Dengarkan Artikel Ini:
Isu kudeta posisi Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mencuat seiring kekalahannya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Namun, melihat kelihaian dan kemampuan Cak Imin dalam mengelola partai, isu itu tampaknya sulit untuk menjadi kenyataan. Benarkah demikian?
Isu kudeta terhadap Ketua Umum (Ketum) PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin), menjadi sorotan hangat dalam jagad politik Indonesia pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dalam beberapa waktu terakhir.
Kejadian ini tidak terlepas dari beberapa faktor internal dan eksternal yang tampaknya mempengaruhi dinamika politik di tubuh PKB.
Isu kudeta ini kemudian dikaitkan dengan munculnya ketidakpuasan atas manuver politik yang dilakukan Cak Imin ketika memilih untuk berpasangan bersama Anies Baswedan dalam Pilpres 2024, hingga menuai ketidaksetujuan dari sebagian pihak di internal PKB.
Ketidakpuasan itu kiranya bisa tergambar dari hasil survei LSI pada 19-21 Februari 2024. Survei itu menunjukkan bahwa 47 persen pemilih PKB justru memilih pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka di pilpres.
Selain itu, “perseteruan” dengan beberapa tokoh Nahdlatul Ulama (NU) seperti Gus Ipul dan Khofifah Indar Parawansa yang sejatinya merupakan basis PKB turut memperumit situasi.
Konflik dengan tokoh NU ini kiranya semakin meruncing dan memberikan ruang bagi spekulasi tentang kemungkinan kudeta terhadap Cak Imin.
Selain itu, faktor eksternal yang juga turut mempengaruhi isu kudeta ini adalah “sakit hati” Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran terhadap Cak Imin ketika memilih untuk meninggalkan koalisi dengan Prabowo.
Namun demikian, perolehan suara tinggi PKB dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 juga menjadi pertimbangan penting, mengingat potensi dukungan yang dapat diberikan partai ini.
Faktor “sakit hati” TKN ini memunculkan spekulasi bahwa mereka akan menerima PKB ke kubu Prabowo-Gibran jika tidak dipimpin oleh Cak Imin.
Lantas, mengapa isu kudeta ini bisa muncul?
Cak Imin Tak Peka?
Pada masa kampanye lalu, Cak Imin dengan bangga menyatakan bahwa pencalonan dirinya di dukung oleh kiai-kiai NU dan bahkan dia juga mengklaim akan menguasai Jawa Timur (Jatim) yang merupakan basis NU bersama Anies.
Namun, realitasnya jauh dari klaim tersebut. Pasangan Prabowo-Gibran sejauh ini dalam real count KPU dengan 84,26 persen suara masuk, berhasil meraih 66,41 persen suara di provinsi basis NU tersebut melawan 15,72 persen pasangan Anies-Cak Imin.
Fenomena ini pun dijelaskan dengan konsep black swan yang dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb, seorang polimatematikawan Lebanon dalam bukunya yang berjudul The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable.
Black swan atau angsa hitam adalah metafora untuk menjelaskan peristiwa yang tidak terduga, langka, namun memiliki dampak besar yang tidak terduga pula.
Secara khusus, Taleb menggunakan istilah angsa hitam ini dengan merujuk pada cerita penemuan angsa hitam di Australia yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh berbagai pihak sebelumnya karena meyakini angsa adalah unggas yang identik dengan warna putih.
Dalam konteks Cak Imin, konsep black swan bisa dilihat dari kekalahannya di basis NU yang seharusnya juga merupakan basis suara PKB adalah kejadian yang luput dari dugaan dan kalkulasi Cak Imin. Sehingga, hal itu memengaruhi dampak elektoralnya di pilpres.
Wakil Ketua DPR RI itu kiranya keliru dalam mengabaikan kompleksitas politik dalam internal NU. Dia mungkin lupa bahwa NU bukanlah sebuah perusahaan di mana pemimpin dapat mengatur pilihan dari anak buah sesuai keinginan si pemimpin.
Secara khusus pengikut NU terbagi menjadi dua, yaitu NU struktural dan NU kultural. NU struktural yakni pengikut NU yang mempunyai afiliasi ke-NU-an karena terlibat dan menjadi bagian dari struktur NU.
Sementara, NU kultural adalah mereka yang menjadikan NU sebagai bagian dari realitas tradisi keagamaan. Ikatan kultur yang menjadikan mereka terikat menjadi bagian dari ke-NU-an.
