negeri sipil (PNS). Hasilnya, banyak anggota NU yang meninggalkan partai politik, terutama yang berprofesi sebagai PNS.
Kendati demikian, seiring dengan munculnya kelompok Islam yang sebenarnya memiliki basis massa kuat dan adanya ketakutan akan gelombang perlawan, Soeharto kemudian terlihat lebih lunak dengan tokoh-tokoh Islam melalui kedekatannya dengan organisasi seperti Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Sejarawan Anhar Gonggong misalnya, dalam wawancara dengan BBC pada tahun 2008 menilai kedekatan Seoharto dengan ICMI sebetulnya bertujuan untuk menciptakan citra politik jika dirinya memang dekat dengan kelompok Islam.
Walaupun tidak sebesar tahun 1955, perolehan suara partai-partai Islam memang masih menjadi kekuatan politik tersendiri hingga kini. Partai-partai Islam masih mampu mengusung tokoh tertentu ke panggung politik dan bahkan memenangkan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat pada saat Gus Dur yang mewakili koalisi Islam berhasil menjadi Presiden.
Nah, lantas bagaimana dengan Cak Imin yang menjadi penerus tokoh partai Islam? Apa penyebab elektabilitasnya bisa merosot? Apakah ini pertanda matinya mesin politik partai Islam –dalam hal ini PKB?
Matinya Mesin Politik
Dalam bukunya yang berjudul “Politik Santri”, Abdul Munir Mulkhan menyebutkan faktor kegagalan PKB pada Pemilu 2004 adalah karena ulama gagal berfungsi sebagai pelumas bagi mesin politik.
Menurutnya, dakwah Islam yang selama ini digencarkan ulama NU hanya berfokus pada kandang sendiri dan tidak menyentuh wilayah abangan. Budaya pragmatisme politik yang berkembang di kalangan elit NU juga menjadi pendorong matinya mesin politik.
Sebenarnya, pragmatisme bukan hanya terjadi di kalangan elit partai. Beberapa sumber menyebut ada gejala pragmatisme lain di organisasi sayap muda PKB, yakni Anak Muda Indonesia (AMI). Karena organisasi ini cukup baru dan pada dasarnya bekerja untuk publikasi Cak Imin, cukup relevan untuk dijadikan sebagai contoh penyebab matinya mesin politik PKB dan rendahnya elektabilitas Cak Imin.
Cak Imin sahabat baik saya sdh lama sejak tahun 90-an, tp saya belum bisa merespon utk dukung dia dgn JKW, ya kita lihat nanti…
— Faizal Assegaf (@faizalassegaf) May 8, 2018
Kendati demikian, kasus AMI dipakai hanya sebagai salah satu contoh, dan bukan sebagai tolok ukur (benchmarks) yang paten dan menyeluruh terkait penyebab rendahnya elektabilitas Cak Imin.
AMI banyak diisi oleh anak muda yang berasal dari berbagai latar belakang. Namun sayangnya, sejak pendiriannya, organisasi ini sudah bermasalah. Misalnya, terjadi pergeseran kepemimpinan yang begitu cepat dan tensi politik internal yang tinggi. Alhasil, kerja-kerja politik yang ditujukan untuk meningkatkan elektabilitas Cak Imin pun terkendala.
Padahal, kepemimpinan yang buruk, lemahnya kemampuan untuk menciptakan branding di media sosial, dan budaya pragmatisme merupakan faktor utama terhambatnya kerja-kerja politik dari organisasi ini. Budaya pragmatisme yang dimaksud, misalnya terkait adanya dualisme kepemimpinan yang menandai adanya tarik-menarik kepentingan di tubuh organisasi tersebut.
Sekilas, AMI memang terkesan seperti proyek politik, yang dibentuk ketika musim Pemilu tiba. Namun, di sisi lain pendiriannya pun tidak berpengaruh signifikan terhadap popularitas Cak Imin. Branding yang lemah telah membuat Cak Imin seperti layu sebelum berkembang.
Faktanya, banyak sekali peluang yang bisa diambil Cak Imin, namun tidak ditopang oleh kampanye yang masif dari sayap partai, katakanlah misalnya ketika peresmian kereta bandara bersama Presiden Jokowi. Padahal, pertemuan itu adalah kesempatan emas bagi Cak Imin untuk memperbesar porsi elektabilitasnya, namun sayangnya hal ini tidak diperkuat dengan kampanye yang masif dari seluruh elemen partai.
Berdasarkan penelusuran, di berbagai akun media sosial AMI atau organisasi sayap PKB lainnya atau pun di media sosial secara umum, tidak ditemukan kampanye yang intens yang dilakukan oleh mesin-mesin partai yang bertujuan meningkatkan popularitas Cak Imin. Padahal, media sosial adalah platform yang penting di era sekarang ini. Yang terlihat adalah Cak Imin sendiri yang kerap menggembar-gemborkan dirinya lewat pernyataan-pernyataan pribadinya yang justru kontra-produktif dengan pencalonannya.
Douglas Hagar, dalam tulisan berjudul Campaigning Online: Social Media in the 2010 Niagara Municipal Elections menyebutkan media sosial mampu berkontribusi pada keberhasilan politik. Media sosial membuat kandidat bisa berinteraksi dengan calon pemilih dengan skala dan intensitas yang tak bisa dicapai oleh pola strategi kampanye tradisional, misalnya media cetak dan televisi.
Pembentukan sayap partai sebagai mesin politik sebenarnya merupakan strategi yang ditujukan untuk melakukan mobilisasi politik elektoral, dan apa yang dilakukan oleh PKB melalui organisasi sayap partai dan merangkul berbagai kalangan non-partisan secara teori sebenarnya tepat sasaran.
Setidaknya, hal itu dikemukakan oleh Duverger dalam “Political Parties Their Organization and Activity in the Modern State”. Menurut Duverger, kekuatan politik sebuah partai akan ditentukan oleh sejauh mana partai tersebut melakukan penetrasi teritorial sebagai bagian dari pengembangan cabang (branches) di luar induk organisasi partai.
Duverger menilai, melalui kelembagaan politik, sebuah partai akan memperoleh dua hal, yakni stabilitas parpol dalam menghadapi kompetisi kepartaian dan memperkuat kemampuan parpol untuk mempertahankan sumber-sumber dukungan elektoral.
Sayangnya, mesin politik Cak Imin tidak berfungsi dengan baik. Hal ini sebenarnya kontras dengan keinginan politik Cak Imim yang menurut sebagian kalangan terlalu ambisius atau percaya diri.
Pendeknya, jika jadi Cak Imin, mungkin perlu untuk memberikan hukuman yang setimpal atas kegagalan sistematik yang telah dilakukan oleh mesin-mesin politiknya. Tapi apakah ia berani dan apakah hanya kesalahan mesin partainya saja? Atau memang PKB tidak satu suara mendukung pencalonan Imin? (A13)