HomeNalar PolitikCak Imin, Agresif Untuk 2024?

Cak Imin, Agresif Untuk 2024?

Cak Imin kembali berusaha memperkuat posisi politiknya. Setelah ditetapkan secara aklamasi menjadi ketua PKB 2019-2024, kini ia kembali mengincar setidaknya 8 kursi menteri. Politikus yang satu ini memang dikenal ambisius dan pragmatis. Namun, apa yang sebenarnya ia kejar?


PinterPolitik.com

Sebagai politikus, bukan hal yang aneh jika Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, ingin semakin berkuasa. Ya, bagaimanapun juga, jika meminjam kata-kata ilmuwan politik asal Amerika Serikat, Harold Lasswel, politik adalah “who gets what, when, and how”.

Namun, cara Cak Imin untuk terus berkuasa, khususnya dalam mempertahankan kursi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terkesan agresif.

Menurut sudut pandang Niccolo Machiavelli, hanya ada dua hal yang penting bagi seorang penguasa politik, yaitu bagaimana cara untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan (power).

Oleh karenanya, agar dapat memenuhi dua hal tersebut seorang pemimpin boleh menggunakan segala macam cara, sekalipun harus mengesampingkan moral.

Lalu, apakah Cak Imin adalah seorang Machiavellian?

Oligarki Yang Merangkul?

Jika melihat rekam jejak Cak Imin di dunia perpolitikan Indonesia, bisa dibilang dirinya merupakan sosok yang ambisius dan agresif.

Kedudukannya di kursi ketua umum PKB diawali dengan perselisihannya dengan sang pendiri partai yang sekaligus pamannya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Perselisihan ini berujung pada gugatan Cak Imin di pengadilan terhadap keputusan Gus Dur yang memecat dirinya dari keanggotaan PKB.

Kemudian di tahun yang sama, guna merebut kursi Ketua Umum PKB dari Gus Dur, Cak Imin membuat Musyawarah Luar Biasa (MLB) PKB tandingan sehari setelah Gus Dur mengadakan MLB.

Pada akhirnya sejak 2008, Gus Dur “terusir” dari PKB dan sejak saat itu Cak Imin-lah yang berkuasa. 

Manuver politik Cak Imin terhadap Gus Dur ini membuat hubungan dirinya dengan para pengikut Gus Dur atau para Gusdurian menjadi buruk, bahkan hingga detik ini.

Di antaranya adalah putri-putri Gus Dur, Allisa Wahid dan Yenny Wahid yang hingga saat ini kuat menentang kekuasaan politik Cak Imin. Dalam banyak kesempatan, keduanya juga mengkritik perilaku politik PKB.

Allisa misalnya, pernah mengkritik PKB karena menyeret Nahdlatul Ulama (NU) – yang memang identik dengan PKB – ke dunia politik praktis. Hal serupa diutarakan Yenny yang sering mengingatkan NU agar tidak terlibat dalam politik praktis, apalagi minta jatah menteri.

Ya, di bawah kepemimpinannya, Cak Imin berhasil mengkonsolidasikan kekuatan NU demi kepentingan politik PKB. Bahkan baru dalam Pilpres 2019 untuk pertama kalinya NU secara terbuka mendukung PKB.

Startegi Cak Imin yang menyeret NU ke dalam politik praktis ini lagi-lagi bertentangan dengan pandangan Gus Dur yang tidak ingin mengaitkan agama dengan politik partai.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Hubungan yang buruk dengan Gusdurian ini membuat Cak Imin terus berusaha menyingkirkan Gusdurian. Hal ini terlihat jelas dengan tidak pernah diundangnya Gusdurian, terutama putri-putri Gus Dur, ke Muktamar PKB sejak 2008.

Bukan hanya Gusdurian, ambisi Cak Imin untuk menyingkirkan pesaingnya juga terlihat dengan tidak diundangnya dua mantan Sekjen PKB ke Muktamar 2019.

Tidak berhenti di situ, bahkan Cak Imin dikabarkan akan mempertimbangkan usulan untuk menghapus posisi sekjen di PKB.

Cak Imin juga memutuskan untuk mengganti nama panggilannya menjadi “Gus Ami”. Pergantian nama dengan memilih gelar “gus” ini ditengarai menjadi strategi Cak Imin lainnya untuk menguatkan posisi politiknya di PKB maupun NU, mengingat nama tersebut adalah sebutan yang prestisius untuk anak dari kiai yang mengelola pesantren.

Manuver-manuver politik Cak Imin di atas memberikan sinyal bahwa pria kelahiran Jombang, Jawa Timur tersebut ingin menjadi satu-satunya penguasa di PKB atau dengan kata lain Cak Imin ingin menjadi oligarki politik.

Sementara untuk manuver Cak Imin di luar PKB dan NU, dalam beberapa kesempatan ia mengajak beberapa politikus dan kader partai lain untuk bergabung ke PKB.

Sebut saja Sandiaga Uno, lalu ada Grace Natalie dan Yusril Ihza Mahendra yang nota bene merupakan Ketua Umum PSI dan PBB, semuanya diajak masuk PKB oleh Cak Imin. 

Selain sikap mengajak di atas, Cak Imin juga bisa menunjukkan sikap agresif. Ia misalnya terlihat sangat ambisius dan percaya diri bahwa dirinya yang akan dipilih sebagai cawapres Jokowi untuk Pilpres 2019.

Bahkan Cak Imin pernah mengeluarkan “ancaman” bahwa Jokowi  tidak akan menang Pilpres jika tidak memilih cawapres dari NU.

