Pernyataan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) terkait ide penundaan pemilu untuk selamatkan Wapres Ma’ruf Amin mungkin dianggap hanya sebuah guyonan. Tapi, sebagian pengamat menilainya berbeda, pernyataan Cak Imin tidaklah layak karena objeknya seorang ulama besar. Lantas, apakah ini bisa jadi pertanda Cak Imin sedang menggali kuburnya sendiri?
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) seringkali mengundang kontroversi di setiap pernyataan-pernyataannya. Masih segar dalam ingatan, Cak Imin beserta sejumlah ketua umum partai pendukung pemerintah kompak mengusulkan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Setelah demonstrasi besar mahasiswa yang dipelopori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia (BEM-SI) meminta pemerintah dan DPR konsisten menjalankan konstitusi, barulah para elite merubah sikap tentang wacana ini.
Bahkan pemerintah, sebelum demonstrasi berlangsung, melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan klarifikasi dan sikap tegas bahwa Pemilu 2024 pasti akan dilaksanakan sesuai jadwal. Seketika itu, semua pengusul wacana penundaan termasuk Cak Imin membuat klarifikasi.
Cak Imin mengatakan ide tunda Pemilu 2024 dilontarkan bertujuan untuk membantu Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin. Kata Cak imin, “Kenapa menolong Kiai Ma’ruf? Supaya nanti di akhirat ditanya, kurang ini kurang itu. Mesti alasannya dua tahun pandemi enggak bisa ngapa-ngapain”.
Menurut Cak Imin, penundaan pemilu disampaikan karena ada sejumlah pekerjaan yang belum diselesaikan pemerintah imbas pandemi Covid-19. Proyek pemindahan ibu kota negara (IKN) juga belum sempat tergarap.
Oleh karena itu, ide penundaan tersebut baginya masuk akal. Meski dalam beberapa pernyataan Cak Imin menegaskan menolak jika dianggap ngotot Pemilu 2024 ditunda. Karena baginya, wacana tersebut hanya sebatas menyampaikan usulan, dan jika ada yang menolak maka itu wajar.
Alasan Cak Imin yang menyeret nama Ma’ruf Amin dinilai sebagai cara untuk cuci tangan dan menutupi kesalahannya terkait wacana penundaan pemilu. Apalagi ditambah dengan alasan pandemi membuat efektivitas kerja pemerintah tidak maksimal, upaya menutup kesalahan dinilai semakin terlihat.
Ahmad Khoirul Umam, pengamat politik Universitas Paramadina, melihat apa yang dilakukan Cak Imin adalah cara untuk cuci tangan dari kontroversi besar yang dibuatnya sendiri.
Bahkan, Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali, mengatakan Cak Imin tidak pantas menyeret nama Ma’ruf Amin dalam pusaran wacana penundaan Pemilu 2024. Apalagi mengaitkan isu ini dengan urusan kehidupan akhirat, seperti pernyataannya di atas.
Meskipun telah dikonfirmasi Masduki Baidlowi, Juru Bicara Wapres, bahwa pernyataan Cak Imin adalah sebuah guyonan yang biasa di Nahdlatul Ulama (NU), tetapi masalahnya dia sebagai Ketum PKB, dan harus bisa menempatkan pernyataan dalam situasi yang tepat.
Apalagi pernyataan berkaitan dengan wacana yang jadi sorotan publik, yaitu penundaan Pemilu. Dan menyeret nama Ma’ruf Amin bukanlah perkara yang sederhana. Sebagai Tokoh inti di kalangan Nahdliyin, Ma’ruf Amin sangat diperhitungkan.
Lantas, sebelum kita melihat dampak pernyataan Cak Imin. Muncul pertanyaan, terdapat hubungan seperti apa sosok Ma’ruf Amin dan NU?
Ma’ruf Amin dan NU
Fathoni dalam tulisannya Jejak NU Tinggalkan Politik Praktis dan Perkuat Khittah 1926, menjelaskan praktik politik NU yang digagas oleh K.H. Sahal Mahfudh, dikenal dengan istilah siyasah aliyah samiyah (politik tingkat tinggi), bukan siyasah safilah (politik tingkat rendah).
Politik tingkat rendah biasa disetarakan dengan politik kekuasaan, yang merupakan bagian dari politik praktis yang sering dipraktekkan oleh partai-partai politik selama ini. Sedangkan NU berperan pada politik tingkat tinggi, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.
Dan tokoh yang dipercaya dapat menerapkan peran politik tingkat tinggi seperti ini adalah para alim, sebuah bentuk singular dari ulama, yang maknanya secara sederhana berarti orang terpelajar. Dan Ma’ruf Amin merupakan salah satu tokoh yang saat ini punya predikat tersebut.
Ma’ruf Amin dikenal sebagai ulama yang sangat mumpuni dan memiliki banyak pengalaman dalam jabatan-jabatan pemerintah. Di umur yang sudah tidak muda lagi, Ma’ruf Amin juga memegang jabatan penting di beberapa organisasi Islam.
