Site icon PinterPolitik.com

Cak Imin Kerdilkan Gus Yahya?

cak imin kerdilkan gus yahya

Kaus bergambar wajah Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin/Gus AMI) dikenakan oleh Relawan Muhaimin Iskandar Peduli (RMP) kala mengadakan jumpa pers pada Oktober 2021 lalu. (Foto: JPNN)

Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin atau Gus AMI) mengunggah sebuah foto kaus di media sosial (medsos) yang bertuliskan, “Warga NU Kultural Wajib Ber-PKB. Struktural, Sakarepmu!” Unggahan ini sontak menjadi ramai di tengah perpecahan yang terjadi antara Cak Imin dan Ketum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Gus Yahya Cholil Staquf.


PinterPolitik.com

“Jangan jadikan perbedaan pendapat sebagai sebab perpecahan dan permusuhan” – KH Hasyim Asy’ari

Pakaian memang kerap digunakan untuk mengekspresikan identitas. Saat musim kampanye berjalan dalam perhelatan pemilihan umum (Pemilu), misalnya, kaus (T-shirt) yang bergambar calon atau partai politik (parpol) tertentu bertebaran di seluruh penjuru Indonesia.

Bukan hanya parpol dan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), kaus memiliki fungsi tersendiri bagi anak-anak muda – mulai dari yang masih sekolah hingga yang sudah duduk di bangku kuliah. Masih ingat tidak dulu ketika anak-anak sekelas kompak sepakat untuk membuat kaus – atau jenis pakaian lainnya – yang diisi dengan atribut-atribut identitas kelas kalian?

Bahan kaus sendiri bisa dibilang terjangkau bila dibandingkan dengan bahan-bahan pakaian lainnya. Karena murah dan mudah didapatkan, kaus pun menjadi jenis pakaian yang banyak digunakan – termasuk untuk mengekspresikan identitas.

Setidaknya, itulah yang dijelaskan oleh Sally Larsen dalam bukunya yang berjudul Japlish. Sejak tahun 1960-an, kaus menjadi media di mana pesan-pesan tertentu dicetak (sablon). 

Fenomena pesan atau gambar yang di-sablon pada kaus ini pun meledak pada tahun 1980-an dan 1990-an. Tidak jarang, kaus menjadi gaya berpakaian dengan cetakan-cetakan brand atau merek ternama.

Mungkin, bentuk ekspresi melalui kaus inilah yang akhirnya juga digunakan oleh Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin alias Gus AMI. Pasalnya, beberapa waktu lalu, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) tahun 2009-2014 tersebut mengunggah sebuah desain kaus yang bertuliskan, “Warga NU Kultural Wajib Ber-PKB. Struktural, Sakarepmu!”

Sontak saja, unggahan Cak Imin menuai perdebatan di tengah isu perpecahan antara dirinya dan Ketum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Gus Yahya Cholil Staquf. Belum lagi, Ketum PKB juga sempat menyebutkan bahwa apapun yang dilakukan oleh Gus Yahya tidak akan berpengaruh pada PKB.

Sindiran-sindiran yang dilontarkan Cak Imin ini tentu menimbulkan sejumlah pertanyaan – mengingat kelompok Nahdliyin (sebutan untuk warga NU) merupakan basis suara yang besar bagi PKB dalam Pemilu. Lantas, mengapa Cak Imin malah berani melontarkan sindiran-sindiran tersebut? 

Cara Kerdilkan Gus Yahya?

Perpecahan yang terjadi antara Cak Imin dan Gus Yahya ini bisa dibilang merupakan permainan perebutan politik. Di satu sisi, Cak Imin tentunya membutuhkan warga NU sebagai basis suara PKB. Sementara, Gus Yahya berusaha membawa NU untuk tidak terbawa ke dalam arus politik.

Dalam teori permainan (game theory), terdapat sebuah permainan yang dimainkan oleh dua pemain, yakni zero-sum game. Dalam permainan jenis ini, keuntungan atau kemenangan yang diperoleh oleh satu sisi dianggap sama dengan kekalahan atau kerugian yang didapatkan pihak lainnya.

Artinya, bila Cak Imin berhasil memenangkan hati para Nahdliyin, Gus Yahya pun akan merugi. Begitu juga sebaliknya, bila Gus Yahya mampu mengajak warga NU untuk tidak mendukung PKB, Cak Imin pun menjadi pihak yang merugi.

Untuk memenangkan permainan ini, masing-masing pihak bisa saja menggunakan sejumlah taktik. Narasi yang melekat pada kaus unggahan Cak Imin, misalnya, merupakan salah satu upaya untuk mengkategorisasikan warga NU.

Upaya semacam ini bisa dijelaskan dengan teori identitas sosial (social identity theory) yang dicetuskan oleh Henri Tajfel dan John Turner. Mereka menjelaskan bahwa, dalam masyarakat, terdapat kelompok-kelompok yang dibedakan berdasarkan komparasi atau perbandingan sosial – menciptakan kategori-kategori tertentu.