Agresivitas ini masih berlanjut dalam bursa menteri kabinet baru Jokowi-Ma’ruf Amin. PKB menjadi salah satu partai yang meminta kursi menteri terbanyak.

Juli 2019 lalu, PKB sudah meminta jatah 10 kursi menteri kepada Jokowi. Kemudian pada muktamar kemarin, PKB nampaknya meminta 8 kursi menteri, mulai dari menteri bidang sumber daya alam, budaya, hingga agama, dengan alasan untuk menangkal radikalisme.

Permintaan delapan menteri ini cukup ambisius mengingat belum lama ini Jokowi sudah mengatakan bahwa dalam kabinet barunya nanti kader parpol hanya dapat menduduki 45 persen kursi menteri atau sekitar 15 posisi saja.

Jumlah kursi yang dapat dikuasai PKB juga semakin sedikit ketika pada Kongres PDIP dua minggu lalu, Jokowi sudah menjanjikan bahwa PDIP akan mendapatkan porsi kabinet terbesar, bahkan bisa dua kali lipat dari partai lain.  

Meskipun manuver-manuver politiknya menuai kontroversi, layaknya pandangan Machiavelli, apa yang dilakukan Cak Imin memang berhasil mempertahankan dan meningkatkan kekuatan politik PKB.

Fakta berbicara bahwa di bawah kepemimpinannya, PKB semakin sukses dalam hal kekuatan elektoral yang terus bertambah sejak Pileg 2009. Bahkan pada Pileg 2019, PKB mampu menjadi partai dengan perolehan suara terbesar keempat setelah PDIP, Gerindra dan Golkar.

Baca juga :  Menguji "Otot Politik" Andika Perkasa

Lalu, apa yang sebenarnya ingin Cak Imin capai dengan semua manuver politik di atas?

Melihat ambisinya yang sangat tinggi untuk menjadi cawapres Jokowi, bisa jadi Cak Imin masih belum puas dengan posisinya sekarang dan akan langsung mengincar jabatan presiden, mungkin di Pilpres 2024 mendatang.

Dalam kajian Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, sosok Cak Imin disebut-sebut layak menjadi capres 2024. Hal serupa juga dikatakan oleh Ketua DPP PKB Jazilul Fawaid. Ia mengatakan bahwa Cak Imin sudah pantas jika maju sebagai capres di 2024 nanti.

Ambisi di 2024 juga semakin diperlihatkan pada Muktamar PKB.

Cak Imin mengatakan bahwa di 2024, PKB akan menjadi partai papan atas, partai nasionalis agamis terkuat dan terbesar di Indonesia, serta meraih “kemenangan nomor 1”. Sangat mungkin kemenangan nomor 1 yang dimaksud adalah posisi tertinggi di republik ini.

Tidak Semudah Itu

Meskipun berhasil memperkuat posisinya dan kekuatan elektoral PKB, jalan Cak Imin menuju RI-1 pada 2024 tidak akan mulus begitu saja.

Pilpres memang masih lima tahun lagi, tapi saat ini beberapa partai sudah menyatakan akan ikut mencalonkan kadernya sendiri untuk 2024. Golkar misalnya, mengatakan bahwa di 2024 ia akan mengusung capresnya sendiri. Begitupun dengan Nasdem dan beberapa partai lain.

Selain ancaman yang datang dari luar, hambatan Cak Imin memenangkan Pilpres 2024 juga datang dari tubuh PKB dan NU itu sendiri.

Selain Gusdurian yang terus membayang-bayangi, di NU sendiri juga ada berbagai pandangan yang berbeda mengenai politik ataupun kebijakan publik.

Hal ini diutarakan Azis Anwar Fachrudin dalam tulisannya di New Mandala. Ali mencotohkan perbedaan pandangan ini dalam Pilpres 2019, di mana berdasarkan exit poll hanya 56 persen akar rumput NU yang memilih Jokowi-Ma’ruf Amin.

Angka ini sungguh ironi mengingat Ma’ruf merupakan tokoh besar di NU ditambah juga PKB masuk koalisi Jokowi.

Selain itu perbedaan pandangan dalam beberapa kesempatan juga menyebabkan pertentangan antara pengikut NU, bahkan di level kiai.

Oleh sebab itu, dalam Pilpres 2024 nanti, besar kemungkinan tidak semua pengikut NU mendukung Cak Imin.

Hambatan terakhir datang dari mundurnya Rusdi Kirana dari PKB. Perlu diingat bahwa pemilik maskapai Lion Air sekaligus Duta Besar Indonesia untuk Malaysia tersebut meruapakan salah pemberi dana utama PKB.

Kita lihat saja, apakah Cak Imin akan semakin menunjukkan sifat Machiavellian demi menjadi orang nomor satu di Indonesia. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

More Stories

Amerika, Kiblat Prabowo Untuk Pertahanan?

Komponen Cadangan (Komcad) menjadi salah satu program yang akan dikerjakan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Hal yang menarik adalah dalam menjalankan program tersebut,...

Digdaya Ekonomi Islam Melalui Ma’ruf

Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengatakan bahwa dirinya akan mendorong perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, mulai dari sektor industri produk halal hingga perbankan syariah....

Transparansi Anggaran Pertahanan: Prabowo Vs DPR

Terjadi perdebatan dalam rapat kerja perdana Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Pertahanan (Kemhan) ketika Prabowo menolak permintaan beberapa anggota dewan untuk...