HomeNalar PolitikCak Imin Jadi Wapres, Bisakah?

Cak Imin Jadi Wapres, Bisakah?

Pengamat politik Ray Rangkuti, pada Jumat (13/10) lalu, menyampaikan gagasan menarik: Cak Imin lebih baik dibanding Jenderal Gatot untuk cawapres 2019. Butuh keberanian untuk berspekulasi seperti itu.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]D[/dropcap]irektur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) ini berpendapat bahwa Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar atau Cak Imin adalah representasi umat Islam yang baik. Cak Imin juga disebut memiliki modal politik yang jauh lebih mapan ketimbang Jenderal Gatot Nurmantyo.

Namun, banyak survey justru hanya menempatkan Cak Imin di klasemen bawah bakal calon (balon) cawapres potensial 2019 nanti. Cak Imin kalah jauh dari Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Sri Mulyani, terutama Gatot. Masuknya nama Gatot menunjukkan kecenderungan publik untuk lebih menyukai pemimpin dari kalangan militer dalam kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres).

Sementara itu, Cak Imin juga masih megap-megap dengan tingkat popularitasnya, bila masih berambisi menjadi cawapres seperti 2014 lalu. Perlu kerja ekstra baginya untuk mencuri perhatian publik terutama mengenai pandangan politik dan kinerjanya. Tapi, kalau sudah tidak berambisi, ya santai-santai saja. Namanya juga pengamat dan lembaga survey kan, sukanya main bongkar pasang saja.

Bila melihat tendensi politik identitas yang kental nuansa Islam belakangan ini, nama Cak Imin memang cukup terdengar seksi. Bisa jadi, ia adalah representasi yang bisa membawa stabilitas politik Islam di peta nasional. Pasalnya, sulit bagi siapapun untuk berbicara mewakili seluruh fraksi Muslim di Indonesia. Apakah mungkin Cak Imin menjadi cawapres? Menarik untuk disimak.

Mengenal Perjalanan Cak Imin

Cak Imin tumbuh di ruang aktivisme mahasiswa. Ia turut serta dalam gerakan mahasiswa yang ingin menjatuhkan Orde Baru. Karir politiknya dimulai dari bawah, tepatnya pada momentum reformasi 1998. Di momen itu, Cak Imin turut membentuk PKB, dan langsung menjabat sebagai Sekjen.

Sebagai seorang politisi, Cak Imin memiliki catatan karir yang baik. Jabatan di institusi legislatif dan eksekutif pernah ia genggam. Cak Imin menjabat sebagai anggota dewan Ketua F-PKB 1999-2004. Karena kinerjanya yang baik dan dianggap mampu mewakili partai, ia kemudian diangkat menjadi Wakil Ketua DPR pada periode 2004-2009.

Mulusnya karir politik Cak Imin kala itu tak terlepas dari eksistensi PKB dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Namun, Gus Dur sebagai Ketua Majelis Dewan Syuro kemudian meminta Cak Imin untuk mundur dari jabatan Ketua Umum PKB di tahun 2008. Tuntutan itu dinilai sebagai reaksi Gus Dur karena didorong turun dari jabatannya oleh Cak Imin. Cak Imin yang tidak terima dengan putusan Gus Dur kemudian mengajukan gugatan ke pengadilan dan memenangkannya.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Kemenangan atas konflik internal PKB kemudian membawa Cak Imin menduduki kursi ketua umum partai yang sah. Pada tahun 2009, Cak Imin kemudian dipercayai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menduduki kursi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans). Sebagai wakil Nadhlatul Ulama (NU) dan PKB di pemerintahan, Cak Imin berhasil bertahan sampai periode pemerintahan SBY habis di 2014.

Terakhir, ia sukses membawa PKB meraih suara cukup signifikan di Pemilu 2014 dan menempatkan 47 kadernya di Senayan. Strategi ‘jitu’ Cak Imin disebut-sebut oleh kader PKB sebagai faktor keberhasilan PKB di 2014. Cak Imin kini turut duduk di kursi DPR pada periode 2014-2019.

Kendati demikian, Cak Imin bukannya tanpa catatan buruk. Sejumlah pengamat menilai kinerja profesional Cak Imin cenderung rendah. Misalnya, ketika menjabat sebagai Menakertrans, ia gagal membenahi sistem penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Cak Imin juga dianggap membiarkan relasi buruk Kemenakertrans dengan Penyalur Jasa TKI (PJTKI) terjadi.

Juga di saat menjabat tersebut, Cak Imin dikabarkan terkait dengan korupsi Dirjen P2KT. Dia dituding menerima Rp 400 juta dari kasus tersebut. Kini, kasus maupun penyelidikannya mandek dan tidak pernah dilanjutkan lagi.

Tokoh Islam, Bisakah?

Sejarah ketokohan Muslim di panggung politik nasional tidak pernah berjalan baik. Salah satu faktornya karena sepanjang Orde Baru, kalangan Islam ditekan secara terstruktur oleh rezim. Tekanan-tekanan tersebut kemudian memaksa banyak terjadi pecahan-pecahan dalam fraksi politik Islam di Indonesia.