NU kultural ini lah yang kiranya menjadi salah satu faktor kekalahan Cak Imin. Meskipun dirinya telah mengklaim di dukung oleh para kiai NU, Cak Imin tampaknya lupa jika NU kultural ini tidak hanya berpatokan pada tokoh, melainkan juga nilai.
Dia tampaknya mengabaikan fakta jika sebagian besar warga NU kultural ini kiranya tidak sepakat dengan politik identitas yang kerap diusung oleh Anies dan bertentangan dengan tradisi NU yang moderat dan toleran.
Lalu, bagaimana probabilitas terhadap isu kudeta terhadap Cak Imin bisa menjadi kenyataan?
Cak Imin Terlalu Lihai?
Cak Imin bukanlah sosok yang mencolok dalam deretan politisi dengan kekayaan melimpah, kecerdasan luar biasa, atau reputasi tanpa cela.
Namun, di tengah berbagai persoalan yang ada, adalah fakta bahwa Cak Imin berhasil mengonsolidasi, melegitimasi, dan mempertahankan kursinya sebagai Ketua Umum PKB.
Sebagai Ketum PKB dirinya selalu membawa partai ini melenggang ke Senayan. Bahkan, meraih perolehan suara secara signifikan dalam Pemilu 2024 kali ini.
Berdasarkan faktor itu, Cak Imin kiranya memenuhi kriteria pemimpin yang hebat menurut Niccolò Machiavelli dalam bukunya Il Principe.
Menurut Machiavelli, kehebatan seorang penguasa, bukan terletak pada kecerdasan, kebaikan, atau kengeriannya, melainkan kemampuannya dalam mengonsolidasi kekuasaan, meredam potensi perlawanan, dan menjaga dukungan masyarakat.
Menyebut Cak Imin sebagai politisi brilian bukan tanpa alasan. Pasca perseteruan dirinya dengan Gus Dur, perolehan suara PKB di Pemilu 2009 turun drastis.
Dalam Pemilu 2009, PKB hanya mampu meraih 4,94 persen suara, turun dari 10,57 persen di Pemilu sebelumnya. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh Gus Dur yang masih kuat kala itu, sehingga menyebabkan warga NU tak memilih PKB.
Profesor Greg Fealy dalam ulasannya di New Mandala menjelaskan bahwa kondisi itu membuat Cak Imin khawatir PKB tak akan lolos ambang batas parlemen di Pemilu 2014.
Melihat realitas itu, Cak Imin kemudian melakukan dua strategi penting untuk mendongkrak perolehan suara PKB.
Strategi pertama Cak Imin adalah mengikat partai dengan NU, menyalurkan dana, dan menyerahkan aset untuk mendukung program-program NU.
Para politisi PKB diinstruksikan untuk memberikan iuran bulanan yang kemudian dialokasikan bagi program-program NU. PKB bahkan juga menjamin saat itu jika PKB dibubarkan, semua asetnya akan dialihkan ke NU.
Strategi kedua adalah mendapatkan dukungan dari pengusaha kaya untuk mendanai program-program yang berhubungan dengan pemilihan umum di komunitas NU di basis pemilih PKB di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Kedua strategi ini membuktikan keberhasilan Cak Imin dalam meraih dukungan, baik dari kalangan agama maupun bisnis. Dukungan simbolis dari kiai-kiai besar NU seperti Said Aqil dan Ma’ruf Amin juga memberikan angin segar bagi PKB saat itu.
Perolehan suara PKB pun akhirnya meningkat menjadi 9 persen dalam Pemilu 2014, sehingga menegaskan posisi PKB sebagai partai Islam dengan perolehan suara tertinggi.
Melihat kemampuan dan kelihaian yang dimiliki Cak Imin, tampaknya sulit untuk melengserkannya dari kursi Ketua Umum PKB.
Dengan kemampuan, kelihaian, dan pragmatisme-nya pula, bukan tidak mungkin PKB akan dibawa Cak Imin merapat ke koalisi Prabowo-Gibran.
Kemungkinan ini juga berkaca dari nihilnya pengalaman PKB sebagai partai oposisi pemerintah sehingga tampaknya akan terjadi kompromi politik antara Cak Imin, internal PKB, untuk kemudian bersama pihak TKN.
Menarik untuk menunggu langkah politik yang akan diambil Cak Imin dan PKB pasca Pemilu 2024 serta dinamika politik yang meneyrtainya sejauh ini. (S83)