Kategorisasi sosial ini berjalan dengan mencari faktor-faktor pembeda identitas yang ada di antara kelompok-kelompok sosial tersebut. Narasi Us vs Them semacam ini terlihat jelas dari dua kata pembeda yang digunakan oleh Cak Imin dalam pesan yang terkandung di kaus tersebut, yakni NU Kultural dan NU Struktural.

Dua kategori ini sebenarnya berangkat dari perpecahan yang kabarnya muncul pada tahun 2018 silam – ketika Mahfud MD yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) batal dipilih menjadi cawapres yang mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu karena dianggap bukan “kader” NU. 

Mengacu pada tulisan Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Faisal Ismail, mereka yang dianggap kader merupakan warga NU yang menempati jabatan struktural – seperti di PBNU, Pengurus Wilayah NU (PWNU), dan Pengurus Cabang NU (PCNU). Sementara, mereka yang disebut sebagai NU Kultural adalah Nahdliyin yang menjadi warga NU karena keturunan (dzurriyah) dari warga NU sendiri.

Lantas, mengapa pembelahan yang terjadi pada Pilpres 2019 ini kembali digunakan oleh Cak Imin dalam permainannya melawan Gus Yahya? Strategi apa yang bisa jadi dipersiapkan oleh Ketum PKB tersebut?

Strategi Imin Kumpulkan Keping?

Dikotomi antara NU Struktural dan NU Kultural yang dimainkan oleh Cak Imin ini bukan tidak mungkin bisa menguntungkan Ketum PKB tersebut – bila benar-benar mampu membuat NU Kultural berpihak kepada PKB. Pasalnya, warga NU yang tidak masuk struktur tentu jumlahnya jauh lebih besar.

Mereka yang tergolong dalam kategori NU Kultural bisa saja tersebar di banyak kutub kekuatan NU di daerah-daerah. Tidak dapat dipungkiri, mengacu pada tulisan Robin Bush yang berjudul Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power Within Islam and Politics in Indonesia, NU sebagian besar terdiri atas jaringan informal kiai dan ulama yang berpusat pada pesantren – di mana di dalamnya terdapat semacam struktur sosial yang menempatkan kiai sebagai pemimpin sosio-kultural.

Artinya, alur pengaruh sosial dan politik dalam NU tidaklah bersifat linear. Mereka yang masuk dalam struktur kepengurusan belum tentu memiliki pengaruh terhadap para kiai dan ulama di pesantren-pesantren. 

Inilah mengapa Cak Imin akan sangat diuntungkan bila berhasil mengalienasi mereka yang dikategorikan dalam NU Struktural. Warga NU juga bebas menentukan pilihan politik mereka dan tidak diwajibkan untuk mengikuti pilihan politik NU Struktural.

Lagipula, mengacu pada tulisan Greg Fealy yang berjudul Nahdlatul Ulama and the Politics Trap, strategi untuk merangkul para ulama di pesantren sudah lama menjadi strategi Cak Imin. Fealy pun menyebutnya sebagai upaya PKB-isasi NU.

Fealy menyebutkan dua taktik yang digunakan Cak Imin. Pertama, Ketum PKB itu menyalurkan dana dan aset kepada NU di tingkat nasional maupun daerah. Kedua, Cak Imin menggandeng pengusaha – seperti pendiri Lion Air, Rusdi Kirana, yang akhirnya keluar dari PKB pada tahun 2019 – untuk membiayai program-program NU di pesantren-pesantren.

Dua taktik ini kurang lebih menjadi dua keping yang dibutuhkan Cak Imin untuk menjalankan strateginya yang lebih besar – yakni untuk memiliki daya tawar di perhelatan Pemilu 2024. Dalam perpolitikan Indonesia, secara garis besar disertai oleh tiga keping kekuatan kelompok – di antaranya adalah nasionalis, agama, dan insan bisnis (NASAIN). 

Dua keping tadi (agama dan insan bisnis) menjadi bagian integral dari strategi Cak Imin yang disebut strategi pendulum – guna memperoleh keping pertama (nasionalis). Dengan kedua keping itu, Cak Imin bisa melakukan tawar-menawar guna menentukan kutub kekuatan mana yang PKB pilih – mengacu pada artikel PinterPolitik.com yang berjudul Poros Islam PKB: Strategi ‘Pendulum’?.

Inilah mengapa game yang tengah dimainkan Cak Imin melawan Gus Yahya menjadi penting. Keping ‘agama’ – yakni NU – merupakan pokok strategi PKB untuk tetap bisa bernapas dan hidup dalam dunia perpolitikan Indonesia.

Tentunya, keberhasilan strategi elektoral PKB ini kembali lagi pada sejauh mana Cak Imin telah mengumpulkan keping-keping kekuasaannya. Apakah pesan-pesan dalam kaus telah mampu membuat Ketum PKB tersebut memenangkan keping NU?

Atau, mungkin Cak Imin perlu memainkan keping lainnya juga – misal ‘insan bisnis’ yang sebelumnya perannya dipegang oleh Rusdi untuk memenangkan keping NU? Mari kita nantikan dan amati kelanjutannya. (A43)


Exit mobile version