Memasuki era reformasi, kekuatan-kekuatan politik Islam mulai mendapatkan panggung, dimulai dengan Gus Dur yang menggantikan Megawati di kursi presiden. Kemudian, tahun 2004 adalah kali pertama dan terakhir banyak tokoh Islam yang maju dalam pilpres, yakni Salahuddin Wahid, Amien Rais, dan Hasyim Muzadi. Ketiganya gagal meraih kemenangan, kalah dari pasangan militer-pebisnis, SBY-Jusuf Kalla (JK).

Tidak banyak pula tokoh Islam selanjutnya yang dapat duduk menjadi aktor sentral dalam pemerintahan. Jangankan mengusung calon, sejak koalisi di level partai saja, kelompok Islam cenderung terbelah dan hanya bercokol dengan ‘menumpang’ partai nasionalis. Politisi sipil-profesional dan kalangan militer terlalu mendominasi dan merebut panggung politisi-politisi Islam.

Namun, Cak Imin adalah sosok yang mampu bertahan melalui pergantian pemerintahan. Sejak era Gus Dur-Megawati Soekarnoputri, hingga Jokowi hari ini, Cak Imin selalu mampu menempatkan PKB dan dirinya dalam peta politik koalisi pemerintah. Bagi dirinya sendiri, Cak Imin tidak pernah kehilangan kursi jabatan di pemerintahan, terutama sejak memenangkan sengketanya dengan Gus Dur tahun 2008.

“Insyaallah seluruh keluarga besar PKB, NU akan menyerahkan gaji satu bulan untuk Rohingya. Apa pun latar belakangnya, apa pun atau siapa pun yang melakukannya, kalau sudah soal kemanusiaan, kita harus atasi dengan seluruh kemampuan kita”

-Muhaimin Iskandar-

Sementara itu, PKB sendiri banyak diuntungkan oleh kepiawaian Cak Imin, karena berhasil menempatkan empat kadernya di jajaran kementerian Presiden Jokowi. Menteri-menteri yang dimaksud adalah Menakertrans Hanif Dhakiri, Menteri Desa Eko Putro Sandjojo, Menristekdikti Muhammad Nasir, dan Menpora Imam Nachrawi. Ini belum menghitung kader-kader NU non-PKB, yang juga punya kedekatan dengan Cak Imin, seperti Mensos Khofifah misalnya.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Bahkan, juga menurut fakta, jumlah menteri dari PKB di pemerintahan Jokowi lebih banyak ketimbang pada zaman Gus Dur. PKB berada di peringkat dua setelah PDIP dalam peringkat  jumlah kader partai terbanyak di kementerian saat ini. Hal ini membuktikan, sekalipun selalu dikuasai oleh kalangan nasionalis, Cak Imin mampu bergeliat dengan baik di internal pemerintah.

Pun di luar high politics pemerintahan, Cak Imin juga aktif beraksi di ranah sosial. Seorang tokoh Islam moderat seperti Cak Imin akan tetap menjadi representasi kalangan moderat di akar rumput. Legitimasinya pun terus mengakar dengan amal-amal usaha PKB yang banyak bertambah sejak kepemimpinan Cak Imin.

Menerka Pengaruh Strategis Cak Imin

Melihat pola kepemimpinan tokoh dan partai politik Islam di pemerintahan, sesungguhnya tidak banyak yang bisa diharapkan dari pengusungan Cak Imin sebagai cawapres. Calon presiden/wakil presiden dari kalangan Islam tidak pernah menggairahkan publik nasional.

Terlebih, fragmentasi kelompok Islam moderat-radikal yang semakin tajam saat ini jelas membelah suara umat Islam. Muslim di Indonesia masih jauh dari karakteristik tunggal yang bisa diwakilkan begitu saja oleh sosok Cak Imin. Alih-alih membendung mobokrasi dan populisme radikal, Cak Imin justru bisa semakin membelah suara masyarakat Islam menjadi dua kubu besar.

Namun, bila melihat kepiawaian politiknya, nampaknya Cak Imin memiliki kecerdasan untuk dekat kepada penguasa. Siapapun penguasanya, sejauh ini Cak Imin mampu mendekat padanya. Apabila pada 2014 Cak Imin terhambat masalah etika terkait keinginan Mahfud MD untuk maju sebagai capres, kini Cak Imin berdiri bebas. Tak ada sandungan etis bila dia masih berambisi menjadi cawapres.

Namun, menempatkannya dalam tubuh koalisi saja tanpa menimbangnya sebagai cawapres bisa jadi lebih tepat. Dengan begitu, kantong suara Islam dapat diraih, namun tetap menepatkan sosok lain yang lebih kuat sebagai cawapres. Untuk Cak Imin sendiri, jaminan kursi menteri baginya dan kenaikan jumlah kursi bagi PKB bisa jadi adalah tawaran terbaik. (R17)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Mengejar Industri 4.0

Revolusi industri keempat sudah ada di depan mata. Seberapa siapkah Indonesia? PinterPolitik.com “Perubahan terjadi dengan sangat mendasar dalam sejarah manusia. Tidak pernah ada masa penuh dengan...

Jokowi dan Nestapa Orangutan

Praktik semena-mena kepada orangutan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik-praktik itu terus...

Indonesia, Jembatan Dua Korea

Korea Utara dikabarkan telah berkomitmen melakukan denuklirisasi untuk meredam ketegangan di Semenanjung Korea. Melihat sejarah kedekatan, apakah ada peran Indonesia? PinterPolitik.com Konflik di Semenanjung Korea antara...