Sebelum mencalonkan sebagai wakil presiden, sempat menjabat sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2015-2020 dan Ketua Umum MUI periode 2015-2020. Selain itu, Ma’ruf Amin merupakan ulama yang sangat disegani serta menjadi rujukan oleh kebanyakan umat Muslim di Indonesia.
Faktor nasab, mungkin masih berpengaruh dalam tradisi keagamaan di NU. Diketahui, Ma’ruf Amin merupakan turunan dari ulama besar, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Merupakan ulama yang memiliki segudang keilmuan dan sangat disegani baik di Indonesia maupun di dunia internasional.
Vanny El Rahman dalam tulisannya Profil Lengkap Cawapres Ma’ruf Amin, mengatakan dalam karier politiknya, Ma’ruf Amin pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) urusan Agama dan Hubungan Negara-negara Islam pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun 2007.
Kemudian, Ma’ruf Amin juga pernah menjabat sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), anggota MPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Ketua Komisi VI DPR RI.
Bahkan, terdapat cerita menarik saat menjabat sebagai anggota DPRD DKI Jakarta. Terdapat kontribusi Ma’ruf Amin karenai pernah meloloskan perpanjangan masa tahun dalam plat nomor kendaraan, yang mana ini ditujukan untuk memudahkan pemeriksaan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Cerita di atas menggambarkan bahwa Ma’ruf bukan hanya ulama. Ia juga dikenal sebagai politikus. Dan dengan diusungnya menjadi wapres oleh warga NU, membuktikan bahwa Ma’ruf merupakan orang terpenting dalam NU itu sendiri.
Dalam konteks pernyataan Cak Imin, seolah ia memperlihatkan sikap yang kurang elok dilihat karena menyeret nama tokoh besar seperti Ma’ruf Amin hanya untuk sebagai bahan klarifikasi terkait dukungannya terhadap penundaan pemilu.
Tentunya hal ini sangat disayangkan, dan di lain sisi seolah menjadi bukti bahwa ada jarak (gap) pada level berpolitik yang disinggung di atas, yaitu level politik tingkat tinggi dan level politik tingkat rendah.
Dan level politik tingkat rendah ini adalah kenyataan lain dari praktik komunikasi buruk politisi yang menandakan kian menguatkan gejala retrogresi politik. Gejala retrogresi ini bisa dimaknai sebagai pemburukan kualitas berpolitik yang diakibatkan hilangnya kepekaan dan komitmen untuk menghormati norma dan keadaban.
Well, lantas mungkinkah sikap Cak Imin mempunyai dampak politik bagi dirinya dan PKB?
Salah Langkah?
Ketika Cak Imin ikut menyuarakan penundaan Pemilu 2024, tanpa sadar ia telah mempertontonkan kapasitasnya ke hadapan publik. Ditambah pula dengan alasan menyelamatkan Wapres Ma’ruf Amin, membuat pernyataannya dianggap irasional dan cenderung mengada-ada.
Pengamat sosial keagamaan Fachry Ali, menyoroti sikap Cak Imin dan mengatakan, bahwa yang diperlihatkan Cak Imin itu benar-benar sebuah anti-intelektual, bahkan dapat menjadi sebuah pelecehan kecerdasan publik.
Menurut Fachry, PKB kemungkinan besar akan mendapat dampak negatif akibat sikap Cak Imin, mengingat basis suara mereka adalah dari kalangan Islam NU. Apalagi tradisi kaum nahdliyin yang banyak menelurkan intelektual Muslim, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan predikat tersebut.
Kemudian yang terpenting, saat ini hubungan Cak Imin dan PKB sedang tidak baik dengan PBNU yang memanas setelah Cak Imin melakukan safari politik di Jawa Timur. Hal ini lantaran PCNU Kabupaten Banyuwangi dan Sidoarjo diduga terlibat politik praktis dengan mendukung Cak Imin sebagai capres 2024.
Kekuatan NU terletak pada kiai dan santri yang dikenal dengan kesederhanaan dan solidaritas tinggi, yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Dan kekuatan PKB terletak pada NU yang punya ikatan historis saat pendirian partai ini.
Bagi PKB sukar untuk eksis tanpa dukungan NU dan pesantren. Hasil terbesar suara PKB nasional berasal dari kantong NU dan pesantren seperti di Jawa Timur (Jatim), Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Barat (Jabar), juga sebagian di Lampung, Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Sulawesi Selatan (Sulsel).
Data memperlihatkan bahwa 31 dari 58 anggota Fraksi PKB DPR RI hasil Pemilu 2019 berasal dari Dapil Jatim dan Jateng. Di Dapil Jateng, suara terbesar PKB berasal dari kawasan pesisir yang identik dengan kantong NU dan pesantren.
Sebagai penutup, di tengah cuaca politik yang sedang tidak bersahabat bagi PKB dan juga posisi dilematis PKB terhadap NU dalam konteks dukungan politik. Bijak jika Cak Imin meredam untuk tidak memperkeruh dengan pernyataan-pernyataan yang nantinya berdampak buruk bagi dirinya dan PKB ke depan. (I76)